Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Rempang di Persimpangan Ambisi Investasi dan Ketahanan Pangan

Masyarakat Pulau Rempang memasang sepanduk penolakan PSN Rempang Eco City di lokasi bentrok pertama 7 September 2023 (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

“Aspal panas karena terik matahari saat itu terasa berdentum. Pengeras suara dari mobil komando polisi menderu, aku mendengar suara intruksi agar ratusan aparat gabungan mendesak maju menerobos masuk ke wilayah Rempang. Itu masih terngiang, bahkan sangat jelas sampai sekarang,” kata Bayu, seorang warga Kampung Tua Sembulang Hulu, Pulau Rempang, yang menggambarkan tragedi tersebut sebagai ‘September hitam’.

PULAU REMPANG yang seharusnya menjadi surga bagi penduduknya, kini terancam oleh rencana ambisius pemerintah untuk membuat Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco-City. Proyek ini bergerak pesat setelah mendapati angin segar dari investor pertama asal China, Xinyi International Investments Limited, dengan nilai investasi mencapai Rp348 triliun hingga tahun 2080. Pulau yang dihuni sekitar 7.512 jiwa ini mayoritas diduduki oleh suku Melayu, kini ternoda oleh ketegangan yang menyelimuti kawasan tersebut.

Penetapan status PSN di Pulau Rempang ini berawal ketika adanya keputusan DPRD bersama Pemerintah Kota Batam pada 17 Mei 2004 silam. Saat itu, enam fraksi DPRD Batam menyetujui masuknya investasi PT Makmur Elok Graha (MEG) yang terafiliasi dengan Tomy Winata untuk melakukan pengembangan Pulau Rempang menjadi Kawasan Perdagangan, Jasa, Industri, dan Eksekutif (KWTE).

Keputusan tersebut dilanjutkan dengan penandatanganan nota kesepahaman kerjasama antara Tomy Winata dengan Pemerintah Kota (Pemko) Batam pada 26 Agustus 2004. Namun, pada tahun 2005 di masa kepemimpinan Kapolri Sutanto, Peraturan Daerah (Perda) KWTE ini dibatalkan karena dianggap akan mengandung unsur perjudian.

Setelah bertahun-tahun tidak adanya tindak lanjut pengembangan Pulau Rempang, pada tahun 2023 Pemerintah Indonesia menunjuk PT MEG agar kembali mengelola Pulau Rempang. Kali ini dengan konsep yang berbeda, yakni Eco-City atau Kawasan investasi industri yang didukung sektor pariwisata, berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Pengumuman ini disahkan pada 28 Agustus 2023.

Pada 7 September 2023, tindakan pemerintah Indonesia yang melibatkan tim terpadu dari kepolisian, Satpol PP, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk mengosongkan lahan di Pulau Rempang memicu protes keras dari masyarakat. Bentrokan tidak dapat terhindarkan, mengakibatkan ratusan orang terluka, termasuk anak-anak sekolah yang harus dilarikan ke rumah sakit akibat gas air mata yang ditembakkan pihak kepolisian.

Suasana mencekam menyelimuti Pulau Rempang selama tiga hari setelah kericuhan. Banyak wanita dan anak-anak terpaksa bersembunyi di dalam rumah, sementara pria dewasa mencari perlindungan di hutan untuk menghindari ancaman sweeping polisi.

“Tiga hari kami bersembunyi di dalam hutan terasa seperti setahun. Kami harus bersembunyi karena ada beberapa warga yang ditangkap saat sweeping Polisi, dianggap sebagai provokator saat insiden 7 September 2023,” ungkap Bayu sambil mendongakkan kepalanya, melihat kenyataan bahwa tragedi itu telah berlalu selama setahun.

