Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Menyulap Sekolah Rakyat, Mimpi Besar atau Realitas Setengah Jalan?

Suasana Sentra Bahagia yang akan dibangun menjadi salah satu tempat Sekolah Rakyat di Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)
Suasana Sentra Bahagia yang akan dibangun menjadi salah satu tempat Sekolah Rakyat di Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)

Satu lagi gebrakan kebijakan ambisius datang dari Presiden Prabowo Subianto. Setelah mengguncang ruang publik dengan program Makan Bergizi Gratis, kini giliran Sekolah Rakyat (SR) yang menjadi sorotan.

Di tengah kesengkrautan kebijakan pendidikan nasional, gonta-ganti kebijakan setiap pergantian menteri, SR digulirkan. Didesain sebagai jawaban atas keterbatasan akses pendidikan bagi kelompok miskin dan marjinal, SR disebut akan memberi layanan pendidikan gratis, berkualitas, bahkan berkonsep asrama.

Tapi pertanyaannya apakah benar Sekolah Rakyat bisa menjadi game-changer pendidikan nasional, atau justru proyek jangka pendek yang terlalu cepat digagas dan terlalu mahal untuk ditanggung?

Nama “Sekolah Rakyat” mungkin mengingatkan kita pada masa kolonial. SR era dulu dikenal sebagai Volksschool, sekolah dasar untuk pribumi yang berdurasi tiga tahun. Ini merupakan pendidikan dasar paling awal dan sederhana, dibuka sejak 1870 sebagai bagian dari politik etis. Fokusnya adalah pengajaran membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan dasar untuk kepentingan kolonial, seperti pertanian atau administrasi rendahan.

Kala itu SR menjadi simbol ketimpangan pendidikan antara kaum elit (yang bisa mengakses Europeesche Lagere School) dan rakyat biasa. Kini, gagasan ini dibangkitkan dengan pendekatan baru: akses gratis, asrama, dan kurikulum kontekstual.

Kini SR dihidupkan lagi di era Presiden Prabowo. Pembentukan dan penyelenggaraan Sekolah Rakyat tercantum dalam Instruksi Presiden RI Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto pada 27 Maret 2025.

Kementerian Sosial di bawah komando Saifullah Yusuf ditugaskan untuk membangunnya di berbagai wilayah. Gus Ipul, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa SR adalah bagian dari visi besar Prabowo untuk “memuliakan wong cilik” melalui pendidikan yang membebaskan mereka dari rantai kemiskinan. Pemerintah pun berencana membangun SR di tiap kabupaten, masing-masing menampung hingga 1.000 siswa, memanfaatkan aset negara dan pemetaan sosial berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Konsep SR adalah sekolah asrama. Biayanya mulai dari seragam, makan, asrama, peralatan sekolah, dan lainnya, akan ditanggung oleh negara atau gratis.

 

Suasana Sentra Bahagia yang akan dibangun menjadi salah satu tempat Sekolah Rakyat di Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)
Suasana Sentra Bahagia yang akan dibangun menjadi salah satu tempat Sekolah Rakyat di Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)

Pemerintah menyebut SR akan mulai berjalan pada tahun ajaran 2025/2026 dengan 53 lokasi yang siap difungsikan. Di Sumatra Utara sendiri saat ini ada 4 lokasi yang disiapkan untuk jadi SR.

Adapun lokasi keempat SR itu yakni di Gedung UINSU, dua sentra milik Kementerian Sosial dan satu lagi gedung milik Pemerintah Provinsi Sumut. Bangunan SR akan menggunakan aset milik Kementerian Sosial seperti Sentra/Sentra Terpadu, Balai diklat, atau gedung-gedung yang secara fisik memenuhi syarat untuk menyelenggarakan Sekolah Rakyat.

Selain menggunakan aset milik Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah juga memberikan usulan-usulan pembangunan sekolah rakyat baik berupa bangunan yang perlu direvitalisasi maupun dalam bentuk tanah dengan luas 5-10 hektare. 

Dengan dukungan lintas kementerian dan alokasi dana pendidikan nasional yang mencapai Rp500 triliun. Untuk pembangunan per sekolah dianggarkan Rp100 sampai Rp150 miliar.

