Jaringan Narkoba Segitiga Emas Serbu Laut Kepri

Batam, IDN Times - Dua pekan terakhir, perairan Provinsi Kepulauan Riau diserbu oleh ribuan kilogram sabu dan kokain. Semuanya memiliki sumber yang sama—Myanmar. Lantas seperti apa pola pengiriman narkotika jaringan internasional saat ini, yang melibatkan mafia kelas kakap di lingkungan segitiga emas, Myanmar, Thailand, dan Laos. Serta, apa keterlibatan Hong Kong di dalam kasus ini?
Sebelumnya pada 16 Mei 2025 dini hari, jajaran F1QR Lanal Tanjung Balai Karimun berhasil menangkap satu kapal ikan berbendera Thailand di perairan Selat Durian, Provinsi Kepulauan Riau. Nama kapal tersebut yakni Aungtoetoe 99.
Setelah dilakukan penyergapan, kapal tersebut mengangkut lima WN Myanmar dan satu WN Thailand. Tidak hanya itu, di dalam salah satu palka kapal tersebut turut terdapat 1 ton 285 kilogram kokain dan 768 kilogram sabu. Selain itu, petugas juga mendapati 7,4 kilogram sabu di dekat kemudi kapal. Dari penindakan tersebut, TNI AL turut menangkap 5 WNA yang berasal dari Thailand dan Myanmar.
Tidak berhenti disitu, lima hari berselang setelah penangkapan TNI AL tersebut—21 Mei 2025, BNN RI bersama tim gabungan yang terdiri dari Ditjen Bea Cukai, Polda Kepri, dan TNI AL kembali menangkap satu kapal tanker berbendera Indonesia di perairan internasional Selat Singapura, MT Sea Dragon Tarawa.
Dalam penyergapan tersebut, tim gabungan berhasil mengamankan 66 kotak yang masing-masing berisi 30 kilogram sabu, dan satu kotak lainnya berisi 20 kilogram sabu. Totalnya fantastis, mencapai 2 ton. Tidak hanya sabu-sabu, pihaknya juga berhasil menangkap 4 WNI asal Medan dan 2 WNA asal Myanmar.
Lantas, apa hubungan antara tangkapan kapal berbendera Thailand, Aungtoetoe 99 dan kapal tangker berbendera Indonesia, MT Sea Dragon Tarawa? Dari dua penangkapan ini, terbaca pola yang tidak berdiri sendiri. Myanmar sebagai kawasan produsen, Pattani sebagai pelabuhan bayangan, dan Hong Kong sebagai simpul logistik—sementara perairan Indonesia, terutama Kepulauan Riau, menjadi koridor transit yang rentan ditembus.
Wajah Ganda Kapten Kapal Aungtoetoe 99

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan TNI AL di Mako Lantamal IV Batam pada, 16 Mei 2025—15 jam setelah proses penangkapan, Pangkoarmada 1, Laksamana Muda (Laksma) TNI Fauzi menyampaikan keberhasilan mereka menangkap kapal Aungtoetoe 99.
"Ini merupakan bentuk keseriusan kami dalam memerangi narkotika," tegas Laksma TNI Fauzi.
Namun, ketika IDN Times mempertanyakan asal mula barang bukti dan tujuan akhir kapal tersebut, Laksma TNI Fauzi menolak untuk menyampaikan kepada awak media. "Masih dalam pengembangan."
Ia menolak menjelaskan kepada publik alur perjalanan kapal Aungtoetoe 99 yang mengangkut 1 ton 285 kilogram kokain dan 768 kilogram sabu—dari hulu ke hilir.
Dua hari setelah konferensi pers, 18 Mei 2025, IDN Times mendapatkan data interogasi nahkoda kapal Aungtoetoe 99. Data tersebut diberikan oleh salah satu pejabat tinggi TNI AL yang bertugas di wilayah barat Indonesia, dan sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan.
Ko Soe Wyn (50), pria kelahiran Provinsi Ranong, Thailand terlibat di dalam pengiriman narkotika dengan nilai jual di pasaran mencapai Rp7,5 triliun. Ia merupakan kapten kapal Aungtoetoe 99.
Dari data interogasi tersebut, Ko Soe Wyn mengaku memilik kartu identitas negara ganda, Thailand dan Myanmar—kartu identitas Myanmar tersebut dibuatnya di Pulau Song yang berlokasi di Myanmar. Bahkan, ia juga fasih berbicara bahasa Myanmar.
