Aksi Perempuan Medan, Tabur Bunga dan Doa untuk 10 Korban Tewas

- Massa perempuan di Medan melakukan unjuk rasa dan tabur bunga untuk 10 korban tewas akibat gelombang protes dalam dua pekan terakhir.
- Mereka mengecam kekerasan aparat dan menyuarakan berbagai protes terhadap pemerintah, termasuk tuntutan 17+8 yang disampaikan masyarakat.
- Koordinator aksi menyatakan bahwa kemarahan rakyat merupakan manifestasi dari krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem politik yang gagal mewujudkan keadilan sosial serta perlindungan hak-hak warga negara.
Medan, IDN Times – Memasuki pukul 18.30 WIB, unjuk rasa di Titik Nol Kota Medan masih berlangsung, Sabtu (6/9/2025). Massa yang didominasi kelompok perempuan ini, terus menyampaikan orasi protes terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah masih bergulir di beberapa daerah.
Massa yang tergabung dalam aliasn Kolektif Kelompok rentan ini juga memajang foto 10 korban meninggal dunia imbas gelombang unjuk rasa dalam dua pekan terakhir. Massa juga membawa foto aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Kemudian massa memasang lilin dan menaburkan bunga sebagai simbol duka untuk para korban.
“Ini harus dicatat. 10 korban ini bukan hanya statistik angka. Kami menyebut mereka pahlawan. Orang-orang yang meninggal karena menuntut aspirasinya untuk didengar,” ujar Lusty Ro Malau, massa aksi dari Perempuan Hari Ini (PHI).
Lusty mengecam tindakan kekerasan aparat dalam penanganan massa yang berujung pada jatuhnya korban. Menurut dia, kekerasan aparat masih menjadi alat negara untuk membungkam aspirasi masyarakat.
“Hari ini mereka menjadi korban negara. Besok kita juga berpotensi sebagai korban. Kita harus saling jaga. Terutama kawan – kawan yang ada di dalam kelompok rentan,” ujar Lusty.
Dalam unjuk rasa itu, massa juga menggelar doa bersama untuk para korban. Selain itu, massa juga menggelar aksi kreatif berupa panggung musik, puisi, hingga melukis sebagai media protes terhadap pemerintah.
Dalam unjuk rasa ini, massa menyuarakan berbagai protes. Khususnya 17+8 tuntutan yang disampaikan masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.
"Kita terus mengawal sampai semua tuntutan itu dipenuhi," ujar Annisa Shereen, koordinator aksi yang didominasi massa perempuan itu.
Menurut mereka, pemerintah tidak bisa membungkam kemarahan masyarakat. "Kemarahan rakyat bukan sekadar reaksi spontan, melainkan manifestasi dari krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem politik yang gagal mewujudkan keadilan sosial serta perlindungan hak-hak warga negara," katanya.
Sampai saat ini kata Shereenn, masih banyak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat terutama kelompok rentan; perempuan, disabilitas, ragam gender dan seksual, anak, kelompok miskin, dan kelompok yang dimarginalkan lainya.
"Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir kebijakan yang dibuat justru memperkuat oligarki," kata Shereenn.
Beberapa kebijakan yang menjadi sorotan, mulai dari Omnibus Law yang merugikan buruh; pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Food Estate yang merampas tanah rakyat dan merusak lingkungan; hingga manipulasi regulasi untuk melanggengkan dinasti; kabinet gendut yang berdampak pada efisiensi dan ekonomi, kenaikan PPN, UU TNI dan RUU Polri yang menjadikan polisi dan TNI sebagai lembaga superpower, Proyek Strategis Nasional yang merampas ruang hidup rakyat, makan bergizi gratis RKUHAP dibahas secara sembunyi-sembunyi dan berpotensi memuat pasal-pasal bermasalah, dan masih banyak lagi.
Untuk diketahui, unjuk rasa mulai 25 Agustus 2025 berujung pada tewasnya 10 orang. Berikut identitasnya:
1. Affan Kurniawan (Jakarta)
2. Andika Lutfi Falah (Jakarta)
3. Rheza Sendy Pratama (Jogja)
4. Sumari (Solo)
5. Saiful Akbar (Makassar)
6. Muhammad Akbar Basri (Makassar)
7. Sarina Wati (Makassar)
8. Rusdamdiansyah (Makassar)
9. Iko Juliant Junior (Semarang)
10. Septinus Sesa (Manokwari)