Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anak Bunuh Ibunya, Psikolog Ingatkan Peran Keluarga

Irna Minauli (IDN Times/Yurika Febrianti)
Irna Minauli (IDN Times/Yurika Febrianti)
Intinya sih...
  • Irna menilai banyak orang yang tidak meyakininya
  • Tidak ada gangguan mental pada anak tapi ada kecenderungan kurang empati
  • Psikolog sebut komunikasi yang baik menunjukkan kehadiran dalam keluarga atau lingkungan tanpa perlu sibuk mempostingnya
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Kasus bocah SD berumur 12 tahun yang nekat membunuh ibunya sendiri di Medan Sunggal, menjadi perhatian publik. Sebab, tidak hanya penetapan status ABH (Anak Berkonflik dengan Hukum) saja, ia juga dilakukan pemeriksaan psikologis tidak terkena gangguan mental seperti skizofrenia, delusi, atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Namun, adanya paparan kekerasan yang dialami dan disaksikan. Bukan hanya dari pihak keluarga, tapi ada kemungkinan dari tontonan yang dilihat.

Irna Minauli, Psikolog menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum seperti pada kasus kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa ibunya merupakan kasus yang sangat langka.

"Secara statistik hanya sekitar 1.7-4 persen saja angka kejadiannya di seluruh dunia. Akan tetapi, dengan maraknya perceraian, ketidakharmonisan dalam keluarga, dan kekerasan dalam keluarga, dikhawatirkan angka kejadiannya akan semakin meningkat," kata Irna Minauli yang juga merupakan Direktur Minauli Consulting.

Bahkan, menurut Irna, hadirnya game online atau tontonan yang menampilkan kekerasan ini sangat berdampak pada anak. Sehingga, dapat membuat dirinya mengalami desensitisasi.

Diketahui, desensitisasi adalah sifat yang membuat kurang rentan atau sensitif terhadap rangsangan fisik atau emosional. "Mereka menjadi kurang peka terhadap masalah kekerasan. Mereka dapat menormalisasi kekerasan sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapinya," jelasnya.

"Meski demikian, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pada game online atau tontonan semata sebagai penyebab timbulnya kekerasan. Harus dilihat juga faktor predisposisi atau yang mendahuluinya, seperti pengalaman atau paparan kekerasan yang dialaminya, keluarga yang tidak berfungsi dengan baik (dysfunctional family), serta kepribadian anak yang secara emosional masih labil. Kemudian harus dilihat adanya faktor pencetus (trigger) sehingga memunculkan kemarahan atau agresivitas pada anak," tambah Irna.

1. Irna menilai banyak orang yang tidak meyakininya

Psikolog Irna Minauli saat ditemui di Minauli Consulting (IDN Times/Masdalena Napitupulu)
Psikolog Irna Minauli saat ditemui di Minauli Consulting (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Pada kasus anak usia 12 tahun yang melukai ibunya, Irna menilai banyak orang yang tidak meyakininya. Kebanyakan masyarakat masih dipengaruhi oleh persepsi yang salah yang terbentuk selama ini berdasarkan video yang beredar. Padahal video itu adalah gambaran anak lima tahun yang lalu, ketika kehidupan keluarganya masih baik, dan anak masih berusia sekitar tujuh tahun.

Saat ini, dalam usianya yang kedua belas tahun, ia telah berkembang menjadi remaja yang memiliki tinggi 167 cm, lebih tinggi dari kakak dan ibunya. Ia juga secara fisik sangat terjaga karena suka berolah raga basket, taekwon do, pull-up, dan bermain sandsack.

Secara intelektual ia seorang anak yang sangat cerdas sehingga prestasi sekolahnya cukup menonjol. Secara kepribadian ia agak pendiam, menarik diri, dan suka menolong. Namun, sebagaimana remaja lainnya, ia juga secara emosi masih labil, agak keras kepala namun ia cenderung memendam kemarahannya, yang akhirnya menjadi ledakan emosi yang tidak terkendali.

Usianya yang masih muda membuat dirinya belum memiliki banyak pertimbangan sehingga tidak menyadari konsekuensi dari perbuatannya. Itu sebabnya ia hanya berpikir sesaat untuk melampiaskan kemarahannya pada ibunya yang dianggap terlalu keras dalam mendidik mereka karena sering disertai dengan kekerasan fisik.

2. Tidak ada gangguan mental pada anak tapi ada kecenderungan kurang empati

IMG_20251231_172129.jpg
Psikolog Forensik, Dr. Irna Minauli, M.Si (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Secara psikologis, Irna sebut tidak dijumpai gangguan mental pada anak. Tidak dijumpai skizofrenia, depresi, maupun trauma (Post-traumatic stress disorder).

"Memang ada kecenderungan kurang berkembangnya empati serta labilitas emosi. Akan tetapi, hal itu dinilai masih wajar mengingat tahap perkembangan remajanya. Selain itu, tidak dijumpai adanya masalah gangguan perilaku (conduct disorder) karena ia tidak memperlihatkan perilaku senang melanggar aturan, menyiksa binatang atau merusak properti. Oleh karenanya penyebabnya lebih disebabkan karena pengalaman kekerasan dalam keluarganya, ketidakharmonisan, serta emosi yang masih labil," ungkapnya.

Lanjutnya, dari berbagai kasus paricide sehingga anak menghabisi nyawa ayahnya (patricide) atau ibunya (matricide). Kejadian ini menjadi pembelajaran untuk lebih menjaga keharmonisan dalam keluarga. Sehingga, tercipta kebahagiaan dan suasana aman bagi setiap anggota keluarga.

Menurutnya, konflik antara suami istri sering menimbulkan kemarahan pada istri yang dilampiaskan kepada anak-anaknya sehingga anak menjadi korban ketidakbahagiaan perkawinan orangtuanya.

3. Psikolog sebut komunikasi yang baik menunjukkan kehadiran dalam keluarga atau lingkungan tanpa perlu sibuk mempostingnya

Psikolog anak, Irna Minauli (Dok. Istimewa)
Psikolog anak, Irna Minauli (Dok. Istimewa)

Masih dalam penjelasan Irna, banyaknya kasus perselingkuhan, masalah judi online, pinjaman online, serta narkoba sering menjadi pemicu ketidakharmonisan keluarga. Banyak yang membiarkan masalahnya, sehingga menimbulkan suasana rumah tangga yang tidak nyaman. Secara hukum tidak bercerai namun perang dingin yang terjadi antara kedua orangtua dapat menimbulkan perasaan sedih sekaligus marah pada anak-anaknya.

Peran keluarga saat ini tampaknya perlu dibina dengan lebih baik lagi, karena banyak orangtua yang lebih sibuk dengan handphone-nya dibandingkan menghabiskan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Perasaan diabaikan akan menimbulkan jarak antara orangtua dan anak. Banyak orang yang mengalami phubbing, sehingga tetap sibuk dengan gawainya. Atau kalaupun menggunakannya, banyak yang sekedar pencitraan yang menggambarkan kegiatan kebersamaannya saja.

"Secara psikologis, semakin sibuk seseorang mencari validasi dari orang lain, dapat menunjukkan adanya masalah dalam kehidupannya. Komunikasi yang baik justru menunjukkan kehadiran penuh seseorang dalam keluarga atau lingkungannya tanpa perlu sibuk mempostingnya," pungkas Irna Minauli.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Penyintas Banjir di Tapsel Didominasi Terjangkit ISPA dan Gatal

31 Des 2025, 20:08 WIBNews