Sebelum masuk ke dunia pelayaran, Ko Soe Wyn menghabisi hari-harinya dengan bekerja menjadi kuli bangunan. Selanjutnya ia mulai bekerja menjadi teknisi kapal dan belajar mengemudikan kapal ikan di perairan sekitar laut Andaman.
Masih dari hasil interogasi terhadap Ko Soe Wyn, sekitar bulan April 2025, melalui rekan sesama nelayan, ia diperkenalkan kepada seorang warga negara Myanmar atas nama Thou Wa. Selanjutnya, Thou Wa menawarkan pekerjaan kepada Ko Soe Wyn untuk bekerja sebagai kapten kapal Aungtoetoe 99, dengan rute pelayaran dari Provinsi Ranong, pesisir barat Thailand menuju Provinsi Pattani, pesisir selatan Thailand.
Selanjutnya, Ko Soe Wyn menerima tawaran pekerjaan tersebut dengan upah 30.000 Baht atau sekitar Rp15 juta. Sebelum berangkat, ia mendapatkan uang Down Payment (DP) sebanyak 15.000 Baht atau sekitar Rp7,5 juta.
Setelah menerima tawaran pekerjaan tersebut, Ko Soe Wyn bertemu dengan pemilik kapal atas nama Ko Khao dan Thou Wa sebanyak dua kali di Provinsi Ranong, dan Myanmmar.
Setelah itu, pada 8 Mei 2025, pukul 20.00, berdasarkan keterangan Ko Soe Wyn di dalam interogasi, ia diantar oleh Thou Wa ke kapal Aungtoetoe 99 di sekitar perairan Provinsi Ranong, Thailand Barat.
Saat sampai di kapal, Ko Soe Wyn melihat terdapat empat orang warga negara Myanmar berinisial UTT, AKO, KL dan S. Empat WN Myanmar ini diketahui berasal dari Kepulauan Surin, Thailand. Setelah itu, kapal Aungtoetoe 99 mulai berlayar dengan tujuan akhir Provinsi Pattani, Thailand Selatan.
Dalam keterangan Ko Soe Wyn kepada penyidik TNI AL, rute perjalanan telah diatur oleh pemilik kapal Ko Khao dan Thou Wa dengan metode point to point di sistem navigasi kapal. Hal itu membuat Ko Soe Wyn hanya mengikuti rute yang telah ditentukan oleh pemilik kapal.
Selama perjalanan, pemilik kapal Ko Khao dan manager Thou Wa hanya berkomunikasi dengan Ko Soe Wyn melalui media sosial LINE dan komunikasi handphone satelit. Upaya konfirmasi juga telah dilakukan IDN Times kepada Ko Khao dan Thou Wa, namun nomor ponsel keduanya didapati sudah tidak aktif.
Pada 10 Mei 2025, pemilik kapal Ko Khao meminta Ko Soe Wyn untuk mengecek barang yang ada di depan lambung kapal melalui foto. Setelah dilakukan pengecekan, pemilik kapal Ko Khao menyampaikan bahwa terdapat puluhan kotak bertuliskan K (kokain) sebanyak 1.285 kilogram, dan puluhan kotak bertuliskan ICE (sabu) sebanyak 768 kilogram. Sebelumnya, Ko Soe Wyn hanya mengetahui bahwa terdapat 1.200 kilogram bensin dan 700 kilogram diesel.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ko Soe Wyn meminta kenaikan upah sebanyak 10.000 Baht atau setara Rp5 juta untuk dirinya dan masing-masing kru kapal.
Pada tanggal 14 Mei 2025, ketika tim TNI AL melakukan upaya penindakan terhadap kapal Aungtoetoe 99, Ko Soe Wyn berkomunikasi dengan pemilik kapal Ko Khao untuk meminta arahan terkait dengan apa yang harus ia lakukan, namun pemilik kapal Ko Khao hanya mengarahkan untuk memperlambat kecepatan kapal.
Kapal tersebut tertangkap di perairan Selat Durian oleh TNI AL. Berdasarkan data point to point kapal Aungtoetoe 99 yang didapati IDN Times, kapal tersebut berencana melewati perairan Provinsi Kepulauan Riau, mengitari perairan Kabupaten Bintan dan naik ke utara menuju Provinsi Pattani, Thailand Selatan.
Selain menangkap satu kapten dan empat kru kapal Aungtoetoe 99, BNN RI juga menetapkan Ko Khao masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO). "Kita sudah menetapkan Ko Khao masuk dalam DPO," tegas Kepala BNN RI, Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Marthinus Hukom, 26 Mei 2025 di Kota Batam.