Kecamatan Galang, area vital penyangga ketahanan Pangan di Kota Batam

Sunardi, salah satu petani di Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Kecamatan Galang yang terdiri dari sejumlah pulau di Kota Batam, dihuni oleh sekitar 18.130 jiwa. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari sektor perikanan tradisional, pertanian, dan budidaya ikan air tawar. Secara administrasi, terdapat delapan kelurahan di kecamatan ini, termasuk dua kelurahan di Pulau Rempang, Kelurahan Rempang Cate, dan Kelurahan Sembulang.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, Kecamatan Galang menjadi pemimpin dalam usaha pertanian perorangan dengan total 3.016 unit usaha. Kecamatan Nongsa dan Kecamatan Sagulung menyusul dengan masing-masing 2.896 dan 2.376 usaha.

Secara angka, produksi sayuran di Kecamatan Galang mengalami lonjakan signifikan pada tahun 2023 yang mencapai 2.500 ton. Meningkat sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat 2.170 ton. Jenis sayuran utama yang dihasilkan antara lain kangkung, bayam, sawi, dan cabai.

Tidak hanya sayuran, sektor perikanan juga menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan. Total produksi ikan air tawar, termasuk ikan nila, patin, dan lele, mencapai 1.800 ton pada tahun 2023. Mengalami kenaikan 20 persen dari 1.500 ton pada tahun 2022.

Dengan keberhasilan ini, kedua sektor pangan di Kecamatan Galang, termasuk Pulau Rempang, menunjukkan potensi pertanian dan perikanan yang kuat di Kota Batam, hal yang akan menjadi titik berat keberlangsungan pangan di Kota Batam, jika status PSN tetap digesa oleh Pemerintah Indonesia.

Infografis wilayah penghasil pangan di Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Senada dengan data tersebut, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Batam menegaskan, para petani di Kecamatan Galang, khususnya di Pulau Rempang berperan vital dalam menjaga ketahanan pangan lokal serta membantu pemerintah daerah Kota Batam dalam mengendalikan inflasi.

Ketua HKTI Kota Batam, Gunawan Satary mengatakan, hampir seluruh komoditas sayur-mayur, seperti bayam dan kangkung, dapat ditemukan di kawasan tersebut. Ia menambahkan, kebutuhan daging dan telur ayam yang disalurkan dari Pulau Rempang juga berkontribusi pada tingkat inflasi daerah.

“Telur, sayur, buah-buahan, dan cabai adalah instrumen penting yang mempengaruhi inflasi daerah,” pungkas Gunawan. Menurutnya, komoditas pertanian dari Pulau Rempang dapat memenuhi sekitar 40-50 persen kebutuhan pasar di Kota Batam, dan pulau-pulau sekitar.

Kesewenang-wenangan Pemerintah Indonesia kacaukan sektor pangan di Pulau Rempang

Salah satu kawasan budidaya ikan air tawar di kawasan Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di tengah kegundahan, Bayu, seorang pembudidaya ikan berusia 43 tahun, mengenang harinya bersama warga melawan aparat yang menenteng senjata. “Kami meninggalkan ladang dan tempat budidaya ikan untuk mempertahankan hak kami. Kami berjuang dengan warga lainnya pada insiden 7 September 2023,” ungkapnya dengan suara bergetar. Namun, saat keberanian untuk melawan menggugah semangatnya, naluri untuk bertahan menariknya untuk bersembunyi ke dalam hutan.

Setelah situasi mulai mereda, Bayu dan pembudidaya ikan air tawar lainnya keluar dari lokasi persembunyian di hutan Pulau Rempang, kembali ke lahan mereka. Tiga hari bersembunyi membuat bibit ikan yang mereka budidayakan mati karena tidak terurus. Bayu menyadari akan ada dampak besar dari matinya ribuan bibit ikan yang seharusnya dapat tumbuh untuk memenuhi permintaan pasar lima bulan kedepan.

“Pasokan ikan kami berkurang drastis gara-gara bibit yang mati. Kami biasanya mengirim 800 kilogram ikan lele setiap harinya, kini cuma 350 sampai 400 kilogram. Sementara ikan patin dan nila yang biasanya bisa dipanen sebanyak 400 kilogram setiap hari, sekarang cuma bisa panen 200 sampai 250 kilogram saja,” keluh Bayu, mengingat ribuan bibit ikan mati terapung, seperti harapannya yang mulai terpasung.

