Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sekumur yang Hilang: Ketika Banjir Menghapus Kampung di Aceh Tamiang

MASJID JAMI'SEKUMUR.jpg
Potret udara kondisi Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bukan gemuruh air yang membuat Muchtar gemetar malam itu, melainkan suara kayu raksasa yang saling beradu. Gemuruh air dan bunyi gelondongan kayu yang bertubrukan membuat anak Muchtar ketakutan. Di dalam gelap gulita, suara itu terus bergema. Muchtar tidak bisa berbuat apa - apa. Dia dan keluarga serta warga lainnya hanya bisa bertahan di atas bukit. Menyaksikan kampung mereka hilang tersapu derasnya bandang Sungai Tamiang, pada Rabu malam 26 November 2025 lalu.

“Suara apa itu?” ujar Muchtar menirukan pertanyaan anaknya. Muchtar bercerita kepada IDN Times Kamis (11/12/2025) sekitar dua minggu pasca-bencana.

Malam itu, Muchtar dan 1.300-an warga berhasil mencapai punggungan bukit. Mereka tidak menyangka, banjir bandang akan begitu ganasnya. 

Mereka semua selamat, kecuali seorang perempuan lansia yang meninggal dunia karena sakit komplikasi. Kondisi pengungsian memperparah kesehatannya. Almarhumah dikebumikan masyarakat dengan peralatan seadanya, Sabtu (29/11/2025). Jenazah hanya dipakaikan kain panjang. Bukan kain kafan seperti syarat dalam pengurusan jenazah umat Muslim pada umumnya.

Kampung Sekumur menjadi tempat pusaran air yang meluap dari sungai Tamiang. Tingginya air membuat rumah warga sudah tidak terlihat lagi. Malam itu, jamak warga menangis. Khususnya perempuan dan anak-anak. Air, kayu dan lumpur mengacak-acak kampung. Dengan penerangan seadanya, warga melihat rumah – rumah mereka yang mayoritas semi permanen tergulung hancur. “Suara air dan kayu itu sampai pagi kami dengar,” kata Muchtar.

Kampung menghilang, warga hanya bisa pasrah

DSC_8265-55.jpg
Potret seorang anak ikut membersihkan masjid pasca diterjang banjir, Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kondisi malam mengharu biru. Warga harap – harap cemas bagaimana kondisi harta benda yang selama ini dikumpulkan dari hasil bertani dan berkebun.

“Malam itu kami lihat lah rumah itu hanyut. Suara – suara kayu itu keras. Pas surut, kami lihat kampung ini sudah rata,” kata Saimah, seorang nenek satu cucu di Sekumur.

Begitu sudah surut, warga langsung melihat kondisi rumah mereka masing – masing. Hanya puing – puing yang tersisa di kampung itu. Menyatu bersama lumpur yang mengendap hingga satu meter tingginya.

“Habis sudah semua barang-barang. Cuma mau kayak mana lagi. Cuma bisa pasrah dan ikhlas. Alhamdulillah kami sekeluarga selamat,” kata Saimah.

Di tengah kalapnya malam itu, seorang ayah di Sekumur mengkhawatirkan kondisi anak dan keponakan yang tengah menimba ilmu di Pesantren Mudi Mesra di Samalanga, Kabupaten Bireun. Pesantren itu juga habis diterjang banjir.

“Malam itu kami sudah ikhlas. Saya berdoa. Anak ini titipan Allah. Kalaulah mau diambil, maka kami sudah ikhlas. Ternyata anak dan ponakan tadi selamat. Mereka keluar dari pesantren. Menumpang-numpang dari Bireun ke Aceh Tamiang,” kata Herman (36).

Di saat bertahan di atas bukit, Herman terus berdoa bersama keluarganya. Hanya bukit itu jadi tempat mereka yang paling aman. Kekhawatiran Herman bertambah karena di bukit lainnya, tanah longsor.

“Kalau lah malam itu bukit ini pun longsor. Habislah kami. Mau ke mana lagi kami lari? Beberapa orang udah membuat rakit. Jadi kami sudah bilang, kalau lah bukit ini longsor, kita selamatkan berapa orang yang bisa diselamatkan pakai rakit itu,” imbuhnya.  

Sama seperti warga lainnya, Herman sudah ikhlas. Bagi mereka, bencana ini adalah kemarahan Tuhan karena alam yang sudah rusak.

