Payung Hitam dan Aksi Kamisan Pertama di Kota Batam

- Luka HAM dan ekologi di Batam - Pelanggaran HAM dan lingkungan diungkapkan oleh aktivis.
- Hilangnya ruang laut dan hidup nelayan juga menjadi perhatian
- Kebebasan pers dan ruang demokrasi - AJI Batam mendukung aksi Kamisan sebagai bagian dari masyarakat sipil
Batam, IDN Times - Sore itu, 4 September 2025, halaman depan dataran Engku Putri perlahan dipenuhi warna hitam. Puluhan mahasiswa dan masyarakat sipil duduk bersila—melingkar. Mereka membentangkan spanduk, memegang payung-payung hitam yang ditempeli wajah Munir dan korban pelanggaran HAM lainnya.
Di sela orasi, bunga-bunga disebar di atas spanduk, simbol demokrasi yang dinilai mati suri. Malamnya, lilin dinyalakan. Cahaya kecil itu menutup aksi Kamisan perdana di Batam, menyatukan doa, perlawanan, dan tekad untuk melawan hilangnya ruang keadilan di tengah masyarakat.
1. Luka HAM dan ekologi di Batam

Saat orasi, luka-luka Batam satu-satu diungkapkan. “Banyak pelanggaran HAM terjadi di sini, salah satunya di Pulau Rempang,” kata Islah, Sekretaris AJI Batam.
Hendrik Hermawan, pendiri NGO Akar Bhumi Indonesia menambahkan, pelanggaran tidak hanya terjadi pada tubuh manusia, namun juga lingkungan.
“Di Batam, pelanggaran HAM bukan hanya soal tumpahnya darah. Ada juga hilangnya ruang laut, hilangnya ruang hidup nelayan,” kata Hendrik. Menurutnya, hilangnya laut adalah bentuk kekerasan lain yang jarang disebut.
Sementara itu, Sony, Ketua NGO Akar Bhumi Indonesia menegaskan, gerakan ini penting bagi generasi muda: wadah untuk merawat ingatan sekaligus menuntut keadilan ekologis.
"Pelanggaran HAM dan lingkungan adalah wajah luka yang sama," tegas Sony.
2. Kebebasan pers dan ruang demokrasi

Di lokasi yang sama, Ketua AJI Batam, Yogi Eka Sahputra menekankan pentingnya ruang demokrasi di Kota Batam, dan seluruh Indonesia.
"Aksi Kamisan ini AJI Batam sangat mendukung sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil. Di tengah kondisi Batam yang minim pergerakan, ini menjadi cikal bakal bahwa penyampaian aspirasi boleh disampaikan di depan umum. Di sini kita juga bisa menyampaikan berbagai hal,” kata Yogi.
Yogi mengingatkan bahwa kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat dilindungi undang-undang. Namun kenyataannya, beberapa kali kasus gangguan terhadap jurnalis terjadi di Batam: mulai dari teror kepada media, hingga pembatasan ruang gerak oleh aparat kementerian.
"Batam seharusnya bisa membebaskan semua orang bersuara, jangan dibatasi dan jangan hilangkan hak-hak masyarakat untuk berpendapat,” tegasnya.
3. Perkembagan gelombang aksi nasional

Meski berakar dari pengalaman lokal, aksi ini juga menyatu dengan arus yang lebih luas: 17+8 Tuntutan Rakyat. Gelombang ini lahir dari diskusi publik yang menghimpun suara ratusan organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, mahasiswa, hingga petisi online.
Tuntutan itu muncul setelah serangkaian demonstrasi di berbagai daerah yang memprotes kenaikan gaji dan tunjangan DPR di tengah krisis ekonomi, kebijakan pajak yang berat sebelah, hingga represi aparat yang memakan korban jiwa.
Isi tuntutan terbagi dua: 17 poin jangka pendek yang harus diselesaikan dalam satu minggu, serta 8 poin jangka panjang dengan tenggat setahun. Dari penarikan TNI dari pengamanan sipil hingga peninjauan ulang proyek strategis nasional dan UU Ciptakerja, semua dirangkum dalam suara rakyat yang menuntut keadilan.