Penembakan Remaja Belawan, LBH Medan Desak Transparansi Proses Hukum

Medan, IDN Times – Tercatat, sudah sebulan kasus penembakan terhadap M Syuhada (16) dan Basri rekannya oleh Kapolres Belawan AKBP Oloan Siahaan awal Mei 2025 lalu. Sampai sekarang publik belum mengetahui bagaimana tindak lanjut proses hukum kasus tersebut. M Syuhada meninggal dunia, sementara Basri luka-luka.
Penanganan kasus ini disebut-sebut berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum terhadap aparat. Meski sempat dinonaktifkan dan dikenakan penempatan khusus (patsus) di Mabes Polri, hingga kini tidak ada transparansi lebih lanjut. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mempertanyakan kejelasan kasus itu.
1. Dugaan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang

LBH Medan menilai bahwa kasus ini berpotensi besar sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
"Penonaktifan dan Patsus (Penempatan Khusus) tidak dapat dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Melainkan harus dilakukan penegakan Etik dan hukum pidana," tegas Irvan Saputra, Direktur LBH Medan dalam keterangannya, Jumat (13/6/2024).
Peristiwa ini juga dikategorikan sebagai dugaan extra judicial killing, atau pembunuhan di luar hukum. Apalagi, korban merupakan anak di bawah umur, yang mendapat perlindungan hukum ekstra berdasarkan UU Perlindungan Anak No. 35/2014.
2. Narasi publik yang diduga digiring dan penanganan yang mandek

Pasca dinonaktifkannya AKBP Oloan Siahaan, tidak ada perkembangan signifikan mengenai proses hukum. Ironisnya, muncul dugaan bahwa ada upaya menggiring opini publik untuk membenarkan tindakan penembakan tersebut, serta mempertanyakan langkah Kapolda Sumut yang dianggap keliru oleh sebagian pihak.
"Penggiringan narasi tersebut seakan-akan memberi kesan bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh Kapolda Sumut adalah keliru, padahal justru sebaliknya," ujar Irvan.
3. Oloan harus dipecat dan diproses hukum pidana

Dalam tuntutannya, LBH Medan menyerukan agar proses hukum dilakukan secara objektif, transparan, dan melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan KPAI. Sanksi etik berupa Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) dan proses hukum pidana dinilai wajib dilakukan.
“Negara wajib menjamin hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan bagi keluarga korban,” kata Irvan.
Selain melanggar UU Perlindungan Anak dan KUHP, tindakan penembakan tersebut juga disebut bertentangan dengan kode etik Polri dan berbagai konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.