Sebelum 'Surga' di Pulau Poto Hilang Akibat PSN

"Sebelum semua ini rusak dan jadi kawasan industri, mari kita menyelam sekali lagi,” kata Rio Martadi usai berdoa bersama para penyelam—sebelum turun ke laut. Suaranya teredam pelan di antara gemuruh angin laut timur Pulau Bintan.
Di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau, tersembunyi sebuah gugusan kecil bernama Pulau Poto. Namanya jarang terdengar di meja perundingan wisata nasional, apalagi dalam daftar tujuan pelesir arus utama.
Tapi bagi mereka yang pernah menyelam di bawahnya, Pulau Poto adalah surga yang belum tercemar. Karang-karangnya masih kokoh berdiri, ikan-ikan karang berseliweran, dan sesekali, jika beruntung, seekor penyu sisik melintas diam-diam.
Namun, 'surga' bawah laut ini sedang di ujung tanduk. Pulau Poto telah masuk dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) Toapaya yang dikembangkan oleh PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK). Rencana besarnya adalah membangun kilang minyak, kompleks petrokimia, dan pelabuhan bersekala besar—sebuah kawasan industri raksasa akan dibangun di atas dan di sekitar pulau kecil itu.
Di tengah bayangan ambisi industrialisasi di pesisir ini, 27 April 2025, sekelompok penyelam profesional memutuskan untuk bertindak. Mereka memilih untuk menyelam, mengumpulkan data, merekam bukti, dan mengangkat kisah dari dasar laut Pulau Poto.
Lima titik penyelaman, satu ekosistem yang tak tergantikan

Dan begitulah, selama tiga hari di akhir April 2025, ekspedisi ini melibatkan sembilan penyelam dari dalam dan luar negeri, serta IDN Times. Kami memutuskan untuk menyelam.
Penyelaman dilakukan di lima titik sisi utara dan timur Pulau Poto—wilayah yang bersisian langsung dengan lokasi PSN Toapaya. Mereka tidak menyelam asal-asalan, tim yang dipimpin Rio ini terdiri dari penyelam riset, ahli oseanografi, fotografer bawah laut, dan komunitas selam independen dari Pulau Bintan.
Untuk menilai kesehatan ekosistem laut, mereka menggunakan metode sensus visual dari ASEAN-Australia Project (Dartnall & Jones, 1986). Penilaian dilakukan pada transek sepanjang 70 meter, dengan kedalaman rata-rata 6–9 meter.
"Kami mencatat kehadiran ikan-ikan indikator, seperti Chaetodon Octofasciatus dan Chelmon Rostratus, dua spesies kupu-kupu karang yang sensitif terhadap degradasi lingkungan," kata Rio. "Yang lebih penting, kami juga melihat penyu sisik (Eretmochelys imbricata)—spesies sangat terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature)."
Temuan penyu sisik bukan sekadar penanda keanekaragaman hayati, tapi bukti kuat bahwa kawasan ini adalah habitat penting bagi spesies langka, bukan zona kosong yang bisa dikembangkan seenaknya.
Ekosistem yang kompleks juga tercermin dari banyaknya ikan seperti Caesio cuning (ekor kuning) yang hidup berdampingan dengan ikan-ikan dari famili Apogonidae, Pomacentridae, hingga Labridae. Semua ini menandakan bahwa sistem ekologis di bawah permukaan laut Pulau Poto masih berfungsi secara sehat dan stabil.
Namun, penyelam juga menemukan gejala awal krisis: sedimentasi dari aktivitas industri, bekas galian jalur kapal, dan dampak dari operasi tambang milik PT Bintan Alumina Indonesia (BAI). Karang-karang yang dulunya berwarna kini mulai memucat, tertutup debu lumpur industri.
Karang dan makhluk kecil di laut Pulau Poto

