Kejari Binjai Tak Indahkan Perintah Kajagung, Penyidikan Dugaan Korupsi Dana Fiskal Mandek

Binjai, IDN Times - Mata publik terus tertuju pada penyelidikan dugaan korupsi dana insentif fiskal tahun anggaran 2024 senilai 20,8 miliar. Sebab, meski penyidik telah menaikan status dari penyidikan (lid) ke penyidikan (dik) hilangnya uang pengentasan kemiskinan di Kota Binjai.
Namun kasus yang sudah 8 bulan lebih berjalan, tidak ada satupun tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai. Hingga publik bertanya terkait akuntabilitas dan kredibilitas penyidik.
1. Ini diduga yang membuat penyidikan perkara mandek berdasarkan 'Teori CDMA'

Assoc. Prof. Dr. T. Riza Zarzani,S.H., M.H, yang dihubungi via selularnya, Minggu (16/11/2025), kembali angkat bicara terkait dugaan lambatnya penanganan kasus yang menyedot perhatian warga Kota Rambutan.
Menurut akademisi ilmu hukum pidana ini, dilihat dari penanganan yang lambat dalam ilmu kriminologi ada salah satu Teori Sebab Tindak Pidana Korupsi yang disebut 'Teori CDMA'. Dalam teori ini, korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas.
"Artinya, ketika aparat penegak hukum (APH) menerima anggaran ABPD dari pemerintah daerah. Bisa menyebabkan mandek atau lambat dalam penanganan kasus korupsi yang menyebabkan mereka terjebak kepada kekuasaan yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas," kata pria yang menjabat sebagai Ka Prodi Magister Hukum Kesehatan/ Associate Profesor pada Prodi Hukum Universitas Pancabudi.
2. Jaksa agung intruksikan jajaran bawah aktif ungkap kasus korupsi

Dengan kata lain, jelas dia, secara tidak langsung penegak hukum dari Kejari Binjai, seolah tidak melaksanakan intruksi Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dalam intruksi tertuang jelas kepada seluruh jajaran dibawah untuk aktif mengungkap kasus-kasus korupsi.
"Dihadapan publik, jaksa agung ST Burhanudin secara gamblang mengatakan untuk menemukan, mengungkap dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi. Jika memang tidak mampu membongkar tindak pidana korupsu atau didaerah pengungkapan korupsi minim. Maka, kejaksaan agung akan mengevaluasi kejaksaan di daerah," jelas Riza.
Dengan lambatnya penanganan kasus dugaan korupsi dana insentif fiskal di Kota Binjai, dia menyebut, jika kejaksaan di daerah (Kejari Binjai) tidak memiliki energi, motivasi dan ritme yang kencang dalam upaya pemberantasan korupsi. Lemahnya pemberantasan korupsi di tingkat daerah sebenarnya sudah disinyalir oleh Jaksa Agung ST Burhanudin.
"Makanya, Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung) menempatkan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) dipimpin oleh sosok visioner yang sebelumnya bertugas dalam posisi penting di kejaksaan agung. Tentu ini alasan penting sehingga dapat mengikuti ritme kencang Jaksa Agung dibawah pimpinan ST Burhanuddin yang begitu massive dalam pemberantasan korupsi," papar dia.
3. Kejaksaan di daerah harus mengikuti ritme dan motivasi dalam pemberatasan korupsi

Sayangnya, Ia beranggapan, jika langkah tegas dari Kajagung dan Kajati tidak diikuti oleh jajaran di bawah khususnya di tingkat kabupaten/ kota. Untuk itu, ia menyarankan Kajagung dan Kajati agar dapat evaluasi dan supervisi terhadap jajaran disetiap daerah. Sehingga seluruh jajaran dibawah memiliki ritme, motivasi dan energi yang luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi di Sumatera Utara.
Ironisnya, bukan prestasi yang ditunjukan dalam melakukan pemberantasan korupsi oleh Kejari Binjai. Namun, belakangan institusi Adhyaksa tercoreng dengan ulah oknum jaksa RS. Oknum jaksa 'nakal' ini terindikasi meminta sejumlah uang terhadap terdakwa narkotikan berinisial MVAP.
Oknum jaksa nakal ini berjanji mengiming-imingi hukuman 5 tahun kurungan penjara. Nyatanya, hasil vonis 11 tahun kurungan penjara dengan tuntutan jaksa 14 tahun. Sayang, vonis itu dibacakan Hakim Ketua Bakhtiar di Pengadilan Negeri Binjai, pada Kamis tanggal 6 November 2025 kemarin.
Keluarga terdakwa diduga menyerahkan uang Rp18 juta dari permintaan Rp. 20 juta. Meski uang sudah diserahkan setelah sidang perdana, hukuman yang dijanjikan RS tidak sesuai. Keluarga terdakwa mengumpulkan uang untuk ringankan hukuman itu dari hasil utang dan diduga menyerahkannya kepada RS di kantornya.
4. Sejumlah kasus yang sempat menjadi perhatian publik terhadap kinerja kejari binjai

Meski sejauh ini pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) telah melakukan klarifikasi terhadap oknum jaksa RS. Namun tidak ada tindakan atau sanksi tegas terhadap jaksa RS. Kepala Seksi Intelijen Kejari Binjai, Noprianto Sihombing menjelaskan, pihaknya sudah melakukan klarifikasi terhadap RS. "Setelah diklarifikasi terhadap jaksa mengatakan tidak ada menerima uang," tegas Noprianto.
Di sisi lain terkait penangan Dana Insentif Fiskal dan DBH yang sudah ditetapkan tersangka. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Binjai, Iwan Setiawan sempat angkat bicara dan menjelaskan perbedaan penanganan kedua kasus itu. "Pelaksanaan penyidikan DBH terus terang ini merupakan kejahatan konvensional. Pengadaan barang dan jasa, dan sudah biasa kami laksanakan," kata Iwan.
"Kita sudah tau clue-cluenya atau petunjuk-petunjuknya begitu. Sehingga ini buat kami bisa memahami dibandingkan kasus Dana Insentif Fiskal (DIF), yang lebih luas dan lebih besar juga, serta lebih complicated (sulit)," timpal Iwan.
Ini tentu menimbulkan pertanyaan di publik, mengapa persoalan kasus DBH sawit bisa begitu cepat. Sementara kasus Dana Insentif Fiskal (DIF) justru seperti jalan di tempat meski beberapa OPD dan Kemenkeu telah dimintai keterangan. Sejauh ini publik masih menanti janji Kejaksaan Negeri Binjai, dalam menangani perkara yang terus menyedot perhatian publik.


