SR ini disebut untuk memberi akses pendidikan untuk anak-anak putus sekolah, anak marjinal di daerah 3T, dan anak dari keluarga miskin ekstrem. Program ini punya empat kekuatan utama yakni pemertaaan akses dengan menjangkau daerah yang belum tersentuh sekolah negeri. Misi SR adalah mempersempit jurang ketimpangan pendidikan. SR juga diniatkan untuk jadi pintu masuk kembali anak usia sekolah ke sistem pendidikan.

Selain itu kurikulum lokal yang adaptif membuka peluang untuk membentuk siswa dengan keterampilan hidup nyata seperti bertani, beternak, berdagang. Sisi positif SR lainnya adalah peluang lapangan kerja untuk ribuan guru.

Tapi, seiring besarnya ambisi, datang pula sederet pertanyaan tentang kesiapan, efektivitas, dan akuntabilitas. Tentu saja, sebesar apa pun potensi sebuah program, realitas di lapanganlah yang akan mengujinya.

Sekolah Rakyat punya sejumlah tantangan besar yang tidak bisa disepelekan. Anggaran raksasa yang dikeluarkan tanpa sistem kontrol ketat berpotensi bocor. LPEM UI sudah mengingatkan bahwa program populis seperti ini rentan "inefficient spending". Padahal efisiensi anggaran digaungkan Prabowo di awal pemerintahannya. Terutama di saat ekonomi global saat ini tidak baik-baik saja.

Selain itu dari data Indonesia Corruption Watch, sektor pendidikan sangat rentan menjadi ladang korupsi. Terbukti selalu ada di posisi 5 besar. Pada 2023 ada 30 kasus korupsi sektor pendidikan, dan 40 persen di antaranya dana Bantuan Operasional Sekolah.

Risiko lainnya adalah terjadinya tumpang tindih pendidikan. Di tengah kehadiran PKBM, Sekolah Terbuka, Madrasah, dan homeschooling, Sekolah Rakyat berisiko menjadi lembaga yang membingungkan jika tidak diintegrasikan ke sistem Dapodik nasional.

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji mengatakan lebih baik uang itu digunakan untuk mengoptimalkan sekolah umum seperti sekolah negeri yang selama ini pengelolaannya masih banyak kekurangan. Selain itu anggaran itu juga sebaiknya diberikan kepada siswa SD sampai SMA agar mendapatkan biaya gratis.

Kerap kali gonta ganti sistem pendidikan setiap pergantian menteri membuat kualitas pendidikan Indonesia sulit untuk maju. 

Selain itu siapa yang menjamin mutu pengajarnya? Meski rencana menyertakan guru ASN dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) patut diapresiasi, rekam jejak implementasi di daerah kerap menampakkan celah besar antara rencana dan kenyataan. Dalam data World Bank (2020) hanya 30 persen guru di Indonesia yang benar-benar menguasai materi yang mereka ajarkan.

Kecepatan memang bukan segalanya. Tidak bisa menyulap Sekolah Rakyat dalam waktu singkat. Di bidang pendidikan, kualitas adalah segalanya. Ketimbang buru-buru mengejar target kuantitatif, seharusnya Sekolah Rakyat dibangun dengan fondasi kuat regulasi jelas, integrasi sistemik, dan pengawasan independen. Sekolah Rakyat tidak hanya hadir, tapi juga bermutu dan bermakna.

Gagasan besar Sekolah Rakyat dengan anggaran yang besar pula tentu butuh desain yang matang, pengelolaan yang akuntabel, dan partisipasi publik yang kritis. Jangan sampai kita hanya menyulap bangunan dan mencetak brosur tanpa memperhatikan isi kepala dan hati anak-anak yang akan belajar di sana.

Jika benar ingin mencetak agen perubahan dari keluarga miskin, maka Sekolah Rakyat tidak boleh hanya menjadi papan nama, tetapi menjadi jendela masa depan. Jangan juga hanya menjadi bahaya populisme pendidikan. Bila tidak dikelola dengan visi jangka panjang, SR bisa jadi hanya proyek 5 tahunan yang menguap bersama berakhirnya masa jabatan presiden.

Penulis adalah jurnalis IDN Times dan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
Doni Hermawan
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us