Rudiansyah, penyelam dari Black Coral Dive Center yang berlisensi penilai terumbu karang bersertifikat BNSP, membawa pendekatan yang lebih teknis. Ia menggunakan metode Underwater Photo Transect (UPT), dilengkapi perangkat lunak Coral Point Count with Excel extensions (CPCe).
Dengan alat ini, ia memotret transek karang dan menganalisis tutupan hidup—suatu pendekatan ilmiah yang menghasilkan data kuantitatif mengenai kesehatan terumbu.
"Hasilnya mengejutkan sekaligus menyedihkan," ungkap Rudi sambil menunjukkan grafik dari laptopnya. "Tutupan karang hidup di kisaran 46,25 persen hingga 66,3 persen. Menurut KEPMEN LH No 4 Tahun 2001, itu masuk kategori sedang hingga baik."
Jenis-jenis karang yang dominan adalah Coral Massive (CM), Submassive Coral (CS), dan Acropora Branching. Ini menandakan bahwa kawasan ini pernah dan masih memiliki lingkungan optimal, untuk pertumbuhan karang keras. Namun, kondisi ini kini terancam oleh padatnya sedimen, terutama di perairan dekat jalur dermaga yang sudah dikeruk untuk aktivitas industri di PT BAI.
"Kalau dibiarkan, karang-karang ini akan mati dalam kurun waktu tiga tahun, kamu akan kembali dan menemukan hanya pecahan-pecahan batu putih di dasar laut," ungkapnya.
Sementara Rudi menghitung dari foto, Mustakim menyelam lebih dalam. Ia adalah spesialis makro biota laut di Pulau Bintan—penyelam yang mahir mencari dan mengenali makhluk-makhluk kecil di dunia bawah laut yang sering diabaikan.
Di kedalaman 22,3 meter, Mustakim menemukan surga kecil yang lain: anemon laut, ikan Nemo (Amphiprioninae), kepiting laba-laba (Spider Crab), Nudibranch berwarna-warni, Cowries, Transparent Shrimp, dan bahkan Giant Clam—kerang raksasa yang termasuk spesies dilindungi.
"Kalau laut ini rusak, kamu tak hanya kehilangan karang. Kamu kehilangan dunia kecil yang menopang seluruh jaringan kehidupan di atasnya," tegas Mustakim. "Dan ini adalah indikator awal. Kalau mereka hilang, itu tanda awal bencana besar."
Seruan pembatalan PSN di Pulau Poto

Di antara para penyelam itu, ada satu perempuan yang terlihat paling asing dan sekaligus paling akrab dengan laut. Amandine Vuylsteke, ahli biologi kelautan asal Prancis, ikut dalam tim ini dengan motivasi yang dalam dan personal.
"Sejak umur tujuh, saya ingin jadi peneliti laut karena film Free Willy," kata Amandine sambil tertawa kecil. Kini, ia telah bekerja di Australia, Maladewa, dan Indonesia.
Amandine menegaskan bahwa pembangunan industri besar-besaran di Pulau Poto akan menjadi tragedi ekologis. "Kerusakannya tidak akan bisa dipulihkan: kehancuran terumbu, hilangnya habitat, dampak migrasi megafauna seperti penyu, dugong, dan lumba-lumba," jelasnya.
Ia bahkan menyebut proyek ini bertentangan langsung dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) nomor 14 serta komitmen Indonesia dalam High Ambition Coalition for Nature and People.
"Pulau Poto bukan ‘lahan kosong’ di peta investor. Ia adalah rumah bagi spesies langka, tempat bertelur penyu, padang lamun bagi dugong, dan ladang hidup masyarakat pesisir. Ia bukan halaman belakang untuk mesin-mesin berat," tegasnya.
Penyelaman selesai, tapi pertanyaan besar masih mengambang: Apakah pemerintah akan mendengar?
Amandine mengakhiri ekspedisinya dengan satu seruan, bukan hanya kepada publik, tapi langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
"Kami meminta Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang pembangunan industri ini. Masih ada wilayah lain yang berdampak lebih rendah secara ekologis. Tapi Pulau Poto? Ia terlalu kaya untuk dikorbankan. Ia bisa jadi teladan konservasi laut nasional di Indonesia," tutupnya.
Sejenak, sebelum tim penyelam bubar, mereka berkumpul di tepi pantai Pulau Poto. Lautan saat itu tenang, burung camar melintas, dan di bawah permukaan, terumbu karang dan biota laut masih hidup—untuk saat ini.