Simpang Siur 1,2 Ton Sisik Trenggiling yang Dijual Anggota TNI dan Polri

ASAHAN, IDN Times - Seorang sipil dan dua prajurit TNI aktif sudah divonis bersalah karena bersekongkol melakukan perdagangan sisik trenggiling seberat 1,2 ton. Tinggal seorang polisi yang saat ini menanti vonis pengadilan.
Sayangnya, hukuman yang diberikan majelis hakim kepada tiga terpidana masih jauh dari kata minimal, seperti tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Dua TNI yang bertugas di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara; Sersan Kepala (Serka) Muhammad Yusuf Harahap dan Sersan Dua (Serda) Rahmadani Syahputra hanya dituntut 8 bulan penjara oleh Oditur Militer. Lalu pada 3 Juli 2025, Hakim Pengadilan Militer Medan menjatuhkan vonis 1 tahun penjara pada keduanya dan dikurangi masa tahanan.
Di Pengadilan Negeri (PN) Kisaran, terdakwa sipil Amir Simatupang dituntut hukuman tujuh tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum.
Hakim PN Kisaran kemudian hanya menjatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp500 juta pada Amir dalam persidangan pada 28 Juli 2025. Jaksa kini sedang melakukan upaya banding terhadap putusan hakim.
Fungsi pengadilan untuk mengungkap fakta di balik tindak pidana lingkungan ini seakan tidak berjalan. Meski tiga terdakwa sudah divonis, masih banyak teka-teki yang belum terjawab di persidangan.
Dari mana asal-usul 1,2 ton sisik trenggiling yang diperdagangkan? Mengapa CCTV di Polres Asahan tidak dijadikan alat bukti? Mengapa Si Pembeli yang sudah mentransfer uang tidak diungkap?
Mengapa tersangka Aipda Alfi Hariadi Siregar yang merupakan Personel di Polres Asahan sangat lama ditetapkan menjadi tersangka? Padahal, dirinya ikut terjaring bersama tiga terdakwa lainnya dalam operasi gabungan yang dilakukan oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Sumatera bersama Pomdam I/Bukit Barisan dan Polda Sumut pada 11 November 2024. Serta banyak lagi kejanggalan yang belum terjawab.
Sisik Trenggiling Keluar dari Gudang Polres Asahan
Terkait asal-usul 1,2 ton sisik trenggiling, pada persidangan di Pengadilan Militer Medan, terdakwa Serka Muhammad Yusuf Harahap dan Serda Ramadhani Syahputra secara terang-terangan mengakui memindahkan sisik trenggiling dari Gudang Polres Asahan ke kios milik Yusuf atas permintaan personel Polres Asahan, Aipda Alfi Hariadi Siregar.
Alfi awalnya meminta tolong untuk menitipkan barang bukti dari Gudang Polres Asahan pada pertengahan Oktober 2024 dengan alasan akan ada kunjungan pimpinan ke Mapolres Asahan. Yusuf dengan tangan terbuka membantu Alfi. Yusuf mengajak Dani untuk menemui Alfi di Mapolres Asahan pada malam hari menggunakan mobil.
Di Polres Asahan, Alfi sudah menunggu di depan gudang yang terkunci. Lalu, ia membuka kunci gudang yang di dalamnya sudah ada mobil pikap L300 dengan muatan 25 karung.
Yusuf dan Dani pada malam itu tidak mengetahui apa isi muatannya. Mereka hanya memenuhi permintaan Alfi untuk memindahkannya ke kios milik Yusuf yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Polres Asahan. Dani membawa pikap tersebut, Yusuf tetap menyetir mobil miliknya, sedangkan Alfi tetap di Polres Asahan.
Saat memindahkan isi pikap ke dalam kios, terdapat karung yang koyak dan terlihatlah isi karung tersebut berupa sisik trenggiling. Meski demikian, Yusuf dan Dani tidak menghiraukannya. Setelah 25 karung diturunkan, Dani Kembali ke Polres Asahan untuk mengembalikan pikap tersebut kepada Alfi.
Dua pekan berselang, Yusuf mulai gelisah karena Alfi tak kunjung menjemput 'barang titipannya'. Ia lalu meminta Dani menghubungi Alfi untuk menanyakan hal tersebut.