MT Sea Dragon Tarawa, dari Hong Kong, Pattani, Laut Andaman

Setelah penangkapan kapal Aungtoetoe 99, Indonesia kembali dihebohkan dengan penangkapan kapal tangker MT Sea Dragon Tarawa. Kapal tersebut ditangkap oleh BNN RI dan tim gabungan di perairan internasional dekat perairan Karimun, Provinsi Kepulauan Riau pada, 21 Mei 2025.
"Kapal tersebut mengangkut 67 kotak, masing-masing berisi 30 kilogram sabu. Dari 67 kotak, ada satu kotak yang hanya berisi 20 kilogram. Jadi memang dihitung pas 2.000 bungkus, artinya ada dua ton sabu," tegas Komjen Pol Marthinus Hukom dalam konferensi pers yang dilakukan di pelabuhan Bea Cukai di Tanjung Uncang, Batam, 26 Mei 2025.
Berdasarkan hasil penelusuran IDN Times terhadap sistem identifikasi kapal (MMSI) menunjukkan, Sea Dragon Tarawa berangkat dari Pulau Cheung Chau, sebuah pulau kecil di barat daya Hong Kong pada akhir April 2025. Hong Kong bukanlah negara tanpa sejarah peredaran narkoba—pada 2013, otoritas hukum di Hong Kong pernah menggagalkan penyelundupan 649 kilogram kokain. Dalam pengembangan kasus tersebut, diyakini kokain itu akan dikirimkan ke berbagai negara di Asia Tenggara.
Dari Pulau Cheung Chau, selanjutnya kapal Sea Dragon Tarawa berlayar menuju Provinsi Pattani, Thailand Selatan—tujuan yang sama dengan kapal Aungtoetoe 99. Namun, belum diketahui apakah kapal Sea Dragon Tarawa saat itu mengangkut narkoba dari Hong Kong menuju Pattani. "Masih dalam pengembangan," ungkap Komjen Pol Marthinus.
Selepas dari Provinsi Pattani, kapal Sea Dragon Tarawa melanjutkan perjalanan melewati Selat Singapura, Selat Malaka dan berakhir di Laut Andaman, setelah selanjutnya beralih kembali ke perairan Selat Singapura.
"Kemudian Sea Dragon ini berlayar ke laut Andaman. Dari hasil pelacakan kita, kapal ini berhenti di salah satu titik kordinat di laut Andaman, mereka mengambil barang (sabu) melalui Ship to Ship dengan perahu kecil antara dari Thailand atau Myanmar," tegas Komjen Pol Marthinus.
Marthinus menegaskan, dua ton sabu tersebut tidak menuju Pattani, Thailand Selatan, melaikan akan berlayar melewati teritorial laut Indonesia melalui Kepulauan Riau menuju Filipina dan Taiwan.
"Dia melewati perairan Indonesia, lalu ke Kalimantan, sampai ke Filipina dan Taiwan lalu balik lagi, muter lagi," lanjutnya.
Lantas, apakah kapal Sea Dragon Tarawa dan kapal Aungtoetoe 99 memiliki jaringan narkotika internasional yang sama? "Jawaban saya, iya dan mungkin juga tidak. Karena pada saat ini kita baru bisa melihat strukturnya masing-masing. Kita sedang melakukan uji laboratori untuk mencari penyamaan atau melihat perbedaan drugs signature. Untuk melihat apakah produsen dari barang yang kita tangkap dan TNI AL tangkap memiliki susunan komposisi kimia yang sama atau tidak. Kalau sama berarti produsennya sama, pabriknya sama dan kemungkinan jaringan ini ada irisannya," tegas Marthinus.
Tidak berhenti di situ, Marthinus juga mengungkapkan bahwa dari hasil analisis sementara, dua ton sabu yang diangkut kapal Sea Dragon Tarawa diduga kuat berkaitan dengan jaringan narkotika internasional yang dipimpin buronan asal Jawa Timur, Indonesia—Dewi Astuti.
"Dewi Astuti memiliki keterkaitan dengan jaringan para tersangka dalam kasus ini. Kami meyakini jaringan ini merupakan bagian dari sindikat narkotika internasional di kawasan Asia Tenggara yang juga melibatkan kelompok asal Indonesia," pungkasnya.
Terkait keberadaan Dewi Astuti, Marthinus menyebut pihaknya menduga yang bersangkutan berada di wilayah negara Kamboja. BNN RI juga telah berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan pelacakan terhadap buronan tersebut.
