Dumping di Pulau Cicir Batam Diduga Rusak Terumbu Karang dan Laut

- Nelayan kehilangan ruang hidup akibat dumping di Pulau Cicir Batam
- Terumbu karang di sekitar Pulau Cicir tertimbun lumpur, merusak ekosistem laut
- Akar Bhumi Indonesia mendesak investigasi dan penegakan hukum terkait aktivitas dredging dan dumping
Batam, IDN Times - Aktivitas pembuangan sedimen hasil pengerukan alur laut (dumping) di perairan Pulau Cicir, Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau, memicu protes keras dari aktivis lingkungan.
Aktivitas dredging atau pendalaman alur laut ini dilakukan tepat di depan laut kawasan PT Wasco Engineering Indonesia dan di buang ke pesisir Pulau Cicir. Kegiatan ini menyebabkan terumbu karang di sekitar Pulau Cicir tertimbun, mencemari laut, dan mengganggu ruang tangkap nelayan. Jika terbukti, praktik tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, hingga kini belum ada kepastian apakah aktivitas dredging dan dumping tersebut merupakan bagian dari proyek perusahaan tersebut, dan apakah sudah mengantongi izin Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan dan Lingkungan Hidup (PKKPRL).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2025, kewenangan perizinan PKKPRL di wilayah Kota Batam berada di tangan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Untuk pengerjaan dredging dengan durasi kurang dari 30 hari, izin berada di BP Batam. Namun, jika berlangsung lebih dari 30 hari, izin menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Upaya konfirmasi kepada Kepala Biro Umum BP Batam, Mohammad Taofan sudah dilakukan, tetapi hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan resmi dari pihak BP Batam.
Selain BP Batam, upaya konfirmasi juga dilakukan kepada Dirjen PSDKP KKP, Pung Nugroho Saksono. Terkait persoalan ini. Ia menegaskan sudah memerintahkan PSDKP Batam untuk melakukan aksi. "Saya sudah perintahkan pangkalan (PSDKP) Batam untuk aksi," tegasnya.
1. Nelayan kehilangan ruang hidup

Ketua NGO Akar Bhumi Indonesia, Sony Rianto mengatakan, lokasi dumping di Pulau Cicir merupakan wilayah yang kaya biota laut dan selama ini menjadi area pencarian ikan nelayan pesisir. Menurutnya, pembuangan lumpur di titik itu sama saja dengan merampas ruang hidup nelayan.
“Saya tidak tahu apakah ada izin untuk dumping dan dredging di area itu. Tapi kami melihat kerusakan yang ditimbulkan akibat aktivitas dumping di pesisir Pulau Cicir,” kata Sony, Rabu (3/9/2025).
Ia menegaskan, sudah ada nelayan yang menyampaikan keberatan lantaran hasil tangkapan menurun drastis dalam beberapa hari terakhir. Air yang keruh dan dasar laut yang tertimbun lumpur membuat ikan-ikan menjauh.
“Kalau ini dibiarkan, bukan hanya ikan yang hilang, tapi juga masa depan keluarga nelayan,” ujarnya.
2. Terumbu karang tertimbun lumpur

Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan menjelaskan, pihaknya melakukan verifikasi langsung ke lokasi pada 2 September 2025. Saat pasang, air laut terlihat berwarna coklat pekat—indikasi adanya lumpur yang tersebar dari aktivitas dumping.
“Area itu adalah wilayah terumbu karang. Kami tahu betul karena pada 2017 kami sering menyelam di sana dan melihat banyak karang serta ikan. Sekarang warnanya berubah, dasar laut tertutup lumpur,” kata Hendrik.
Menurut Hendrik, kerusakan terumbu karang tidak hanya menghilangkan habitat ikan, tetapi juga merusak sistem ekologi laut yang membutuhkan ratusan tahun untuk pulih.
“Aktivitas ini berlangsung siang-malam sejak 24 Agustus. Kami temukan tiang tambat untuk kapal tongkang di sana. Ini jelas mengkhawatirkan,” katanya.
3. Desakan investigasi dan penegakan hukum

Akar Bhumi Indonesia menilai aktivitas dredging dan dumping yang berlangsung sejak 24 Agustus 2025 itu diduga telah menyalahi aturan lingkungan. Hendrik menyebut kegiatan ini dilakukan siang-malam selama 10 hari, tanpa keterbukaan informasi kepada publik. “Kami akan melaporkan kasus ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Negara wajib menghitung kerusakan, memverifikasi pelanggaran, dan memastikan ada penegakan hukum,” tegas Hendrik.
Sony menambahkan, kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan di perairan Batam. "Pemerintah tidak boleh diam. Kalau laut rusak, tidak ada lagi benteng ekologi yang melindungi pulau-pulau kecil di sekitar Batam. Ini soal masa depan pesisir," tutupnya.