WALHI: Pemerintah Belum Beri Hak Lingkungan yang Baik untuk Rakyat

Medan, IDN Times – Konflik berbasis isu lingkungan masih terjadi di Sumatra Utara. Mulai dari konflik agraria, sumber daya alam masih subur berkembang di Sumut.
Bagi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara, kasus-kasus yang ada menunjukkan pemerintah masih abai dengan hak atas lingkungan untuk masyarakat.
“Negara telah melakukan pembiaran terhadap hak atas Lingkungan hidup yang sehat, pembiaran terjadinya konflik agraria dan sumber daya alam. Ruang hidup rakyat dirampas. Kasus-kasus Lingkungan hidup dibiarkan tanpa penyelesaian hingga warga harus terpinggirkan dan yang menuntut hak nya justru rentan mendapat intimidasi hingga kriminalisasi,” kata Rianda kepada IDN Times, Sabtu (16/12/2023).
1. Pemerintah dan aparat dianggap tidak punya niatan menuntaskan kasus

Sepanjang 2023, WALHI mencatat, ada 21 kasus yang mereka advokasi. Sebanyak 17 di antaranya adalah konflik ruang hidup dan empat lainnya kasus pencemaran lingkungan.
Kasus-kasus tersebut juga disusul oleh kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya. Ada lima petani yang sampai hari ini berstatus tersangka.
“Sampai hari ini, aparat penegak hukum dan pemerintah belum sama sekali berkemauan untuk menuntaskan pelanggaran HAM di Sumut. Dari pelaporan dan tuntutan pennyelesaian kasus lingkungan hidup yang kita layangkan, aparat penegak hukum dan pemerintah masih abai jika warga membuat pelaporan. Apalagi untuk penyelesaiannya,” kata Rianda.
2. WALHI desak pemerintah mencabut undang-undang bermasalah

Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak atas lingkungan juga semakin terganjal. Banyak aturan baru yang membuat masyarakat semakin terpinggirkan.
Padahal, kata Rianda, dalam Undang-undang Dasar 1945 telah dimandatkkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
WALHI selama ini tetap bergerak, menolak sejumlah aturan yang dinilai tidak pro terhadap hak hidup rakyat. Mereka mendesak pemerintah mencabut sejumlah aturan yang dinilai rentan pada pelanggengan pelanggaran HAM. Mulai dari Undang-undang Pokok Kehutanan 1967, Undang-undang Pertambangan 1967, dan Undang-undang Cipta Kerja serta aturan lainnya.
Pada konflik agraria, pemerintah harusnya kembali menegakkan Undang-undang Pokok Agraria 1960. Karena, sejatinya, undang – undang itu memberikan kepastian tata kelola agraria dan sumber daya alam yang berkeadilan.
“Karena ketimpangan agrarian dan SDA merupakan akar dari pelanggaran HAM yang terjadi. Penegakan hukum yang efektif dengan melakukan peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum untuk mengawasi dan menindak pelanggaran HAM di sektor lingkungan dan memastikan adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar HAM di sektor Lingkungan.
3. Pemimpin Indonesia yang baru harus melek HAM
Selama ini WALHI menilai, presiden Joko Widodo tidak mampu menuntaskan kasus-kasus HAM di Indonesia meski pun sudah dua periode menjabat. Pemilu pada 2024 mendatang menjadi tantangan tersendiri bagi para kandidat.
Kata Rianda, pemimpin ke depan harus paham tentang HAM secara utuh. Begitu juga dengan pelaksanaannya.
“Presiden yang baru harus punya kehendak politik untuk menuntaskan seluruh pelanggaran HAM masa lalu dan kini. Menjadikan HAM sebagai prioritas program agar penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dapat ditegakkan. Termasuk memiliki keberanian menghukum para pelanggar HAM. HAM juga harus dijadikan standar kurikulum pendidikan dan standar utama dalam tata laksana pemerintahan, serta mampu menghadirkan pemenuhan HAM di seluruh Indonesia,” pungkasnya.