Ia bercerita, hasil panennya diutamakan untuk memenuhi kebutuhan sejumlah pasar di Kota Batam, seperti pasar Botania 1, pasar Botania 2, pasar Bengkong, pasar Tos 3000 dan beberapa pasar basah lainnya.

Akibat dari gagal panen itu, Bayu turut menjadi saksi meningkatnya harga ikan air tawar di Kota Batam sejak September 2023 hingga Juli 2024. Bahkan, akibat besarnya permintaan pasar di Kota Batam saat itu, ia harus menjual ikan air tawar yang belum siap panen.

“Di Pulau Rempang, Kecamatan Galang ini, terdapat tiga pembudidaya ikan air tawar seperti lele, patin dan nila. Akibat bentrokan itu, membuat benih ikan selama beberapa bulan ke depan mati dan para pembudidaya harus menurunkan kualitas panen. Dampak lainnya terasa juga di Kota Batam saat harga ikan air tawar naik drastis,” lanjut Bayu dengan nada tegas.

Penolakan yang dilakukannya dan para pembudidaya lainnya bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam terus menggunakan upaya pengambilalihan lahan melalui sistem jual rugi, dan dinilai tidak dapat memberikan solusi apapun terkait lahan budidaya yang terdampak.

“Kalau solusinya di pindah ke Batam kami juga tidak mau karena bisa saja digusur kapanpun, di Batam kan semua tanahnya punya BP Batam. Harapan saya proyek ini tetap tidak berlangsung, kalau berlangsung juga hargailah baik-baik kami ini para petani, pembudidaya dan masyarakat tempatan, bukan main hajar saja seperti tahun lalu itu,” harapnya.

Sunardi saat membersihkan lahan pertaniannya dari rumput liar (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di sisi perjuangan lainnya, Sunardi, seorang petani berusia 60 tahun, berbagi kisahnya tentang perjuangan mengolah satu hektare lahan pertanian miliknya di kawasan Sembulang. Ia menghadapi tantangan besar, bukan hanya dari alam, tetapi juga dari pemerintah yang mengabaikan haknya atas tanah di Pulau Rempang.

“Saya menanam timun, bayam, kangkung, dan sawi. Tiga bulan sekali, saya bisa memanen hasil kebun, rata-rata 350 kilogram setiap sayuran dan saya jual langsung ke pasar Tos 3000 Batam,” kata Sunardi.

Di atas lahan pertaniannya, Sunardi bercerita ketika ia didatangi sekelompok orang, termasuk 7 polisi dan perwakilan BP Batam, yang ingin mendata lahan. Ketidakjelasan dan ketidakpastian mengganggu pikirannya saat itu.

“Mereka tidak bisa memberi jawaban tentang tanah saya. Ini adalah sumber kehidupan saya, mana mau saya tandatangan,” ungkapnya.

Dengan kehadiran PSN ini, Sunardi dan beberapa petani lainnya merasa berseberangan dengan pemerintah. Banyak dari mereka merasa terpinggirkan karena sumber penghidupan mereka berada di atas tanah yang diambil alih paksa oleh pemerintah untuk proyek PSN Eco-City.

“Pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat. Tanpa masyarakat, keputusan yang diambil tidak akan pernah adil,” tegas Sunardi sambil meratap jauh ke ujung ladangnya.

Sunardi tetap berharap, suatu hari keadilan akan berpihak kepada mereka. Namun, dalam bayang-bayang penggusuran, ketidakpastian tetap menghantui pikirannya. Seperti halnya Bayu yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup di tanah yang pernah dia sebut rumah.

Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam melakukan seruan penolakan PSN Rempang Eco-City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Terpisah, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Pekanbaru, Andri Alatas mengatakan, hingga saat ini pihaknya menerima banyak pengaduan dari petani terkait pematokan dan pemetaan ilegal yang dilakukan oleh BP Batam di lahan pertanian masyarakat. Banyak juga petani melaporkan pemaksaan untuk direlokasi, dan diminta mengosongkan lahan yang dianggap dikuasai secara ilegal.

