Soal Virus HMPV, Prof Taruna Ikrar Sudah Ingatkan soal Silent Pandemic

Medan, IDN Times – Saat ini dunia sedang dihadapkan dengan ancaman penyebaran Virus Human Metapneumovirus (HMPV). Yakni virus RNA yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Kasusnya sudah ditemukan di China dan Malaysia.
Virus ini sebenarnya pertama kali diidentifikasi pada tahun 2001 di Belanda dan dapat menimbulkan gejala seperti batuk, pilek, demam, hingga kesulitan bernapas. Kelompok rentan terhadap virus ini adalah anak-anak di bawah lima tahun, lansia, serta individu dengan sistem imun lemah atau penyakit pernapasan kronis.
Menurut data dari WHO dan CDC, HMPV dapat menular melalui kontak langsung dengan penderita, udara (droplet), atau menyentuh permukaan yang terkontaminasi.
Terkait penyebaran virus ini, Kepala BPOM RI, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D sudah memberikan warning. Pada 4 Januari 2025, ia memberikan orasi ilmiah bertajuk Ancaman Besar ‘Silent Pandemic’ Dunia Akibat Resistensi Antimikroba.
Orasi ilmiah ini dirangkaikan dengan penganugerahan gelar ilmuan berpengaruh yang diserahkan langsung oleh Rektor UNPRI Medan, Prof Dr Crismis Novalinda Ginting, M.Kes.
Yuk isi orasi ilmiahnya yang menyinggung soal ancaman pandemik baru di dunia.
1. Silent pandemic ada di hadapan mata kita

Ia diangkat menjadi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sejak 19 Agustus 2024 oleh Presiden Joko Widodo. Sebelumnya ia sudah menulis dua terkait Resistensi Antimikroba, yakni ‘Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba’ dan ‘Pengendalian Resistensi Antimikrona di Indonesia’.
“Saya sudah menggeluti parmakologi lebih dari 30 tahun. Kenapa? Karena ilmu ini kunci dari ilmu pengobatan, jantung dan lainnya kuncinya adalah parmakologi, obatnya. Untuk itu pada pagi hari ini saya memberikan orasi ilmiah bertema Ancaman Besar ‘Silent Pandemic’ Dunia Akibat Resistensi Antimikroba,” terangnya.
Ia bercerita dunia baru melewati masa Pandemik COVID-19. Selama 3 tahun dunia mengalami suasana kocar-kacir menghadapi pandemic ini, ratusan juta penduduk dunia meninggal, dampak ekoconomi yang ditimbulkan mencapai ratusan triliun dolar.
“Tapi itu baru permulaan, bisa jadi pandemik lainnya akan datang dalam waktu 3 tahun, 5 tahun, atau 10 tahun kedepan. Apa penyebabnya? Antimicroba Resistence. Silent pandemic ada di hadapan mata kita. Artinya ada pandemik-pandemik baru yang bisa terjadi tanpa kita sadari,” ungkapnya.
Ia menganalogikan bagaimana jika dalam suatu peperangan semua senjata tidak mempan lagi pada musuh. Maka kita akan mati konyol. Begitu juga dengan antibiotik, punya dampak yang sangat signifikan dalam dunia Kesehatan yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, yaitu itu Penisilin. Menjadi senjata yang sangat dahsyat untuk menghadapi infeksi parasit, bakteri, virus, ataupun jamur. Penemuan ini menandai era baru dalam pengobatan penyakit infeksi.
“Lantas apa yang terjadi jika infeksi itu semua sudah kebal terhadap antibiotik? Flu biasa bisa jadi tidak bisa diobati. Itu nyata di depan mata, nanti akan saya tampilkan,” katanya.
Taruna mengatakan resistensi antimikroba sendiri terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang bahkan di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka.
Dari hasil temuan Prof. dr. Taruna, bahwa kematian karena bakteri semakin luas terjadi di dunia. Penyebabnya antibitok yang ada tidak mampu melawan kuman-kuman yang ada, karena antimiroba prosesnya alami.
“Jadi yang dulu obat paten sudah tidak mempan lagi. Satu yang kena akan menularkan pada yang lain, lalu menularkan lagi pada yang lain, dan itu yang akan menciptakan silent pandemic. Dulu penisilin obat yang terkenal sekarang tidak mempan lagi, Kemudian muncul Betalaktam. Jadi penyakit biasa dikasi obat tidak mempan, maka akan bisa menyebabkan kematian. Covid saja 3 tahun kita sudah kocar-kacir, bagaimana jika virus-virus yang dulu ada bangkit lagi dengan lebih kuat dan kita tidak memiliki obatnya. Itu yang harus kita cegah terjadi,” bebernya.
Taruna menambahkan fenomena resistensi antimikroba tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.
"Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” kata alumni Fakultas Kedokteran Unhas itu.
Ia mencontohkan bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka. Spektrum mikroorganisme, kata dia, yang berpotensi menjadi resisten sangatlah luas. Selain bakteri juga ada virus, jamur, dan parasit.
“Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistensi antarspesies,” katanya.
Fenomena ini memungkinkan penyebaran cepat kemampuan bertahan melawan antimikroba. Bahkan di antara bakteri yang secara taksonomi berbeda. Menurut dia, proses ini merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetis beradaptasi untuk bertahan hidup menghadapi tantangan lingkungan dalam antimikroba.
2. Faktor Pendorong Resistensi Antimikroba