“Kalau tidak ada uang masjid, boleh jadi kami mati kelaparan”

-
Anak - anak menikmati makanan ringan disela kegiatan pembersihan masjid Jami' pasca banjir menerjang Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Beberapa hari warga bertahan di atas bukit. Bertahan dari hujan, sembari menunggu air surut. Bahan pangan mereka pun terbatas. Mereka berbagi dengan penyintas yang lain.

Kondisi yang paling dikhawatirkan adalah anak-anak. Mereka tidak pernah merasakan banjir sebelumnya.

Selepas banjir surut, sejumlah warga mencoba ke luar dari kampung untuk mencari logistik. Herman berjalan ke arah Kampung Babo di seberang sungai. Dia pun kaget melihat kondisi di sana yang juga mencekam. Kehancuran tidak berbeda dari Kampung Sekumur.

Berbekal uang sisa yang dipegangnya, Herman mencari beras. “Seperti tidak laku lagi uang. Gak dapat beras. Saya mencari – cari,” katanya.

Alhasil dia beranjak ke tempat sepupunya yang juga menjadi korban banjir. “Saya bilang, udah mau gak makan lagi itu anakku,” katanya.

Dari rumah sepupunya itu, dia mendapat dua bambu beras atau sekitar 2,5 kg beras. Herman kemudian mencari beras lagi ke warung-warung yang ada di sana.

“Saya dapat lah beras basah. Uang tidak laku. Saya ambil beras basah itu dua bambu. Itu lah saya jemur di rumah,” imbuhnya.

Warga terisolir di kampung Sekumur. Mereka memanfaatkan sisa bahan pangan untuk bertahan hidup. Persediaan air bersih juga sangat terbatas. Beberapa hari pasca banjir surut, belum ada satu pun bantuan logistik yang masuk. Mereka juga tidak tahu kabar dari luar. Karena semua akses telekomunikasi terputus.

“Tiga hari banjir, kami baru lihat daratan. Sabtu baru nampak itu bekas – bekasnya,” katanya.

Akses ke sekumur terputus. Jalan yang biasa dilalui tertimbun longsor dan kayu gelondongan. Memasuki hari ke empat, logistik warga nyaris kandas. Kepala Desa Sekumur saat itu, memberanikan diri ke luar dari kampung. Mereka menyisir kampung-kampung yang tidak terdampak banjir.

“Perangkat desa berinisiatif menggunakan uang sumbangan yang ada dari masjid. Itu lah dibelikan beras. Kemudian dibagikan kepada warga. Kalau tidak ada uang masjid, boleh jadi kami mati kelaparan. Beras 17 karung digotong dari kampung lain. Menerobos lumpur, sampailah di sini,” katanya.

Beras yang sedikit dibagi ke 200-an kepala keluarga. Di pengungsian, mereka memasak beras. Memakannya tanpa lauk apa pun.

“Pakai garam lah kami makan. Atau ada yang dapat terasi, dibagi – bagi lah. Kami anggap itu menjadi ikan asin. Karena rasanya asin,” katanya.

Mereka sangat bersyukur ketika sejumlah relawan menerobos masuk membawa logistik ke arah Sekumur. Menambah asa untuk bertahan hidup di pengungsian.

Empat kali dihantam banjir, Sekumur hilang dan timbul

DSC_8195-78.jpg
Warga dan relawan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa bergotong royong membersihkan masjid pasca diterjang banjir, Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Muchtar langsung menangis kala mengingat kembali banjir pada 26 November 2025 lalu. Bukan kali ini saja dia merasakan banjir. Sepuh 62 tahun itu setidaknya sudah empat kali merasakan bencana menerjang kampungnya. Namun harus diakui, banjir di penghujung 2025 menjadi yang terdahsyat.

Muchtar termasuk generasi kedua yang menghuni kampung Sekumur. Orangtuanya bersama sembilan kepala keluarga lain, membuka pemukiman di sana untuk berkebun pada 1906 silam.

Dalam ingatan Muchtar, banjir pertama yang dialaminya berlangsung pada 1986. Saat itu Muchtar masih berusia 22 tahun. Banjir berdampak pada 152 kepala keluarga yang menghuni Sekumur. Banjir kedua dirasakannya pada 1996. Saat itu banjir mengakibatkan perkampungan berpindah ke tempat yang lebih tinggi di pesisir sungai.

Kemudian, pada 2006, banjir membuat perkampungan hilang. Jejak – jejak rumah di sepanjang tepi sungai Tamiang masih ada, kata Muchtar.

Namun kali ini Muchtar bingung. Apakah banjir kali ini akan membuat perkampungan kembali berpindah? Muchtar belum bisa menjawabnya. Mereka juga belum bermusyawarah dengan seluruh warga kampung. Mereka hanya berharap, pemerintah bisa membangun pemukiman mereka kembali.