Andri menilai, proses pengambilalihan lahan petani untuk proyek Rempang Eco-City adalah bentuk kesewenang-wenangan yang berpotensi melanggar hak atas tanah, dan mencederai semangat reforma agraria di Indonesia.

Meskipun BP Batam menyatakan bahwa kawasan Rempang dan Galang berada di bawah Hak Pengelolaan sesuai dengan Kepres No 41 Tahun 1973 dan Kepres No 28 Tahun 1992. Hal ini dinilai tidak bisa menjadi legitimasi untuk mengambil alih tanah yang sudah dikelola masyarakat secara turun-temurun.

"Menurut PP 24 Tahun 1997, pendaftaran hak atas tanah berdasarkan kenyataan penguasaan fisik harus diperhatikan. UU Pokok Agraria juga menegaskan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial," kata Andri.

Ia menambahkan, petani di Pulau Rempang dan Galang telah berkontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pangan di sektor pertanian untuk Kota Batam dan sekitarnya.

Sebagai langkah hukum, LBH Pekanbaru mendorong petani di Pulau Rempang untuk mengajukan permohonan pemblokiran agar Kementerian ATR/BPN tidak mengeluarkan sertifikat HPL kepada BP Batam. Dengan alasan status clean and clear yang belum terpenuhi. Selain itu, para petani dan pengelola sektor penghasil pangan lainnya juga disarankan untuk mengajukan permohonan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria).

LBH Pekanbaru menilai bahwa pengalihfungsian tanah masyarakat untuk menjadi PSN Rempang Eco-City merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah. "Pemerintah seharusnya melakukan redistribusi tanah, tetapi sebaliknya malah memberikan pengelolaan tanah kepada entitas bisnis, yang mengancam ribuan masyarakat," tegas Andri.

Pihaknya meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan PSN Rempang Eco-City dan mengembalikan hak atas lahan kepada seluruh masyarakat di Pulau Rempang. Hal ini, menurut LBH Pekanbaru, merupakan langkah penting untuk mengatasi konflik agraria yang semakin meningkat.

Keterancaman Pulau Rempang sebagai sumber pangan Kota Batam

Nelayan di Pulau Rempang saat melakukan aksi penolakan investasi PSN Rempang Eco City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Pengembangan proyek Rempang Eco-City yang menjadi bagian dari PSN menimbulkan kekhawatiran besar terkait dampak terhadap lingkungan, keberlangsungan masyarakat, serta ancaman terhadap kedaulatan pangan di Pulau Rempang, Kota Batam.

Tidak hanya mengancam kampung-kampung tua yang dihuni oleh masyarakat asli Melayu selama berabad-abad, proyek ini juga dinilai berpotensi merusak ekosistem pertanian dan laut yang menjadi sumber penghidupan utama penduduk lokal. Ketiadaan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan semakin mempertegas kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah.

Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau mengatakan, penetapan Pulau Rempang sebagai bagian dari PSN dilakukan tanpa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Menurutnya, sejak awal, pemerintah baik di pusat maupun daerah tidak pernah mendengarkan keinginan masyarakat untuk tetap tinggal di kampung-kampung mereka yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

“Keputusan untuk melanjutkan proyek Rempang  tetap dilakukan meskipun menimbulkan penggusuran kampung-kampung tua. Ini jelas mencerminkan sikap abai terhadap sejarah dan kearifan lokal masyarakat Melayu di Pulau Rempang,” kata Eko.

Selain itu, Eko juga menyoroti ketiadaan AMDAL sebelum proyek tersebut dimulai, yang mengakibatkan konflik dengan masyarakat setempat. Temuan dari Ombudsman RI memperkuat pernyataan ini, di mana empat pelanggaran maladministrasi ditemukan dalam pelaksanaan proyek Rempang Eco-City.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan sejak September 2023, Ombudsman RI mengungkapkan bahwa pemerintah tidak mengakui keberadaan Kampung Tua secara legal di Pulau Rempang, dan belum menerbitkan sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat setempat.