"Kami telah menjalin kerja sama dengan BIN guna menelusuri keberadaan Dewi Astuti di Kamboja dan wilayah sekitarnya," kata Marthinus.
Dari hasil penyelidikan, BNN juga menemukan bahwa pengendali utama pengiriman dua ton sabu melalui kapal Sea Dragon Tarawa adalah seorang warga negara Thailand bernama Chancai. Pria tersebut diketahui sebagai buron Kepolisian Thailand dan kini masuk dalam DPO internasional.
"Chancai merupakan pengendali narkotika yang menggunakan kapal Sea Dragon. Ia adalah buronan otoritas Thailand dan telah ditetapkan sebagai DPO internasional. BNN juga akan mengajukan red notice atas nama yang bersangkutan," tegasnya.
Dari dua kapal, dua negara, dan dua operasi terkoordinasi ini, tampak bahwa jaringan narkotika internasional telah merancang jalur baru. Dengan titik awal dari wilayah produksi di Myanmar, jaringan ini bergerak ke pelabuhan bayangan di Thailand Selatan, kemudian menyusup lewat laut Indonesia menuju pasar-pasar narkoba di Asia Tenggara.
Pola Pergerakan Kapal Penyelundup Bisa Dipetakan

Terpisah, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengapresiasi langkah cepat TNI AL dan BNN RI dalam menangkap dua kapal yang terlibat dalam tindak kejahatan internasional di laut. Kedua kapal tersebut, yakni kapal ikan Aungtoetoe 99 dan kapal tanker Sea Dragon Tarawa, ditangkap secara terpisah di perairan Kepulauan Riau pada 16 dan 21 Mei 2025.
Senior Analyst IOJI, Imam Prakoso mengatakan, tindakan TNI AL, BNN RI dan seluruh aparat penegakan hukum di Indonesia merupakan bentuk kesiapsiagaan aparat dalam menjaga kedaulatan laut dan mencegah masuknya barang-barang ilegal ke wilayah Indonesia.
"Kami mengapresiasi TNI AL yang telah menangkap kapal ikan Aungtoetoe 99 pada 16 Mei 2025 dan kapal tanker MT Sea Dragon pada 21 Mei 2025 di perairan Kepulauan Riau," kata Imam melalui sambungan selulernya, 26 Mei 2025.
Menurut Imam, penangkapan dua kapal tersebut menunjukkan bahwa berbagai jenis kapal, baik kapal ikan maupun kapal tanker, dapat digunakan untuk melakukan tindak kejahatan lintas batas di laut. Oleh karena itu, kerja sama antarinstansi, terutama dalam bentuk pertukaran data dan informasi, dinilai menjadi kunci utama untuk memberantas kejahatan di laut.
Ia turut menekankan pentingnya kecepatan dalam pengerahan aset patroli laut guna menangkap kapal-kapal penyelundup. Selain itu, dokumentasi terhadap berbagai modus operandi distribusi narkotika melalui laut juga dibutuhkan sebagai bahan analisis untuk mendeteksi pola-pola baru penyelundupan.
IOJI juga mencatat, berdasarkan sistem identifikasi otomatis kapal atau automatic identification system (AIS), kapal-kapal penyelundup umumnya menyalakan AIS saat melintas di Selat Singapura, baik saat menuju maupun kembali dari negara-negara sumber narkotika seperti Malaysia, Thailand, dan Myanmar. Namun, pada saat mendekati atau meninggalkan pelabuhan-pelabuhan di negara sumber narkotika, kapal-kapal tersebut mematikan AIS.
"Pola seperti ini dapat dipelajari lebih lanjut untuk mendeteksi pergerakan kapal-kapal penyelundup lainnya yang memiliki pola serupa," ungkapnya.
Oleh karena itu, selain AIS, diperlukan pemanfaatan teknologi lain guna melengkapi pengawasan terhadap kapal-kapal yang mematikan AIS atau dikenal sebagai kapal gelap. Kepulauan Riau disebut sebagai salah satu wilayah yang rawan menjadi jalur penyelundupan, sehingga pengawasan berbasis teknologi di kawasan ini perlu ditingkatkan.
"IOJI mendorong adanya sistem peringatan dini berbasis data dan teknologi untuk memantau aktivitas kapal-kapal dengan perilaku mencurigakan. Inisiatif ini penting untuk memperkuat keamanan laut nasional, sekaligus mencegah masuknya barang-barang ilegal, seperti narkotika, ke wilayah Indonesia," tutupnya.