“Ini mau ke mana lagi kami. Kalau ke atas lagi pindah kampung ini, memang ada pelindung bukit. Tapi bagaimana? Semakin jauh. Anak – anak harus ke Kampung Babo untuk sekolah. Sedangkan dari sini ke Babo sangat jauh,” ujar Muchtar dengan nada lirih.

Sampai saat ini, sebagian warga sekumur masih bertahan di tenda – tenda pengungsian yang ada di perbukitan. Sebagian lagi sudah kembali ke tapak rumah masing – masing. Mereka memanfaatkan puing-puing sisa seperti papan dan seng. Membuatnya menjadi hunian sementara. Sekumur masih terisolir. Setiap malam pasca banjir, kampung ini masih gelap gulita. Pun ada penerangan lampu, itu memanfaatkan pembangkit listrik portabel milik para relawan yang bergantian datang ke sana.

Sekumur menambah daftar kampung yang hilang

-
Warga dan relawan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa bergotong royong membersihkan masjid pasca diterjang banjir, Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Tangis Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem pecah pada Sabtu, 29 November 2025 ketika memberikan gambaran terkini terkait penanganan banjir dan longsor yang menghantam Aceh. Mualem bahkan menyebut, banjir dan longsor di Aceh sebagai tsunami kedua. Meski dari sisi jumlah korban, tidak bisa setara dibandingkan.

Mualem melaporkan sejumlah kampung hilang. Saat itu ada empat kampung yang dilaporkannya hilang. Sawang, Jambo Aye di Aceh Utara, hingga kampung di Kawasan Peusangan, Bireun.

“Aceh sekarang seperti tsunami kedua," ujar Mualem seperti dikutip dari keterangan video, Selasa (2/12/2025).

Sekumur menambah daftar kampung yang hilang. Selain informasi teranyar yang didapat IDN Times, ada Desa Pengidam, Kecamatan bandar Pusaka yang juga hilang diterjang banjir. Lokasinya tidak jauh dari Sekumur. Kondisinya juga mirip dengan sekumur. Beberapa dusun di sana dipenuhi kayu gelondongan.

Nyaris seluruh Aceh Tamiang lumpuh karena banjir. Sebanyak 12 dari 18 kecamatan di sana terendam. Aceh Tamiang menyumbang korban paling besar pada banjir di Aceh. Ada 60 korban jiwa di Aceh Tamiang menurut data resmi per 13 Desember 2025. Sebanyak 57.146 Kepala Keluarga dengan 208,163 jiwa menjadi penyintas.

Lebih dari seribu orang meninggal dunia dalam banjir Sumatra

Relawam Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa berbincang dengan anak-anak di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Relawam Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa berbincang dengan anak-anak di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.030 korban meninggal dunia dan 205 lainnya hilang dalam banjir Sumatra –Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat-- data per Selasa (16/12/2025).

Banjir di Aceh memakan korban 435 orang meninggal dunia. Sebanyak 32 lainnya masih hilang. Total penyintas dari 18 kabupaten terdampak di Aceh sebanyak 586.666 orang.

Kemudian, banjir di Sumatra Utara mengakibatkan 355 orang meninggal dunia. Sebanyak 83 orang masih hilang. Jumlah penyintas mencapai 55.679 orang.

Sementara itu, banjir di Sumatra Barat memakan korban 244 orang meninggal dunia. Ada 90 orang yang masih hilang dan 12.207 orang terpaksa menjadi penyintas.

Meski dengan jumlah korban meninggal dunia yang mencapai seribu lebih, pemerintah belum juga menetapkan banjir Sumatra sebagai darurat bencana nasional. Sudah banyak pihak, yang mendesak agar pemerintah menetapkan banjir dan longsor sumatra sebagai darurat bencana nasional. Namun pemerintah beralasan, penanggulangan banjir masih bisa ditangani status darurat daerah.

"Jadi sekarang sudah masing-masing daerah sudah menetapkan ini. Dan itu sudah menjadi dasar bagi kami untuk melakukan tindakan sesuai Undang-Undang Kebencanaan," kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno dalam jumpa pers di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Kamis (27/11/2025).