Selain itu, pemerintah dinilai tidak konsisten dalam melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya Kampung Tua di Pulau Rempang, sesuai dengan Surat Keputusan Wali Kota Batam tahun 2004.

Temuan lain menunjukkan bahwa penetapan proyek ini sebagai PSN dilakukan dalam waktu singkat, dari Mei hingga Juli 2023, tanpa persiapan regulasi dan kebijakan yang memadai. Akibatnya, ketidakpuasan dan konflik antara masyarakat dan pemerintah semakin meluas.

“Tidak ada kesiapan dari sisi masyarakat, regulasi, maupun ketersediaan lahan yang clear and clean. Hal ini mempercepat munculnya konflik,” tegasnya.

WALHI Riau memperkirakan, proyek ini akan membawa dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat Pulau Rempang. Pada tahap pertama proyek, rencana pembangunan kawasan industri yang mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), solar farm, dan pabrik kaca akan menggusur sekitar 625 Kepala Keluarga (KK) dari lima kampung tua di Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang.

“Penggusuran ini tidak hanya berarti perpindahan fisik ke tempat baru. Dampaknya jauh lebih dalam, yaitu perubahan dalam sistem sosial, sumber penghidupan, dan lingkungan yang selama ini mereka pertahankan,” lanjut Eko.

Pembangunan kawasan industri ini juga dikhawatirkan akan memperburuk kondisi lingkungan. Aktivitas pabrik kaca dan solar farm berpotensi mempercepat kerusakan ekosistem dan abrasi, yang semakin parah akibat perubahan iklim.

"Abrasi ini dikhawatirkan akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar Rempang," ucapnya.

Selain itu, ekosistem laut di sekitar Pulau Rempang juga berada dalam ancaman akibat penambangan pasir yang kian masif. Akibatnya, ribuan nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut akan kehilangan mata pencaharian mereka.

Tidak hanya itu, lebih dari 1.759 hektare lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat di lima kampung tua tersebut juga terancam hilang akibat pembangunan tahap pertama proyek Rempang Eco-City.

Ilustrasi penolakan masyarakat atas hadirnya PSN Rempang Eco-City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di sisi lain, pelanggaran hak agraria dalam proyek ini juga menjadi perhatian serius Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kepala Advokasi Kebijakan KPA, Roni Septian menilai, pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh BP Batam di Pulau Rempang telah melanggar konstitusi.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 tentang jaminan hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seharusnya dilindungi, bahkan dalam konteks pembangunan.

Roni menegaskan, pemerintah tidak memiliki dasar legal yang kuat untuk mengambil tanah masyarakat demi proyek pembangunan yang cenderung menguntungkan pihak investor.

“Kami melihat tidak ada jaminan bahwa PSN, termasuk Rempang Eco-City, akan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal. Sejak tahap penentuan lokasi hingga pelepasan hak atas tanah, proyek ini dijalankan dengan pendekatan yang tidak transparan dan koruptif,” kata Roni.

Menurut KPA, pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat hanya dapat mempertahankan hak atas tanah mereka melalui pengorganisasian dan mobilisasi massa yang kuat. Masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan lembaga swadaya masyarakat atau kebaikan hati para pengusaha.

Ia menekankan, pemerintahan baru yang akan dipimpin Presiden Prabowo Subianto harus berani mengoreksi kebijakan yang merugikan masyarakat lokal.

“Pemerintah ke depan harus mampu memulihkan kontrol dan kedaulatan bangsa atas tanah dan sumber daya alamnya, serta tidak tunduk pada kehendak pemodal asing dan lokal,” tegasnya.

Konsorsium Pembaruan Agraria kembali mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, di mana lebih dari enam juta hektare tanah rakyat diambil alih demi proyek-proyek strategis nasional, termasuk Rempang Eco-City.