Menurut Taruna Ikrar, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi pendorong utama. Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resisten lintas wilayah dan benua.
Taruna menambahkan resistensi antimikroba tidak hanya sekadar tantangan medis, tetapi juga merupakan persoalan kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ia membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan, dan kesadaran masyarakat.
Upaya mengatasi resistensi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem.
Di masa depan, kata Taruna, penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif. Terapi fago, terapi menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik, menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan.
Faktor antropogenik memainkan peran krusial dalam akselerasi resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.
“Pemberian antibiotik dalam dosis sub-terapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” katanya.
Taruna menambahkan pengendalian yang dikembangkan akan segera direspons dengan mekanisme adaptasi baru, menciptakan perlombaan evolusioner yang berkelanjutan antara manusia dan mikroorganisme.
Ia mengatakan pentingnya memahami resistensi antimikroba tidak dapat dilebih-lebihkan. Ini bukan sekadar fenomena medis, melainkan tantangan multidisipliner yang memerlukan kerja sama lintas bidang dari mikrobiologi, kedokteran, farmakologi, hingga kebijakan kesehatan publik.
Setiap intervensi harus mempertimbangkan kompleksitas biologis, sosial, dan ekologis yang terlibat dalam proses ini.
Kesadaran global terhadap resistensi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistensi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan.
Strategi yang efektif, kata dia, tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, tetapi juga pada manajemen penggunaan yang bijak, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan edukasi komprehensif.
Di Indonesia sendiri, tambah Taruna, resistensi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resisten.
“Dibutuhkan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal,” katanya.
3. Dampak Global

Taruna Ikrar menegaskan resistensi antimikroba telah berkembang menjadi krisis kesehatan global yang mengancam fundamental sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kemampuan medis dalam menangani penyakit menular, tetapi juga mengancam seluruh arsitektur kemajuan pengobatan yang telah dibangun selama satu abad terakhir.
Menurut Taruna, dampak ekonomi dari resistensi antimikroba sangatlah signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis global. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050, kerugian ekonomi global akibat resistensi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar. Angka ini setara dengan hilangnya sekitar 3,8% dari produk domestik bruto global.
“Negara-negara berkembang akan paling parah terkena dampaknya, dengan potensi jatuhnya jutaan penduduk ke dalam lingkaran kemiskinan akibat biaya pengobatan yang membengkak dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” katanya.
Aspek kesehatan masyarakat dari resistensi, antimikroba jauh lebih kompleks daripada sekadar statistik. Setiap kali satu spesies mikroba menjadi resisten terhadap pengobatan, ia tidak hanya mengancam individu yang terinfeksi, tetapi juga menciptakan reservoir genetik potensi bahaya bagi seluruh populasi.
Rumah sakit dan fasilitas Kesehatan, kata Taruna juga akan dipaksa harus mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks. Prosedur medis yang saat ini dianggap rutin-seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi akan menjadi prosedur berisiko tinggi dengan potensi komplikasi infeksi yang signifikan.
Proyeksi World Health Organization (WHO), kata dia, menuntut perhatian sangatlah mengejutkan dan menyeluruh. Pada tahun 2050, diperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahun akibat infeksi resisten-angka yang melampaui kematian akibat kanker.
Menurut dia, Ini bukan sekadar prediksi statistik, melainkan peringatan keras tentang potensi keruntuhan sistem keschatan global. Setiap tahun penundaan penanganan serius akan semakin memperbesar risiko bencana kesehatan global.
Respon internasional menjadi kunci dalam mengatasi krisis resistensi antimikroba. Dibutuhkan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu. Tidak hanya diperlukan riset pengembangan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. Setiap negara, institusi, dan individu memiliki peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini.
4. Apa yang harus dilakukan?

Pada akhir orasi ilmiahnya, Taruna memberikan beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya 'Silent Pandemic'. Pertama, penguatan pengawasan, dalam hal ini melakukan monitoring dan penegakan regulasi yang ketat.
"Kalau regulasi ini perluan bantuan Bapak Menteri," tambah Taruna sambil menatap ke arah Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas yang hadir pada acara ini.
Kedua, edukasi komprehensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelatihan tenaga kesehatan.
Ketiga pemberdayaan apoteker untuk meningkatkan peran aktif dan optimalisasi pelayanan. Sehingga tidak ada lagi apoteker atau apotek yang sembarangan memberikan antibiotik tanpa resep dokter.
Keempat, membuat sistem pengawasan, pelaporan yang terintegrasi, serta melakukan monitoring berkelanjutan. Kelima, kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat koordinasi antar instansi dan melakukan sinergi program.
"Kita harus sama-sama edukasi masyarakat, kalau sakit jangan obati sendiri, harus konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan obat yang benar. Kemudian kita juga mendorong inovasi riset untuk obat baru, karena penyakit ini lebih cerdas, lebih cepat. Selain itu BPOM juga harus punya profesor pengawas. Profesor ini adalah orang profesional yang ahli dalam bidangnya," jelasnya.