Klaim penanganan yang baik dalam bencana di Sumatra berbalik dengan kondisi lapangan. Di Aceh Tamiang misalnya, masih banyak daerah terisolir yang belum mendapat distribusi logistik dengan baik. Para pengungsi mengalami krisis air bersih. Kondisi logistik pangan belum terdistribusi dengan baik. Banyak penyintas mulai diserang penyakit. Khususnya anak – anak. Jika status darurat bencana nasional diberlakukan, semua pihak hingga dari luar negeri bisa masuk untuk memberikan kontribusi pada penanggulangan bencana.

Posko utama penanggulangan banjir di tempatkan di areal Kantor Bupati Aceh Tamiang. Dari sana, semua kebutuhan logistik didistribusikan melalui laporan masing - masing kecamatan hingga desa. Koordinator Posko Utama Penanganan Banjir Aceh Tamiang Kolonel Inf Dimar Bahtera mengatakan, pendistribusian logistik ke daerah terisolir menjadi perhatian khusus mereka.

"Ini menjadi atensi kita. Itu kita siapkan tim khusus. Ada dari TNI, Polri kemudian SAR, selain kita evakuasi masyarakat, kita lakukan distribusi logistik," ujar Dimar disela kegiatan di posko utama, Selasa (9/12/2025).

Kerusakan lingkungan disebut jadi pemicu

MASJID JAMI'SEKUMUR.jpg
Potret udara kondisi Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Gelondongan kayu yang ditemukan di Aceh Tamiang hanyalah temuan kecil. Temuan serupa juga terjadi di banyak titik banjir Sumatra. Fenomena ini menjadi indikasi kerusakan lingkungan yang masif dan berujung pada bencana. Deputi Direktur Program Seameo Biotrop yang juga mantan Kepala Pusat Studi Bencana IPB University Doni Yusri, menilai bencana alam diperparah dengan kondisi kerusakan kawasan penting di Sumatra. Salah satunya kawasan Bukit Barisan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan alam.

"Dengan perubahan iklim ini kita tidak dapat menebak seberapa besar intensitas air dan seberapa besar daya lingkungan bisa menahannya. Apalagi iklim makin susah diprediksi perubahannya, ditambah daya lingkungan makin lemah," ungkapnya.

Doni kembali menegaskan, bencana di Sumatra bukan terjadi karena faktor alamiah. Kerusakan, baik secara legal maupun ilegal, telah membuat alam lambat meregenerasi dirinya.

Kayu-kayu raksasa yang menghantam rumah Muchtar bukanlah ulah alam semata. Penelusuran IDN Times melalui citra satelit (OSINT) menunjukkan bahwa di hulu, hutan yang dulu rimbun kini telah botak. Menggunakan pantauan Google Earth dan rekam jejak hingga 15 tahun terakhir, terlihat jelas pembukaan lahan terjadi di sejumlah kawasan terdampak. Di sekitar Muara Sibuntuon, Sibabangun, Tapanuli Tengah, terlihat perbedaan luasan wilayah vegetasi.

Pada 30 Desember 2020, belum terlihat adanya kebotakan di wilayah seluas 156.549 meter persegi. Tapi, per 1 Desember 2025, luasan tersebut sudah terlihat gundul dari citra satelit.

Kemudian, di wilayah Batang Toru, dekat kawasan hutan lindung, ada perbedaan besar yang tercipta selama 15 tahun. Sebuah wilayah seluas 1.168,31 hektare, pada 12 Desember 2010 masih didominasi area vegetasi. Namun, per 1 Desember 2025, wilayah tersebut sudah terbuka.

Bergeser ke wilayah Tapanuli Selatan, di dekat air terjun Lubuk Harapan, ada wilayah vegetasi yang kehilangan 47,62 hektare area hijaunya, ditinjau dari citra satelit per 1 Desember 2025. Padahal, pada 25 Juni 2020, area tersebut terlihat masih dipenuhi pepohonan. Area hijau yang hilang ini setara nyaris lima kali luas Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).

"Pastinya, kalau di Indonesia, terutama di Pulau Sumatra, sejak 1990 sampai dengan tahun ini, tutupan hutan alaminya semakin tergerus gitu ya, semakin hilang. Bahkan sampai saat ini berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, luas hutan di Pulau Sumatra itu secara keseluruhan hanya tinggal 11,6 juta hektare," kata Kepala Kampanye Kehutanan Greenpeace, Kiki Taufik kepada IDN Times.

"Jadi, luas tutupan hutan alami yang ada di Indonesia secara keseluruhan itu sekitar 89,5 juta hektare. Jadi artinya dengan sisa 11,6 juta artinya hanya sekitar 12 sampai 13 persen. Tutupan hutan yang ada di Pulau Sumatra," dia menambahkan.