Perbedaan cara penanganan antara BP Batam dan PT MEG di Pulau Rempang

Plang nama Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

BP Batam sebagai pengembang dan pengelola Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan daya saing investasi di Kota Batam. Komitmen ini didukung oleh pemerintah pusat melalui penetapan Pulau Rempang sebagai PSN.

Pada Februari hingga Maret 2024, BP Batam memberikan surat peringatan pengosongan lahan kepada 32 pemilik kawasan pertanian di daerah Kampung Tua Tanjung Banun, Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang. Lahan tersebut akan digunakan sebagai lokasi pembangunan 961 unit rumah warga yang menerima dan bersedia direlokasi.

Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait mengatakan, hingga saat ini, BP Batam telah berupaya memberikan penggantian biaya untuk pembukaan lahan, tanaman, dan bangunan kepada masyarakat sesuai peraturan yang berlaku.

Menurutnya, persiapan dan pembangunan Rempang Eco-City dilakukan secara terencana, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah selesai. “Ini adalah salah satu poin penting yang menjadi perhatian pemerintah, dan kami memastikan semuanya terselesaikan dengan baik,” tambahnya.

Ariastuty juga menyatakan bahwa kemajuan infrastruktur dan ekonomi yang dirasakan penduduk Batam harus dirasakan juga oleh masyarakat di Pulau Rempang. Pertumbuhan ekonomi Kota Batam pada tahun 2023 mencapai 7,04 persen, melebihi pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepri dan nasional.

“Apa yang telah kami bangun di Batam akan diterapkan di Rempang. Kami percaya bahwa ke depannya Rempang bisa menjadi daerah yang lebih maju dari Batam,” katanya.

Berbeda dengan pernyataan BP Batam, Komisaris dan Juru Bicara PT MEG, Fernaldi mengungkapkan upaya penanganan sektor penghasil pangan di Pulau Rempang melalui cara yang lebih mengedepankan hak masyarakat setempat.

Berdasarkan rencana PT MEG, wilayah pertanian maupun sektor penghasil pangan lainnya direncanakan untuk dipindahkan ke lokasi yang telah ditetapkan, serta terintegrasi sesuai dengan tata ruang di Pulau Rempang. Namun, pemilik lahan tidak perlu meninggalkan kawasannya hingga adanya lahan pengganti, yang juga berlokasi di Pulau Rempang.

“Ini merupakan upaya kami untuk menjadikan Pulau Rempang menjadi kawasan yang terintegrasi, juga berjalan sesuai aturan dan tata ruang. Itu merupakan tujuan yang sedang kami laksanakan,” kata Fernaldi, Jumat (4/10/2024).

Terkait perbedaan cara penanganan antara PT MEG dan BP Batam, pihaknya menegaskan bahwa upaya penguasaan lahan pertanian melalui cara jual rugi bukan merupakan upaya yang diinginkan oleh PT MEG.

“Kalau yang dilakukan kemarin seperti memberikan surat peringatan dan lainnya itu kepada para pemilik lahan bukan kami, tetapi kebijakan pemerintah. Kami berharap bisa bersama-sama bekerja beriringan dengan pemerintah dan masyarakat untuk kemajuan Rempang dan Kepulauan Riau,” tutup Fernaldi.

Dalam kasus ini, Bayu dan Sunardi menjadi contoh kecil wajah-wajah perjuangan di Pulau Rempang. Di ladang dan kolam, harapan mereka tumbuh, namun, kekuasaan merenggut kehidupan, panasnya gas air mata menggantikan segarnya air tawar. Kampung-kampung tua di Pulau Rempang turut menjadi saksi bisu sejarah, diabaikan dalam keputusan pemerintah yang tergesa, dalam bayang-bayang kehilangan, masyarakat Rempang menggenggam keadilan yang samar.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Putra Gema Pamungkas
Doni Hermawan
Putra Gema Pamungkas
EditorPutra Gema Pamungkas
Follow Us