Bukannya menjemput 'barang titipan', via telepon selular Alfi malah meminta Dani untuk menjual sisik trenggiling tersebut.
Pembicaraan soal penjualan sisik trenggiling berlanjut di kafe. Menurut pengakuan Dani di persidangan, Alfi mengatakan sisik trenggiling laku dijual untuk bahan dasar membuat kosmetik dan harganya bisa mencapai Rp600 ribu per kilogram.
Kala itu, Alfi menjanjikan pembagian Rp200 ribu per kilogram sisik trenggiling yang laku terjual untuk mereka bertiga. Sedangkan Rp400 ribu per kilogram yang laku terjual disebutkan Alfi untuk "Kanit" pemilik sisik trenggiling.
Hakim pernah meminta pada jaksa untuk menghadirkan "kanit" yang dimaksud untuk dijadikan saksi. Namun, hingga vonis dijatuhkan kepada Dani dan Yusuf, "Kanit" tersebut tidak pernah diminta menjadi saksi oleh jaksa.
Dani dan Yusuf konsisten dengan kesaksiannya pada Persidangan Militer sebagai terdakwa dan saat menjadi saksi terdakwa Amir Simatupang di PN Kisaran. Sedangkan Alfi dengan konsisten juga membantah pernyataan dari kedua TNI itu di dua persidangan saat hadir sebagai saksi.

Mendapat Pembeli dan Disergap Petugas
Usai perbincangan di kafe, Dani ternyata tergiur dengan pembagian yang ditawarkan Alfi. Ia mencari calon pembeli sisik trenggiling dengan bertanya ke beberapa rekannya.
Pada pekan pertama November 2024, seorang bernama Amir Simatupang tiba-tiba menelepon Dani menanyakan sisik trenggiling.
Di persidangan, Amir mengaku temannya di media sosial bernama Alex asal Aceh sedang mencari sisik trenggiling. Teringat bahwa rekannya yang lain pernah menawarkan sisik trenggiling, Amir pun menghubunginya dan mendapatkan kontak Dani.
Melalui telepon, Amir ingin memastikan bahwa sisik trenggiling itu masih ada atau tidak.
Setelah itu, Amir ditugaskan Alex untuk melihat langsung sisik trenggiling tersebut dan menjanjikan Rp100 ribu untuk per kilogram sisik trenggiling yang jadi dibeli.
Amir yang merupakan pencari minyak nilam asal Labuhanbatu Utara itu tergiur dengan upah yang ditawarkan Alex. Dengan biaya yang diberikan Alex, ia lantas berangkat ke Kisaran menggunakan bus.
Pada 10 November 2024, Amir bertemu Dani di Tanah Lapang Kota Kisaran. Dani membawa Amir ke rumahnya untuk beristirahat sembari menunggu Yusuf pulang bekerja. Malam harinya, Dani membawa Amir ke rumah Yusuf dan memastikan bahwa sisik trenggiling masih ada dan asli.
Usai sisik trenggiling dilihat dan dipegang oleh Amir, Dani lalu menelepon Alex untuk negosiasi harga. Alex menawar dengan harga Rp900 ribu per kilogram pada Dani dan akan membeli 320 kilogram. Dani langsung setuju. Ia memberitahukannya pada Yusuf dan Alfi, lalu mereka sepakat untuk menjualnya.
Namun, Dani tidak memberitahu harga yang sebenarnya pada Alfi. Pada Alfi, Dani mengatakan Alex membeli dengan harga Rp600 ribu per kilogram. Selisih Harga Rp300 ribu dijanjikan Dani dibagi untuk Yusuf dan Amir.
Alex mentransfer uang Rp3,5 juta pada Dani untuk biaya packing dan ongkos kirim. Malam itu juga, Amir, Dani, dan Yusuf mengemas 320 kilogram sisik trenggiling ke dalam sembilan kotak besar dan memasukkannya ke mobil Yusuf. Alfi tiba di rumah Yusuf pada 11 November 2024 pagi.
Mereka berempat mengantar paket berisi 320 kilogram ke loket PT RAPI Kisaran untuk dikirim pada Alex. Dani membonceng Amir menggunakan motor, Yusuf menyetir mobil berisi paket 320 kilogram sisik trenggiling, Alfi mengikuti Yusuf menggunakan mobilnya.
Mereka berempat tiba di loket PT RAPI sekitar pukul 10.00 WIB.
