Mahasiswa Korban Penyiksaan Polisi saat Demo DPRD Lapor ke Polda Sumut

- Tindakan kekerasan dan kesewenangan aparat adalah pola berulang di Sumatera Utara
- DS ditangkap, disiksa hingga diteriaki ‘mati kau’ oleh polisi saat unjuk rasa di DPRD Sumut
- Korban hanya berobat dengan rawat jalan setelah viral polisi langsung sibuk mencarinya
Medan, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mendampingi seorang mahasiswa berinisial DS membuat laporan ke Polda Sumut, Sabtu (30/5/2025). Pelaporan ini menyusul dugaan penyiksaan anggota kepolisian terhadap DS yang terjebak dalam unjuk rasa di DPRD Sumut, beberapa waktu lalu.
“Laporan ini menjadi bukti nyata buruknya penghormatan terhadap hak asasi manusia di tubuh institusi kepolisian, khususnya Polda Sumut. Sekaligus menambah panjang catatan praktik kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil yang tengah menjalankan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat di muka umum,” ujar Direktur LBH Medan Irvan Sahputra dalam keterangan resmi, Senin (1/9/2025).
1. Tindakan kekerasan dan kesewenangan aparat adalah pola berulang

Catatan LBH Medan dan KontraS juga menunjukkan adanya pola berulang tindakan represif aparat di Sumatera Utara dalam menghadapi aksi demonstrasi. Alih-alih mengedepankan pendekatan persuasif, aparat justru menggunakan kekerasan, intimidasi, hingga penangkapan sewenang-wenang.
“Untuk itu, kami menuntut agar Polda Sumut menindaklanjuti laporan DS secara cepat, transparan dan profesional,” katanya.
LBH Medan dan KontraS juga mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justicia terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam kasus DS, meminta Kompolnas melakukan investigasi kelembagaan, serta menuntut Presiden RI dan Kapolri segera melakukan reformasi Polri secara menyeluruh dengan mengakhiri kultur kekerasan aparat.
“Kasus DS adalah alarm keras bagi demokrasi Indonesia, sebab penyiksaan terhadap warga negara merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan sekaligus pelanggaran konstitusi. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi rakyat dan menjamin kebebasan berpendapat, bukan justru menjadi aktor pelanggaran,” kata Irvan.
2. DS ditangkap, disiksa hingga diteriaki ‘mati kau’ oleh polisi

DS merupakan mahasiswa di Politeknik Negeri Medan. Saat kejadian dia bersama empat temannya bertemu untuk membahas tugas akhir semester. Lokasi pertemuan itu, tidak jauh dari lokasi unjuk rasa.
“Saat itu mereka melewati jalan yang ditutup. Kemudian mereka pun hanya melihat aksi unjuk rasa tersebut," ujar Irvan dalam konferensi pers, Sabtu (30/8/2025).
Unjuk rasa ricuh. Peluru gas air mata terlontar ke segala arah. Saat itu, para pengunjuk rasa berlarian ke arah kerumunan di mana DS berada.
Polisi yang melakukan pengejaran, malah menangkap DS. Kepada LBH Medan dan KontraS, DS menceritakan detil kejadian yang dialaminya. Sebelum akhirnya dia tidak sadarkan diri.
“Korban ditangkap dengan cara dicekik, dipiting dan dibanting ke lantai. Setelah itu korban diseret, diangkat dan dijatuhkan. Yang mirisnya wajah korban sampai diinjak berkali kali seperti video yang beredar. Saat dipukul, mereka juga bilang ke korban mati kau, mati kau," kata Irvan.
Bukannya ditolong, setelah tergeletak dan tidak sadarkan diri, korban dibiarkan begitu saja. Beruntung saat itu, beberapa orang yang ada di Bank Mandiri dekat DPRD Sumut menolong korban.
"DS ditolong pegawai Mandiri. Dia dibawa ke musala, dan sorenya dibawa ke Rumah Sakit Malahayati Medan untuk mendapatkan perawatan. Bahkan biaya perobatan DS ditanggung oleh pegawai Mandiri. Saat kejadian itu, handphone korban juga hilang diduga diambil polisi" jelasnya.
3. Korban hanya berobat dengan rawat jalan, setelah viral polisi langsung sibuk mencarinya

Penyiksaan itu berakibat pada pendarahan di bagian kepala DS. Namun luka serius itu hanya diobati dengan rawat jalan. Lantaran DS tidak memiliki biaya.
Setelah video itu viral, DS didatangi dua orang polisi yang mengaku dari Paminal Polda Sumut.
“Setelah videonya viral, korban dicari polisi dengan alasan mau mengobati. Itu jelas jelas respon yang ketinggalan hanya untuk mengambil moment," kata Irvan.
Menurut LBH dan KontraS, apa yang dialami korban merupakan bentuk penyiksaan. Korban yang mendapat pendampingan dari LBH Medan dan KontraS akan melaporkan kasus ini ke Propam Polda Sumut.
“Kami patut meyakini bahwa penganiayaan itu dilakukan oleh polisi. Korban juga mengalami trauma. Dan kondisinya juga sulit bicara akibat disiksa. Untuk itulah kami melaporkan kasus itu ke Polda Sumut," kata Irvan.
Sementara itu, Kepala Operasional KontraS Sumut Dinda Zahra Noviyanti mengatakan, saat penyiksaan itu terjadi, DS tidak membawa senjata apapun. Namun polisi membabi buta memukul korban dan menginjak-injak wajahnya.
"Korban bahkan tidak melakukan apa apa tapi penyiksaan tetap dilakukan, apa yang dilakuan polisi jelas jelas sudah mengabaikan aturan soal penggunaan kekuatan yang harusnya dilakukan kepolisian dengan standar yang jelas. Lebih miris lagi polisi tidak ada empati karena membiarkan korban dalam kondisi kejang-kejang," sebutnya.
Dinda menegaskan tindakan penyiksaan ini bertentangan dengan aturan perundang undangan terkait kebebasan meyampaikan pendapat di depan umum serta bertentangan dengan kewajiban institusional Polri sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang tugas utama untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara itu, korban hanya berbicara singkat. Dia ingin kasus yang menimpanya diusut.
"Saya hanya minta keadilan," ucap DS terbata bata.
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Ferry Walintukan mengatakan, pihaknya akan melakukan penelusuran soal dugaan penyiksaan yang dilakukan personel Polri dalam pengamanan unjuk rasa.
"Untuk video yang beredar, dari kemarin, kami melakukan pendalaman. Jika yang melakukan anggota polri akan kita tindak tegas," ujar Ferry, Jumat (29/8/2025) malam.