Ekspansi perkebunan sawit di Sumatra juga dinilai berkontribusi pada hilangnya kawasan hutan. Data MapBiomas pada 2024 menunjukkan, area hijau di Sumatra Utara memiliki luas hingga 2.527.275 hektare, dengan 97,5 persen di antaranya merupakan hutan. Selain itu, ada juga area vegetasi lain seluas 544.963 hektare dan mangrove 55.094 hektare. Sementara, luas sungai, danau, hingga laut mencapai 148.433 hektare.

Kemudian, wilayah non-vegetasi yang didiami penduduk sebesar 197.639 hektare dari 208.648 hektare. Dari data yang didapat, sebesar 420 hektare merupakan area pertambangan.

Luasan pertanian dan perkebunan di Sumatra Utara saat ini tercatat 3.807.756 hektare. Komposisinya, 2.115.976 hektare area kebun sawit, lalu 1.213.595 hektare pertanian lain, 395.543 hektare lahan sawah padi, dan 82.641 merupakan pertanian kayu kertas.

Dibandingkan dengan 10 tahun lalu, perkembangan luasan lahan tambang dan kelapa sawit menjadi yang paling besar pertumbuhannya. Di 2014, luasan tambang di Sumatra Utara mencapai 156 hektare. Sementara, pada 2024 menyentuh 420 hektare.

Secara spesifik melihat formasi lahan di Tapanuli Tengah, perluasan paling signifikan terjadi pada area perkebunan kelapa sawit. Pada 2014, luasan kelapa sawit di Tapanuli Tengah baru 35.089 hektare. Tapi, 10 tahun kemudian sudah mencapai 45.390 hektare. Perluasan wilayah kelapa sawit sudah terlihat sejak 1995. Areanya terus meningkat setiap tahunnya, hingga 2024 lalu. Peningkatan luasan perkebunan ini juga terjadi pada sejumlah daerah terdampak lainnya.

Selain perkebunan, aktivitas pertambangan juga memberi andil dalam kerusakan lingkungan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan berdasarkan data yang diolah dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), terlihat Sumatra telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba.

Sedikitnya menurut data JATAM, ada 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469 hektare di Sumatra. Kepadatan izin ini, kata Melky, terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatra Selatan (217), Sumatra Barat (200), Jambi (195), dan Sumatra Utara (170).

"Sementara, provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut," ujarnya.

Melky menegaskan, banjir bandang di Sumatra sebagai akibat dari campur tangan manusia. Pengaruh siklon senyar sebagai efek cuaca ekstrem tidak bisa menjadi narasi tunggal dalam bencana Sumatra.

Pemerintah juga mengamini banjir yang terjadi disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Salah satu yang mengamininya adalah Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.

"Tuhan sudah memberikan peringatan lewat peristiwa di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara bahwa kita tidak menjaga hutan lindung. Apa yang kemudian terjadi? Lalu terjadi longsor, banjir, dan memakan korban lebih dari 900 jiwa. Ini kesalahan siapa? Kesalahan kita semua karena tidak menjaga sistem kita," ujar Sjafrie seperti dikutip dari Unhas TV, Jumat (12/12/2025).

Soal kerusakan lingkungan itu juga disampaikan tersirat oleh Presiden Prabowo Subianto ketika mengunjungi Kabupaten Aceh Tamiang, Jumat (12/12/2025). Dia mengingatkan soal pentingnya menjaga lingkungan.  

"Kita sekarang harus waspada, hati-hati. Kita harus jaga lingkungan kita. Alam kita harus kita jaga, kita tidak boleh tebang pohon sembarangan," ujar Prabowo di posko pengungsian sebagaimana dikutip dari akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.

Muchtar, Herman, Saimah dan warga lainnya yang menjadi penyintas bukanlah angka semata. Mereka membutuhkan aksi nyata pemerintah dalam tata kelola hutan dan lingkungan yang baik. Sehingga mereka tidak lagi menjadi korban. Jangan sampai, pidato tentang menjaga alam hanyalah bunyi - bunyian semata. 

Banjir bandang dan longsor membuat Sekumur harus merasakan kiamat kecil. Mereka belum tahu, kapan kondisi akan membaik. Apakah Sekumur harus merasakan kehilangan kampung keempat kalinya? Tentu warga tidak ingin. Butuh keberpihakan pemerintah, untuk membuat Sekumur dan daerah lain yang terdampak.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Gen Z Medan Adu Bakat di 'Bintang Pelajar X Honda' Manhattan Medan

16 Des 2025, 21:00 WIBNews