COP30, Negara Maju Diminta Tepati Kewajiban Pendanaan Iklim

Medan, IDN Times — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) menekan negara maju agar segera memenuhi pendanaan iklim sesuai Pasal 9 Paris Agreement. Mereka menilai lambatnya aliran dana dan rumitnya arsitektur pendanaan membuat masyarakat di garis depan krisis semakin jauh dari perlindungan yang dijanjikan.
Pada sesi Bridging the Climate Finance Gap, berbagai organisasi masyarakat sipil menyorot bahwa pendanaan iklim bukan soal kemurahan hati, melainkan konsekuensi historis dari emisi negara industri. Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, kembali menegaskan hal itu dalam diskusi Bridging the Climate Finance Gap di Belém, Brasil, Kamis (13/11/2025).
“Pendanaan iklim bukan sedekah, tapi memang kewajiban,” ujarnya dilansir dari kanal COP30 laman Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Jumat (14/11/2025).
1. Pendanaan iklim dinilai sebagai kewajiban, bukan donasi

Dalam paparannya, Nadia menekankan bahwa pendanaan iklim tak boleh dipandang sebagai bantuan sukarela.
“Harusnya Indonesia juga ikut mendorong, agar negara maju bisa memenuhi komitmen tersebut, untuk membiayai climate finance, membiayai aksi-aksi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan, tidak hanya untuk negara selatan, tapi memang untuk kepentingan dunia,” kata Nadia.
Ia juga mengingatkan bahwa target pendanaan global USD100 miliar per tahun tidak pernah benar-benar terpenuhi, sementara komitmen baru NCQG menetapkan minimal USD300 miliar pada 2035 dan mobilisasi global hingga USD1,3 triliun.
Sebagai anggota G20, BRICS, sekaligus negara kepulauan rentan, Indonesia menurutnya tidak boleh hanya mengandalkan kanal bilateral, tetapi ikut mendorong negara maju memenuhi tanggung jawabnya. Ia juga menyoroti bahwa pendanaan eksisting belum menjangkau masyarakat adat, padahal mekanisme akses langsung seperti Dana Nusantara sudah membuktikan efektivitasnya.
2. Mekanisme pendanaan dinilai belum inklusif dan terlalu tersentralisasi

Persoalan akses pendanaan turut disuarakan Lasti Fardilla Noor dari WGII. Ia menyebut struktur pendanaan yang rumit, panjang, dan berpusat di negara maju menjadi penghalang utama bagi masyarakat adat.
Meski negara berkembang menginginkan peningkatan ambisi hingga tiga kali lipat dalam Global Goals on Adaptation, ambisi angka menurutnya tidak cukup tanpa perbaikan sistem distribusi dana.
Sementara itu, para akademisi dan aktivis dari negara selatan memaparkan kondisi lapangan yang kian mengkhawatirkan. Dari Nepal, Dr. Arjun Kumar K menyoroti mencairnya 65 persen danau glasial Himalaya dan penyusutan lebih dari separuh gletser Yela. Ia menekankan kebutuhan pendanaan yang benar-benar baru dan berbasis hibah untuk mencegah negara berkembang makin terjebak dalam utang.
3. Negara berkembang cari alternatif, pasar karbon dinilai gagal beri integritas

Keterbatasan akses pendanaan membuat negara rentan dan pelaku UMKM hijau mencari alternatif. Raoman Smita dari Bangladesh memaparkan bahwa 70 persen proyek hijau kekurangan dana. Ia memperkenalkan platform EcoCash untuk menghubungkan UMKM hijau dengan pendanaan, serta gerakan Guardian of the Earth untuk memperkuat aksi komunitas.
Di sisi lain, Oliver Rieche dari Balance menilai pasar karbon sering gagal menjaga integritas dan justru memunculkan praktik hijau semu. Ia menawarkan metodologi Balance Units yang menggabungkan manfaat iklim, keanekaragaman hayati, dan dukungan komunitas, sehingga negara berkembang dapat menghasilkan aset yang lebih berintegritas.
Pendanaan iklim sebenarnya adalah mandat jelas dalam Pasal 9 Paris Agreement: negara maju wajib menyediakan dana untuk mitigasi dan adaptasi negara berkembang, menyeimbangkan dukungan, mengedepankan hibah, serta melaporkan progres setiap dua tahun. Namun di COP30, kesenjangan antara kebutuhan dan realisasi kembali muncul, dan negara berkembang meminta roadmap konkret “Baku to Belém” tak berhenti sebagai daftar janji.
