Amir menunggu di warung seberang loket. Yusuf dan Dani menurunkan paket sisik trenggiling ke loket dan hendak meminta resi pengiriman. Alfi kemudian meminta Dani memastikan Alex melakukan pembayaran. Dani mengambil gambar sembilan kotak sisik trenggiling yang akan dikirim pada Alex dan meminta transfer uang pembelian.
Belum sempat uang ditransfer, tiba-tiba tim Gabungan Penegak Hukum dan Gakkum KLHK Sumut datang dan menangkap mereka berempat beserta alat bukti sembilang kotak berisi sisik trenggiling.
Amir dibawa ke markas Balai Gakkum LHK Sumatera, Yusuf dan Dani dibawa ke Markas Sub Detasemen Polisi Militer di Asahan lalu dipindahkan lagi ke Tahanan Militer Kodam I/BB di Medan. Saat itu, Alfi sempat dibawa ke Sub Denpom Asahan. Namun, ia pulang begitu saja.
Pada Agustus lalu, Alfi ternyata diperiksa oleh Propam Polda Sumut. Ia menjalani tahanan di sel (Patsus) selama 21 hari sejak awal September. Ia juga dihukum oleh Propam Polda Sumut karena terbukti terlibat dalam perdagangan tersebut. Ia dihukum mendapatkan pembinaan dan pendidikan (Bindik) dan tidak bisa mengikuti pendidikan di kepolisian selama satu tahun.
Alur kronologis dari mulai mencari calon pembeli hingga penangkapan yang diutarakan Dani, Yusuf, dan Amir secara keseluruhan selaras. Baik itu saat menjadi saksi maupun terdakwa di PN Kisaran dan Pengadilan Militer.
Namun, kesaksian Alfi saat menjadi saksi di PN Kisaran Senin (28/4/2025) bertolak belakang. Alfi seakan 'amnesia' dan lupa semua peristiwa yang ia alami bersama Dani, Yusuf, dan Amir. Hakim pun geram.
Ia membantah semua keterangan dari dua TNI yang dibeberkan pada sidang sebelumnya. Padahal, keterangan tersebut sudah sesuai seperti yang tertuang dalam BAP dan dakwaan jaksa. Pertanyaan yang dilontarkan hakim, jaksa, dan kuasa hukum selama persidangan hanya dijawab ‘lupa’, tidak ingat’, dan ‘mereka bohong’ oleh Alfi.
Akhirnya sidang berjalan sangat singkat karena hakim tidak bisa menggali kesaksian apa-apa. Ketua Majelis Hakim Yanti Suryani bertanya apakah benar Alfi yang meminta Yusuf dan Dani untuk datang ke gudang Polres Asahan untuk mengambil sisik trenggiling, lalu meminta menyimpannya di kios milik Yusuf? Alfi menjawab dua TNI itu bohong.
Kemudian, saat ditanya kenapa bisa ditangkap bersamaan di loket PT RAPI, Alfi mengaku ada di situ karena ingin membeli tiket bus.
“Kalau kamu merasa gak bersalah dan hanya beli tiket, apa kamu gak marah waktu dikonfrontir sama dua TNI itu?” tanya Yanti.
“Saya ada marah di sidang militer. Tapi katanya harus soft [karena] itu kan persidangan, itu kan masih tahap pemeriksaan,” ungkap Alfi.
Hakim kembali bertanya, “Kalau kamu tidak bersalah, setelah selama ini, kenapa kamu tidak marah dan tidak menggugat balik mereka (dua TNI)? Harusnya sudah kamu lakukan itu sejak awal. Ini sudah hampir enam bulan kenapa kamu diam saja?”
Alfi menjawab dalam beberapa bulan terakhir ia tidak sempat membuat laporan dan sedang tidak fokus.
Ia juga mengatakan setelah persidangan ini akan membuat laporan balik untuk dua TNI yang sudah menuduhnya mengeluarkan 1,2 ton sisik trenggiling dari gudang Polres Asahan, meminta Dani mencari pembeli, dan mengawal pengiriman sisik trenggiling hingga ke loket PT RAPI.
Hakim Yanti Suryani terlihat kesal dengan kesaksian Alfi. Ia merekomendasikan kepada jaksa agar Bripka Alfi Hariadi Siregar segera ditetapkan sebagai tersangka.
