GJI: Potensi HHBK Bisa Mengurangi Eksploitasi Hutan

- Hutan Sumatra Utara memiliki potensi HHBK yang kaya
- HHBK bisa menjadi alternatif pangan dan memiliki nilai ekonomi tinggi
- Diperlukan dukungan kebijakan dan legalitas untuk masyarakat di pinggiran hutan
Medan, IDN Times – Hutan Sumatra Utara memiliki potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang begitu kaya. Bahkan, nilainya bisa lebih tinggi jika dikelola dengan cara lestari.
Dalam seminar nasional Optimalisasi Pemanfaatan HHBK yang digelar Green Justice Indonesia (GJI) di Medan, para akademisi, aktivis, hingga masyarakat sekitar hutan menyoroti pentingnya mengangkat kembali narasi HHBK. Mulai dari pangan, kesehatan, hingga budaya, hutan menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya dilirik pemerintah.
“Kita sebenarnya lebih mengangkat soal hutan yang dimanfaatkan secara tidak lestari. Kita menginginkan ini menjadi perhatian penting. Apakah kita hanya fokus pada pemanfaatan ekstraktif?” kata Direktur GJI Panut Hadisiswoyo di sela seminar, Senin (15/9/2025).
1. Alternatif pangan di tengah isu ketahanan pangan

Hutan bukan hanya sumber kayu, tapi juga bisa menjadi solusi krisis pangan. Misalnya, buah terap dari jenis artocarpus bisa diolah menjadi tepung pengganti karbohidrat. Jamur juga menjadi pangan bergizi tinggi yang bisa membantu mencegah stunting.
“Hutan juga merupakan sumber pangan yang bisa dimanfaatkan secara lestari. Ada buah terap, jamur, rotan, getah kemenyan—semuanya punya nilai tinggi,” kata Panut.
2. Potensi ekonomi HHBK yang belum tergarap optimal

HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi. Misalnya, getah kemenyan yang dimanfaatkan menjadi bibit parfum atau pewarna alami untuk kain yang nilainya bisa sepuluh kali lipat lebih mahal dibandingkan pewarna pabrikan.
“Industri tekstil saat ini sangat membutuhkan warna alami. Kalau ulos menggunakan pewarna alami, nilainya pasti lebih tinggi,” jelasnya.
Sayangnya, industri ini belum menjadi prioritas besar pemerintah. Padahal, jika dikelola, bisa menjadi sumber pendapatan alternatif masyarakat di sekitar hutan. Tentu kondisi ini bisa mengurangi angka deforestasi hutan.
“Potensi HHBK bisa mengurangi tekanan atau eksploitasi terhadap hutan kita,” tukasnya.
3. Perlu dukungan kebijakan dan legalitas untuk masyarakat

Selama ini GJI menyoroti masih kurangnya peranan pemerintah terhadap masyarakat di pinggiran hutan. Masyarakat di Batang Toru dan daerah lain sudah lama mengelola HHBK, namun mereka kerap menghadapi kendala legalitas dan pengakuan.
“Bagaimana akses masyarakat ke hutan ini? Ada yang sudah mengelola HHBK, menjaga ekosistem, tapi belum punya legalitas seperti hutan desa atau hutan adat,” paparnya.
Selain dukungan regulasi, kolaborasi dengan akademisi juga penting untuk memperkuat riset empiris terkait potensi HHBK. Harapannya, pemerintah tidak hanya fokus pada industri ekstraktif, tetapi memberi ruang pada sektor-sektor lestari yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.