Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Temuan Bangkai Orangutan Tapanuli Bukti Ekosida di Batang Toru

potret anak dan induk orangutan Tapanuli
potret anak dan induk orangutan Tapanuli (Prayugo Utomo, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Ekosistem Batang Toru dalam keadaan darurat ekologi, memerlukan penghentian aktivitas industri ekstraktif.
  • 5 Juta pohon hilang karena alih fungsi hutan, mengancam habitat satwa liar dan keanekaragaman hayati.
  • Alih fungsi hutan di Ekosistem Batang Toru tidak dapat dinormalisasi, perlu audit izin lingkungan dan penetapan sebagai kawasan strategis nasional.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara kian menguatkan dugaan kerusakan lingkungan dalam bencana banjir di kawasan Tapanuli Raya (Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan). Dugaan ini diperkuat dengan temuan bangkai Orangutan Tapanuli di puing banjir Desa Pulo Pakkat, Kabupaten Tapanuli Tengah pasca banjir pada 3 Desember 2026.

Analisis WALHI menunjukkan, temuan bangkai berada pada kawasan yang selama ini mendapat tekanan akibat alih fungsi hutan pada ekosistem Batang Toru. 

"Ekspansi tambang emas, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, pembalakan dan proyek energi telah mempersempit dan memecah habitat satwa liar dilindungi, termasuk orangutan tapanuli. Primata paling terancam punah di dunia," ujar Direktur WALHI Sumut Rianda Purba dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/12/2025). 

1. Ekosistem Batang Toru dalam keadaan darurat ekologi

Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)
Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Menurut WALHI, bencana banjir yang menerjang Tapanuli Raya menunjukkan kawasan ekosistem Batang Toru dalam darurat ekologi. Masyarakat hingga keanekaragaman hayati harus menerima dampaknya.  

“Temuan ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah harus menghentikan secara permanen seluruh aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru. Segala bentuk perizinan yang merusak harus dicabut,” tegas Rianda Purba.

Bahkan, kata Rianda, ekosistem Batang Toru sudah mengarah pada kondisi ekosida. Praktik kejahatan lingkungan secara terstruktur dan sistematis yang mengakibatkan kerusakan luar biasa dan tidak dapat dipulihkan pada ekosistem suatu wilayah. 

2. 5 Juta pohon hilang karena alih fungsi hutan

Gabriel, penyintas banjir Aceh Tamiang duduk di depan tenda pengungsian di kawasan jembatan Sungai Tamiang, Kecamatan Kuala Simpang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Gabriel, penyintas banjir Aceh Tamiang duduk di depan tenda pengungsian di kawasan jembatan Sungai Tamiang, Kecamatan Kuala Simpang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

WALHI Sumut mengidentifikasi alih fungsi hutan seluas 10.795,31 hektare yang dikaitkan dengan aktivitas tujuh perusahaan. Dengan asumsi kerja 500 pohon per hektare, luasan tersebut diperkirakan setara dengan ±5,4 juta pohon yang hilang atau tertebang akibat alih fungsi (10.795,31 ha × 500 = 5.397.655 pohon).

Ekosistem Batang Toru, menurut WALHI Sumut, bukan sekadar hamparan hijau yang bisa ditukar dengan proyek dan konsesi. Kawasan ini merupakan bentang alam kunci bagi Sumatera Utara: penyangga tata air, pengendali erosi, dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang sangat penting. Batang Toru dikenal sebagai habitat utama spesies endemik dan terancam punah seperti orangutan tapanuli, selain berbagai mamalia, burung, dan herpetofauna khas hutan hujan Bukit Barisan.

“Pembukaan hutan di Batang Toru tidak hanya berarti kehilangan pohon. Ia memecah habitat, memutus koridor jelajah satwa, meningkatkan konflik satwa–manusia, dan mendorong kerusakan ekologis yang dampaknya meluas jauh melampaui batas konsesi,” tegas Rianda.

3. Jangan sampai menormalisasi kerusakan lingkungan

Permukiman warga terdampak banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 29 November 2025.
Permukiman warga terdampak banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 29 November 2025.

Rianda menegaskan bahwa alih fungsi hutan di Ekosistem Batang Toru tidak dapat terus diperlakukan sebagai konsekuensi “wajar” pembangunan. Dalam pandangan WALHI Sumut, perubahan tutupan hutan dalam skala besar secara langsung melemahkan sistem penyangga kehidupan. 

Kekayaan keanekaragaman ekosistem Harangan Tapanuli atau Ekosistem Batang Toru Adalah bagian dari kontribusi hidup dari orangutan Tapanuli.

Sebagai respons atas situasi darurat ekologis di Ekosistem Harangan Tapanuli atau Ekosistem Batang Toru, WALHI Sumatera Utara menegaskan kepada pemerintah untuk penghentian permanen seluruh aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru. "Cabut seluruh izin industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru," katanya.

WALHI juga mendesak pemerintah melakukan audit terhadap izin lingkungan terhadap perusahaan - perusahaan yang beroperasi di kawasan itu. Termasuk dampaknya terhadap daerah aliran Sungai dan kawasan rawan bencana, serta habitat satwa dilindungi.

"Berikan hukuman dan sanksi tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran lingkungan, tanpa kompromi. Mereka juga harus melakukan kewajiban pemulihan ekosistem dengan standar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan," katanya. 

Dari sisi tata ruang, pemerintah juga didesak menetapkan ekosistem Batang Toru sebagai kawasan strategis nasional untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup.

“Tanpa audit menyeluruh, pencabutan izin, dan sanksi yang nyata, bencana ekologis di Tapanuli akan terus berulang. Warga dan kekayaan keanekaragaman hayati akan terus menjadi korban dari perusakan ruang hidup yang dibiarkan berlangsung,” pungkas Rianda.

Sebelumnya, pemerintah sudah melakukan Kemeneterian Lingkungan Hidup sudah menyetop sementara empat perusahaan yang beroperasi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru dan Garoga. 

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mendatangi sejumlah perusahaan antara lain PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), dan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pengembang PLTA Batang Toru. Berdasarkan temuan lapangan, pemerintah memutuskan menghentikan sementara operasional ketiga perusahaan tersebut dan mewajibkan audit lingkungan sebagai langkah pengendalian tekanan ekologis di hulu DAS yang memiliki fungsi vital bagi masyarakat.

“Mulai 6 Desember 2025, seluruh perusahaan di hulu DAS Batang Toru wajib menghentikan operasional dan menjalani audit lingkungan. Kami telah memanggil ketiga perusahaan untuk pemeriksaan resmi pada 8 Desember 2025 di Jakarta. DAS Batang Toru dan Garoga adalah kawasan strategis dengan fungsi ekologis dan sosial yang tidak boleh dikompromikan,” tegas Menteri Hanif dilansir laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Temuan Bangkai Orangutan Tapanuli Bukti Ekosida di Batang Toru

13 Des 2025, 13:13 WIBNews