“Berdasarkan hasil persidangan dari minggu sebelumnya hingga saat ini yang sudah terangkum dalam berita acara, hakim di sini menilai ada keterlibatan saksi (Bripka Alfi). Namun, semua kewenangan penyidik, apakah mau meneruskan ke tahap selanjutnya, kami hanya merekomendasikan. Tapi dalam sidang ini sudah ada dua bukti yang cukup membuktikan keterlibatan saudara (Bripka Alfi),” ujar Hakim Yanti.
Ia menegaskan, jika keberatan dengan yang dituduhkan, Alfi bisa menyatakan keberatan dan membantah hasil penyelidikan. Hakim mengingatkan Alfi bahwa tidak ada yang kebal hukum di Indonesia, siapa pun bisa terjerat dan bisa terbukti bersalah.
“Artinya, saudara bisa membela hak saudara apabila penyidik Polri meneruskan ini. Saudara punya hak membela diri. Tapi semua warga negara, semua pihak harus adil, tidak ada yang kebal hukum. Hakim aja ditangkap, Ketua MK, Ketua KPK aja ditangkap, saya sebagai Ketua Pengadilan bisa juga, kita tidak ada yang kebal hukum. Kalau merasa tidak bersalah kita bisa membela diri,” ujarnya.
Yanti pun mengatakan bahwa dirinya mengira Alfi sudah ditetapkan sebagai tersangka, sebagaimana tiga pihak lain yang terlibat.
“Saat saya baca dakwaan ini, dijelaskan saksi dalam berkas terpisah, saya mengira saksi ini sudah dijadikan tersangka. Ternyata ini belum proses apa-apa, hanya proses kode etik (oleh Polda Sumut), tidak ada proses penyelidikan dan tidak diperiksa sama sekali. Sedangkan dua anggota TNI sudah tersangka dan sudah menjalani sidang di Pengadilan Tinggi Militer Medan,” ujar Yanti dengan nada sedikit meninggi.
Tak lama setelah menjadi saksi terdakwa Amir, Alfi resmi mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka. Namun, praperadilannya ditolak hakim PN Kisaran.
Aipda Alfi ditahan dan berkas tahap II diserahkan Gakkum KLHK pada Kejaksaan Negeri Kisaran pada 17 September 2025.
Di persidangan militer, ternyata Alfi melakukan hal yang sama. Oditur Militer, M. Tecky, heran dan marah dengan sikap 'amnesia' Alfi di hadapan majelis hakim militer.
Dalam dua kali kesaksian, Alfi membantah semua isi BAP awal pemeriksaan. M. Tecky merasa dua anggota TNI dikorbankan oleh Aipda Alfi dalam kasus penjualan sisik trenggiling ini sehingga memutuskan menuntut ringan Serka Yusuf dan Serda Dani, yakni 8 bulan penjara.
"Tiga orang sudah terdakwa, tapi otak pelakunya masih bebas, masih saksi. Kalian tahu Alfi itu sudah naik pangkat (dari Bripka) jadi Aipda dan pindah tugas (promosi) ke Polsek Mandoge?" ujar Tecky dengan nada heran.

Tim mencoba menelusuri asal-usul sisik trenggiling itu. Kapolres Asahan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Revi Nurvelani yang diwawancarai, menyerahkan pertanyaan itu kepada Kepala Unit Propam Ajun Komisaris Polisi (AKP) Eben Siregar lantaran Revi baru saja menjabat mulai Juli 2025.
Eben yang ditanyai ihwal fakta persidangan bahwa sisik trenggiling itu berasal dari gudang Polres Asahan, membantahnya.
“Tidak bisa kita buktikan, bahwa barang itu berasal dari Gudang Polres Asahan,” ujar Eben di Mapolres Asahan, 16 September 2025 lalu.
Bahkan, kata Eben, pihaknya sudah memeriksa sejumlah petugas selain Alfi. Personel Sat Reskrim, Unit Tindak Pidana Tertentu, hingga petugas yang bertanggung jawab dengan gudang barang bukti sudah diperiksa. Semuanya kompak menjawab tidak mengetahui ihwal sisik trenggiling itu.
Jawaban dari Polres Asahan bertolak belakang dengan fakta persidangan yang ada. Dalam persidangan, kedua tentara mengaku mereka mengambil sisik trenggiling itu dari gudang Polres Asahan.
