Di Pulau Rempang Malam Takbiran Jadi Malam Perlawanan

Batam, IDN Times - Di Pulau Rempang, malam Idul Adha tiba dengan suasana yang tidak biasa, takbir mengalun lirih dari surau-surau kecil. Bukan hanya gema takbir yang memenuhi udara malam itu, tetapi juga semangat perlawanan.
Di tengah perayaan hari raya kurban, warga Rempang kembali menguatkan tekad, mempertahankan tanah leluhur mereka dari PSN Rempang Eco- City yang mereka anggap sebagai bentuk penghapusan sejarah.
Dua tahun sudah, sejak pertama kali bayang-bayang penggusuran menghampiri mereka. Namun malam takbir kali ini bukan malam untuk menyerah, ia menjadi malam penuh cahaya, doa, dan air mata.
Rempang Tidak Pernah Tidur Nyenyak

Rempang Eco City, proyek raksasa yang dikukuhkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional, sejak awal menjanjikan industrialisasi, lapangan kerja, dan investasi. Namun, bagi warga Pulau Rempang, proyek ini menghadirkan mimpi buruk—ancaman penggusuran terhadap kampung-kampung tua yang telah berdiri selama ratusan tahun.
"Tanah ini tempat temuni anak-anak kami dikuburkan," kata Siti Hawa, perempuan paruh baya dari Kampung Tua Pasir Merah. "Kami lahir di sini, kami ingin mati di sini."
Ia adalah satu dari puluhan warga yang naik ke panggung malam itu, menyuarakan keteguhan hati di hadapan ratusan warga yang memadati lapangan kkampung
Warga datang dari berbagai penjuru Rempang. Ada yang menempuh perjalanan lebih dari satu jam, menembus jalan gelap dan berlumpur, membawa obor dan spanduk, membentuk barisan di malam suci.
Pekikan Takbir di Tengah Bara

Malam takbir di Pulau Rempang berubah menjadi malam kebangkitan. Sejak pukul 19.30 WIB, pelataran Kampung Sungai Raya telah dipenuhi warga, nyala obor menari di sepanjang jalan masuk, mengiringi suara orasi, nyanyian perjuangan, dan pembacaan puisi. Tarian-tarian tradisional ditampilkan oleh para pemuda dan perempuan kampung, mengiringi seruan yang menolak lupa dan menolak tunduk.
Sebuah puisi dibacakan dua pemuda: Takbir di Tengah Bara. Kata-kata mereka menghunjam ke dada seluruh masyarakat. Tentang anak-anak yang menyimpan harapan di balik puing rumah, tentang ibu-ibu yang memeluk doa dalam keheningan, tentang ayah-ayah yang berjaga di batas tanah dengan tekad baja.
"Takbir dan peluru bersahutan malam itu, Namun hati tak lagi beku."
Saat bait terakhir selesai dibacakan, warga berdiri. Sebagian bertepuk tangan, sebagian menangis diam-diam. Ada rasa bangga, juga getir, yang bersatu pada malam itu.
Kurban yang Lebih Besar dari Diri Sendiri

Idul Adha selalu menjadi simbol pengorbanan. Tetapi bagi warga Rempang, pengorbanan tak lagi hanya soal menyembelih hewan—ini adalah tentang menyerahkan segalanya demi mempertahankan kampung, kebudayaan, dan ruang hidup.
Dalam refleksi yang dibacakan menjelang akhir acara, seorang warga menyampaikan pesan yang membekas di telinga.
"Kita tak punya banyak sapi atau kambing. Tapi kita punya semangat Ibrahim dalam dada. Bukan hanya hewan yang kami rela serahkan, tapi jiwa dan raga demi tanah yang kami pertahankan."
Ribuan umat Muslim merayakan Idul Adha dengan daging kurban dan kebersamaan keluarga. Namun di Pulau Rempang, warga merayakannya dengan satu tekad: bahwa pengorbanan terbesar adalah melawan kehilangan, melawan lenyapnya identitas.
Acara malam itu usai sekitar pukul 21.30 WIB. Warga perlahan bubar, kembali ke kampung masing-masing. Namun malam tak sepenuhnya gelap. Di banyak sudut kampung, obor masih menyala. Di hati warga, bara perlawanan belum padam.
Mereka tahu perjuangan ini belum selesai. Rencana relokasi masih bergulir. Surat-surat peringatan masih dikirimkan. Namun mereka juga tahu satu hal: kampung ini tak boleh hilang tanpa suara.
Rempang adalah kampung tempat ribuan cerita bermula, dan malam takbir ini menjadi satu bab baru—bab tentang bagaimana warga bertahan, bukan hanya melawan proyek besar, tetapi juga melawan lupa.
"Jika fajar masih sedia terbit," tulis puisi itu, "Kami akan menyembelih duka di altar langit, sambil bercerita pada anak cucu kami, kami pernah berkorban demi identitas tanah air tercinta."