Konflik Sihaporas Vs PT TPL, 14 Laporan Dilayangkan Masyarakat Adat

Medan, IDN Times – Konflik agraria antara masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, kembali memanas. Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) merilis 14 laporan polisi terkait dugaan penyerangan brutal oleh pekerja dan petugas keamanan perusahaan.
Sedikitnya 34 anggota komunitas adat Lamtoras Sihaporas menjadi korban luka-luka, sementara rumah, mobil, dan sepeda motor mereka dirusak dan dibakar. Mirisnya, sebagian barang bukti perusakan justru ditemukan terkubur tiga meter di bawah tanah.
1. 14 laporan polisi, dari penganiayaan hingga pembakaran rumah

Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) mencatat ada 14 laporan polisi yang dibuat masyarakat adat Lamtoras di Polres Simalungun. Rinciannya; 9 laporan penganiayaan dan 5 laporan perusakan serta pembakaran rumah dan kendaraan.
“Semua laporan sudah naik ke tahap penyidikan, dan masyarakat sudah menerima SPDP dari Kejaksaan Negeri Simalungun,” kata kuasa hukum TAMAN Audo Sinaga, Selasa (28/10/2025).
Namun, proses pelaporan tak mudah. Saat masyarakat kembali ke lokasi penyerangan, barang bukti sudah hilang—puing rumah dan rangka kendaraan lenyap tak bersisa sehari setelah kejadian.
2. Polisi temukan motor dan mobil ditanam sedalam 3 meter

Kasus ini semakin janggal setelah Polres Simalungun melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) pada 8–11 Oktober 2025. Dalam penggalian tanah sedalam 3 meter, polisi menemukan tiga dari sepuluh sepeda motor milik warga yang sebelumnya dilaporkan hilang.
Tak berhenti di situ, pada 11 Oktober, penyidik juga menemukan mobil milik Giovani Ambarita dalam kondisi terbakar dan remuk, terkubur 40 meter dari lokasi awalnya diparkirkan.
Kuasa Hukum TAMAN, Audo Sinaga, menilai penemuan ini memperkuat dugaan adanya upaya sistematis menghilangkan barang bukti. “Kami menduga pihak pekerja atau PT Toba Pulp Lestari sengaja menanam barang bukti untuk merintangi penyelidikan,” ujarnya.
3. Warga kehilangan ladang, hidup dalam ketakutan dan kelaparan

Sejak penyerangan 22 September 2025, masyarakat adat Sihaporas belum bisa kembali menjalankan kehidupan normal. Mereka kehilangan akses ke kebun dan ladang, sumber utama pangan dan penghidupan. Bahkan, beberapa tanaman warga yang siap panen justru dipanen orang tak dikenal setelah TPL menguasai lahan.
Kini, sebagian besar kebun warga telah berubah menjadi tanaman eukaliptus milik perusahaan. “Sudah lebih dari sebulan masyarakat adat hidup dalam ketakutan dan kelaparan di tanah mereka sendiri,” ujar Jhontoni Tarihoran, Ketua PH AMAN Tano Batak.
Sementara itu, Sondang William Gabriel Manalu dari BAKUMSU menegaskan, pemerintah daerah dan provinsi tak boleh berpihak pada korporasi. “Pemerintah harus hadir melindungi hak masyarakat adat. Jangan malah membiarkan atau membela perusahaan,” tegasnya.
