Ihwal keberadaan sisik tenggiling dalam jumlah besar ini juga sempat dikuatkan saksi tambahan dalam persidangan Yusuf dan Dani. Saksi yang dihadirkan adalah Komandan Unit Intel Kodim 0208/Asahan Letnan Satu Zulpiadi Tamzil Panjaitan. Dokumen putusan Pengadilan Militer I-02 Nomor 10-K/PM.I-02/AD/II/2025 dengan terdakwa Yusuf dan Dani menguatkan fakta bahwa sisik itu berasal dari Polres Asahan.
Beleid itu menunjukkan Zulpiadi mengenal Alfi. Ia juga pernah melihat Alfi, Dani dan Yusuf bertemu bersama di salah satu warung kopi.
Dalam kesaksiannya, Zulpiadi juga menyebut, Alfi sempat bertemu dengan Zulpiadi, dua bulan sebelum operasi pengungkapan itu.
Saat itu, Alfi menunjukkan sisik trenggiling yang ada di dalam kantong plastik kepada Zulpiadi. Bahkan Alfi menerangkan jika sisik itu merupakan hasil penangkapan Polres Asahan.
“Izin Ndan, kami ada tangkapan sisik, apakah ada pembeli?” ujar Alfi seperti yang dituliskan dalam kesaksian Zulpiadi.
Kata Zulpiadi, Alfi berani mengatakan itu karena merasa sudah percaya dengan Zulpiadi. Namun, saat itu Zulpiadi menghiraukannya karena menganggap itu ilegal.
Dalam kesaksiannya, Zulpiadi juga mengatakan bahwa dirinya sudah pernah mendengar soal pengungkapan kasus sisik tenggiling di Polres Asahan sebelum penangkapan Alfi, Dani, Yusuf dan Amir.
Ia mendapat informasi tentang penangkapan perdagangan sisik trenggiling itu di salah satu hotel di Kabupaten Asahan.
Menurut informasi itu, sisik trenggiling yang diungkap merupakan milik Acin, seorang warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Meskipun Zulpiadi bilang, ia belum menjamin kepastian informasi itu.
Vonis Jomplang antara Sipil dan Militer
Setelah persidangan beberapa bulan, Amir Simatupang dijatuhi hukuman penjara 3 tahun oleh Majelis Hakim PN Kisaran, Selasa (29/7/2025). Jauh di bawah tuntutan jaksa, yakni 7 tahun penjara. Amir langsung menerima putusan hakim. Sebaliknya jaksa masih pikir-pikir.
Sepekan kemudian, Jaksa resmi mengajukan banding atas putusan hakim. Mereka menuntut hakim agung menjatuhkan hukuman pada Amir sesuai tuntutan mereka yakni 7 tahun penjara. Hukuman 3 tahun dianggap sebagai putusan terendah dan Amir harus mendapatkan hukuman lebih berat karena terlibat dalam penjualan sisik trenggiling yang beratnya 320 kilogram.
Jaksa Heriyanto Manurung mengatakan banyak hal yang memberatkan Amir. Pertama, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kedua, perbuatan terdakwa telah mengancam kelestarian jenis satwa yang dilindungi dan dapat merusak keseimbangan ekosistem.
Ketiga, proses perburuan penangkapan hingga pengambilan bagian tubuh dari trenggiling mencerminkan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip dasar kesejahteraan hewan.
Keempat, terdakwa melanggar nilai etika ekologis dan konservasi dalam hukum nasional dan internasional. Selain itu pelaku kejahatan satwa liar bertindak dengan niat dan kesadaran penuh, tidak sekadar karena ketidaktahuan tetapi karena adanya dorongan pasar dan keuntungan.
"Saat ini, sisik trenggiling menjadi komoditas mahal, terutama di pasar gelap Asia Timur seperti Tiongkok karena dipakai untuk bahan baku kosmetik hingga pembuatan narkotika jenis sabu. Selain itu, harga 1,2 ton sisik trenggiling diperkirakan mencapai 298 miliar, yang berarti lebih dari 5.000 ekor trenggiling dibunuh," ungkapnya.
Penasihat Hukum Amir Simatupang, Khairul Abdi Silalahi mengatakan meski Amir Simatupang sudah divonis, tetapi sangat banyak kejanggalan yang tidak terungkap di pengadilan.
