Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mahasiswa Papua di Medan Kecam Pembakaran Mahkota Cendrawasih

Cendrawasih botak (commons.wikimedia.org/JJ Harrison)
Cendrawasih botak (commons.wikimedia.org/JJ Harrison)
Intinya sih...
  • Mahkota Cenderawasih adalah simbol kehormatan dan identitas budaya Papua
  • Mahasiswa setuju lindungi satwa, tapi minta pendekatan budaya dalam penegakan hukum
  • IMP Sumut minta Kementerian meninjau ulang penanganan barang bukti yang memiliki nilai budaya
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Keputusan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua memusnahkan barang sitaan berupa mahkota tradisional berbahan bulu Cenderawasih dan Kasuari menuai gelombang kecaman. Aksi pembakaran yang dilakukan pada Senin (20/10/2025) di Jayapura itu dimaksudkan untuk menegakkan hukum terkait perdagangan ilegal satwa liar, namun bagi masyarakat Papua, keputusan tersebut justru dianggap melukai martabat dan identitas budaya mereka.

“Itu namanya etnosida. Mereka ingin menghapus budaya kami,” kata Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua Sumatera Utara (IMP-Sumut), Aris Tage kepada awak media, Rabu (29/10/2025).

1. Mahkota Cenderawasih bukan sekadar hiasan, tapi simbol kehormatan

Cendrawasih (commons.wikimedia.org/Andrea Lawardi)
Cendrawasih (commons.wikimedia.org/Andrea Lawardi)

Dalam pandangan masyarakat adat Papua, burung Cenderawasih dan Kasuari bukan hanya satwa langka, melainkan simbol kemuliaan dan kehormatan. Mahkota yang terbuat dari bulu dua burung itu sering digunakan dalam upacara adat, menandakan status sosial, perdamaian antar-suku, atau penyambutan tamu kehormatan.

“Cenderawasih itu simbol kemewahan dan kehormatan orang Papua. Tapi dibakar begitu saja. Ini penghinaan terhadap identitas kami,” ujar Aris dengan nada kecewa.

Mahkota adat bagi masyarakat Papua bukanlah benda mati. Ia adalah manifestasi dari hubungan manusia dengan alam, warisan yang diwariskan turun-temurun. Karena itu, ketika benda tersebut dibakar, masyarakat merasa seakan bagian dari diri mereka turut dimusnahkan.

2. Mahasiswa setuju lindungi satwa, tapi minta pendekatan budaya

Cendrawasih merah (commons.wikimedia.org/JJ Harrison)
Cendrawasih merah (commons.wikimedia.org/JJ Harrison)

Aris menegaskan bahwa mahasiswa Papua tidak menolak konservasi. Mereka sepakat satwa dilindungi seperti Cenderawasih harus dijaga agar tidak punah. Namun, yang mereka persoalkan adalah cara dan konteks penegakan hukum yang dinilai mengabaikan nilai budaya di balik benda adat.

“Kalau pemerintah berpegang pada aturan perlindungan satwa, seharusnya benda itu bisa dialihkan jadi artefak budaya atau diserahkan ke museum, bukan dibakar,” katanya.

Menurutnya, BBKSDA Papua seharusnya membuka dialog dengan masyarakat adat, agar penegakan hukum tidak menimbulkan luka sosial. Dalam banyak kasus, kebijakan konservasi yang tak memahami konteks lokal justru menciptakan jarak antara negara dan masyarakat adat.

3. IMP Sumut minta Kementerian meninjau ulang penanganan barang bukti

Cendrawasih (commons.wikimedia.org/Philip Nalangan)
Cendrawasih (commons.wikimedia.org/Philip Nalangan)

Menyikapi peristiwa ini, IMP-Sumut menilai permintaan maaf BBKSDA Papua belum cukup. Mereka mendesak Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso Silaban, untuk dicopot dari jabatannya.

“Permintaan maaf tidak menyembuhkan luka kami. Ini pelecehan terhadap simbol budaya Papua. Kami minta Kepala BBKSDA Papua dicopot,” tutur Aris tegas.

IMP-Sumut juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meninjau ulang prosedur pemusnahan barang sitaan yang memiliki nilai budaya. Mereka khawatir kejadian serupa bisa terus berulang dan memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat adat terhadap negara.

“Negara seharusnya melindungi budaya, bukan menghancurkannya atas nama penegakan hukum,” pungkasnya.

Terkait peristiwa pembakaran itu, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni sudah menyatakan permintaan maaf. Dia menekankan, tindakan pemusnahan itu murni untuk penegakan hukum. Meski pun dia mengakui, itu salah dalam kearifan lokal.

Share
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Anggaran 1,8 Miliar, Progres Pembangunan SMPN 14 Binjai Lambat

29 Okt 2025, 21:09 WIBNews