Merawat Api Perlawanan, Tetap Berisik' Teriakkan Kritik

- Massa berunjuk rasa di Titik Nol Kota Medan untuk merawat api perlawanan terhadap pejabat yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat.
- Aksi ini juga sebagai pemantik bagi kaum muda untuk tidak takut dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang kerap melakukan upaya kriminalisasi terhadap para pegiat yang 'berisik'.
- Masyarakat mengkritik kebijakan pemerintah dalam satu dekade terakhir yang dinilai tidak memiliki keberpihakan terhadap kelompok rentan, serta mengritik gaya Presiden Prabowo dalam menanggapi kemarahan rakyatnya.
Telah gugur pahlawanku, purna sudah janji bakti…
Penggalan lagu gugur bunga dinyanyikan serentak oleh massa yang berunjuk rasa di Titik Nol Kota Medan, Sabtu (6/9/2025). Sambil memegang lilin, massa dari Kolektif Kelompok Rentan, berdoa bersama. Menyampaikan duka, untuk 10 korban meninggal dunia, imbas gelombang unjuk rasa di beberapa daerah di Indonesia.
“Ini harus dicatat. 10 korban ini bukan hanya statistik angka. Kami menyebut mereka pahlawan. Orang-orang yang meninggal karena menuntut aspirasinya untuk didengar,” ujar Lusty Ro Malau, massa aksi dari Perempuan Hari Ini (PHI).
Massa yang datang dari komunitas perempuan, disabilitas, masyarakat adat, mahasiswa dan lainnya ini kompak mengenakan dress code berwarna merah muda dan hijau. Warna yang belakang disebut sebagai simbol perlawanan.
Sejak petang, mereka berunjuk rasa. Bergantian berorasi dan menampilkan seni kreatif. Sajak tajam puisi, lukiasn, hingga lagu-lagu bernada protes dilantangkan.
Bagi massa, aksi ini bukan sekedar unjuk rasa. Mereka menggelar unjuk rasa untuk merawat api perlawanan terhadap para pejabat di pemerintahan yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat.
Semula, massa berjumlah puluhan orang. Jelang hari gelap, massa terus berdatangan satu per satu. Sejumlah masyarakat yang ada di sekitar unjuk rasa juga ikut membersamai aksi itu.
Ajak kaum muda untuk tidak takut bersuara

Tangis Annisa Shereenn pecah saat membacakan pernyataan aksi. Suaranya bergetar membacakan satu per satu tuntutan massa. “Jangan biarkan arena perlawanan kita kosong. Rakyat Bersatu tak bisa dikalahkan,” kata perempuan yang karib disapa Shereenn itu.
Kata Shereen, aksi ini juga sebagai pemantik terhadap kaum muda untuk tidak takut dalam menyampaikan kritik. Meski pun, pemerintah kerap melakukan upaya kriminalisasi terhadap para pegiat yang ‘berisik’ untuk menyampaikan protesnya.
“Kita mendorong untuk terus bersuara bersama-sama. Sekecil apa pun suara, sekecil apa pun perjuangan, harus terus disampaikan,” katanya.
Mengawal 17+8 tuntutan, tetap ‘berisik’ sampai terpenuhi

Shereen mengatakan, gelombang unjuk rasa yang terjadi adalah kemarahan masyarakat yang sudah terakumulasi. Masyarakat sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan para wakil rakyat.
Berbagai kebijakan yang terbit dinilai tidak memiliki keberpihakan terhadap rakyat. Terutama kelompok rentan; perempuan, disabilitas, ragam gender dan seksual, anak, kelompok miskin, dan kelompok yang dimarjinalkan lainya.
Aksi kali ini, lanjut Shereenn, adalah upaya mengawal 17+8 tuntutan yang disuarakan masyarakat pada unjuk rasa di berbagai daerah. Dari seluruh tuntutan itu, masih banyak yang belum dipenuhi. Masyarakat memberikan tenggat waktu kepada pemerintah untuk memenuhi 17 tuntutan pada 5 September 2025. Sementara delapan lainnya jatuh tempo pada setahun ke depan.
“Masih begitu banyak tuntutan yang belum dipenuhi. Kita harus mengawalnya,” katanya.
Massa juga memberikan sorotan kritis pada kebijakan pemerintah dalam satu dekade terakhir. Berbagai kebijakan itu, kata Shereenn justru menguntungkan kelompok oligarki. Mulai dari Omnibus Law yang merugikan buruh; pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Food Estate yang merampas tanah rakyat dan merusak lingkungan; hingga manipulasi regulasi untuk melanggengkan dinasti; kabinet gendut yang berdampak pada efisiensi dan ekonomi, kenaikan PPN, UU TNI dan RUU Polri yang menjadikan polisi dan TNI sebagai lembaga superpower, Proyek Strategis Nasional yang merampas ruang hidup rakyat, makan bergizi gratis, RKUHAP dibahas secara sembunyi-sembunyi dan berpotensi memuat pasal-pasal bermasalah, dan masih banyak lagi.
“Jadi banyak sekali kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan belum dilakukan. Justru dianggurin sama negara. Itu yang berusaha kita suarakan juga hari ini,” tukas Shereenn.
Kritik terhadap Prabowo, kepemimpinan sarat maskulinitas toksik

Aksi yang mengangkat tema ‘Tunjang Mundur Rezim Kekerasan’ ini juga mengritik gaya Presiden Prabowo dalam menanggapi kemarahan rakyatnya. Alih-alih memberikan ketetangan, Prabowo justru memperkuat budaya kekerasan melalui narasi kekuatan, dominasi, dan pengendalian. Salah satu yang menjadi sorotan adalah, Prabowo meminta polisi yang terluka dalam unjuk rasa akan diberikan kenaikan pangkat.
“Di tengah kemarahan rakyat, Presiden Prabowo, dalam berbagai respons publiknya, menunjukkan gaya kepemimpinan yang sarat dengan maskulinitas toksik,” katanya.
Sikap seperti ini, kata Shereenn justru melanggengkan praktik kepemimpinan otoriter, anti-kritik, dan nir empati, terutama terhadap kelompok rentan yang selama ini paling terdampak oleh kebijakan yang represif.
Negara saat ini mendefinisikan kekuatan sebagai kemampuan untuk mendominasi orang lain, baik secara fisik, verbal, maupun sosial
“Negara bukan barak. Demokrasi bukan arena komando. Sudah saatnya kita meninggalkan warisan patriarki militeristik, dan membangun masa depan politik yang lebih setara, manusiawi, dan berkeadilan,” pungkasnya.