Pertama, pembeli atas nama Alex yang disebutkan dalam BAP dan kesaksian terdakwa tidak didalami dan belum ditangkap hingga saat ini. Padahal ada bukti transfer bank dan komunikasi chat dan telepon.
Kedua, untuk membuktikan pernyataan Serka Yusuf dan Serda Dani terkait asal usul 1,2 ton sisik trenggiling, maka jaksa harusnya membawa bukti pendukung berupa rekaman CCTV. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi, dan hakim tidak pernah menuntut bukti tersebut.
Ketiga, seorang "kanit" di Polres Asahan yang dijanjikan menerima Rp400 ribu dari tiap kilogram sisik trenggiling yang terjual juga tidak pernah dihadirkan dalam persidangan di PN Kisaran.
Keempat, mengapa penetapan Alfi sebagai tersangka sangat lama, tidak bersamaan dengan Amir. Dalam berkas dakwaan jaksa, tercantum nama Alfi dengan keterangan "berkas terpisah"[7] . Asumsinya, Alfi dan Amir sudah sama-sama berstatus terdakwa dan akan disidangkan maraton bergantian dalam berkas terpisah.
Nyatanya, hingga Amir dituntut jaksa, Alfi baru ditetapkan sebagai tersangka. Sehingga hanya bisa mengorek keterangan Alfi dalam status saksi pada sidang terdakwa Amir, bukan keterangan sebagai terdakwa.
"Oke, kita terima putusan hakim menjatuhkan penjara tiga tahun, tapi siapa otak pelakunya? Dari mana asal usul 1,2 ton sisik trenggiling ini? Ini kan gak terjawab. Harusnya jaksa bisa mengungkap itu sejak awal persidangan, hakim juga bisa mendorong jaksa membuktikan itu selama pengadilan berjalan," ungkapnya.
Khairul berharap pada persidangan Alfi nantinya fakta-fakta yang tidak terungkap di persidangan Amir bisa diungkap.

Hakim Irse Yanda mengakui ada beberapa fakta yang tidak tuntas dibongkar pada persidangan terdakwa Amir. Menurutnya, ia dan dua hakim lainnya sudah berupaya merekomendasikan berbagai hal pada jaksa penuntut umum.
Misalnya, mendesak penetapan tersangka Alfi Hariadi Siregar dengan segera. Kemudian, menolak praperadilan yang diajukan oleh Alfi. Hakim juga mendesak jaksa menghadirkan beberapa saksi yang bisa mengungkap kasus secara terang benderang, seperti ‘Kanit’ dan penanggung jawab gudang di Mapolres Asahan.
“Kami hakim kan kemampuannya terbatas. Pembeli misalnya, kan dari Aceh, kami gak punya kemampuan lebih jauh ke sana. Yang bisa PN Kisaran lakukan apa? Meminta jaksa menghadirkan saksi ‘kanit’, karena masih di Kisaran, bisa kita desak, tapi jaksa ternyata tidak melakukan rekomendasi itu. Kami desak Alfi untuk segera ditersangkakan karena kami menilai dari fakta-fakta persidangan sudah cukup bukti,” terang Irse.
Saat ini, Alfi sudah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan sudah menjalani sidang perdana di PN Kisaran pada 1 Oktober 2025.
Publik masih menanti seberapa berat hukuman ‘Sang Polisi’ yang diduga otak pelaku perdagangan 1,2 ton sisik trenggiling. Kasus ini menjadi sorotan publik. Pengungkapan ini termasuk yang terbesar dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
Perdagangan sisik trenggiling menyebabkan kerugian ekologi yang begitu besar. Direktorat Jenderal Gakkum LHK Rasio Ridho Sani (2015-2025) mengungkapkan valuasi ekonomi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan ahli dari IPB University bahwa 1 ekor trenggiling mempunyai nilai ekonomis berkaitan dengan lingkungan hidup sebesar Rp50,6 juta.
Untuk mendapatkan 1 kilogram sisik trenggiling, 4-5 ekor trenggiling dibunuh. Dengan dibunuhnya 5.900 ekor trenggiling, maka kerugian lingkungan mencapai Rp298,5 miliar.


















