12 Alasan Kenapa UU Pangan Harus Direvisi

- Pentingnya pengakuan asas ekologis dan hak masyarakat adat dalam UU Pangan
- Keterlibatan generasi muda, tata kelola cadangan pangan, dan norma teknokratis dalam UU Pangan
- Koordinasi kelembagaan pangan, pendanaan sistem pangan berkelanjutan, dan penanganan kekurangan gizi
Medan, IDN Times – Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) menilai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sudah tidak lagi relevan dengan tantangan pangan Indonesia saat ini. Mereka menekankan perlunya revisi menyeluruh, bukan sebatas penyesuaian teknis.
“Kami mencatat sedikitnya 12 alasan mendasar yang menunjukkan urgensi revisi UU Pangan. Revisi ini harus mengarah pada transformasi sistem pangan nasional lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan,” kata Romauli Panggabean, perwakilan dari Sekretariat KSPL sekaligus Environmental Economist WRI Indonesia dilansir dari laman KEHATI, Sabtu (13/9/2025).
Berikut 12 urgensi kenapa UU Pangan harus direvisi.
1. Pengakuan asas ekologis hingga hak masyarakat adat

Urgensi pertama, integrasi tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan dan praktik sistem pangan nasional agar lebih tangguh dan berkelanjutan. Menurut dia, tanpa pendekatan itu, sistem pangan Indonesia akan rentan krisis dan bencana iklim yang makin sering terjadi.
UU Pangan sebelumnya belum mengakui pentingnya asas ekologis, keadilan distribusi, ketahanan iklim, maupun pendekatan ekoregional. Ia masih berfokus pada aspek “ketersediaan pangan” yang cenderung bias terhadap komoditas tertentu seperti beras, terigu, gula, dan jagung.
Kedua, perlu memperkuat keberagaman pangan lokal, termasuk pangan biru, melalui pendekatan ekoregionalisasi. Strategi ini menyesuaikan sistem pangan dengan potensi ekologi lokal, budaya masyarakat, serta distribusi gizi antar daerah.
Ketiga, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal sangat diperlukan. Hal ini mencakup pengetahuan tradisional, benih lokal, serta pengelolaan wilayah adat yang selama ini menjadi bagian penting dari keberlanjutan sistem pangan, namun belum dijamin secara hukum dalam UU Pangan saat ini.
Menurut KSPL, skema cadangan pangan nasional saat ini masih berorientasi pada negara, tanpa pengakuan terhadap peran komunitas, lumbung adat, koperasi, maupun pangan lokal dan pangan biru. Ketidaklibatan struktur komunitas ini memperlemah ketahanan pangan berbasis lokal.
Keempat, menekankan pentingnya mewujudkan keadilan struktural dalam sistem pangan agar seluruh rakyat mendapatkan akses, distribusi, dan manfaat pangan secara setara. Saat ini, UU Pangan belum menegaskan peran negara sebagai penjamin hak asasi atas pangan.
“Kewajiban negara melindungi petani kecil, nelayan tradisional, kelompok rentan, dan konsumen masih bersifat implisit dan tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai,” kata Romauli.
2. Keterlibatan generasi muda hingga tata kelola cadangan pangan

Kelima, keterlibatan generasi muda sebagai pelaku utama dalam transformasi sistem pangan dianggap krusial. Mereka perlu dukungan dalam menghadapi tantangan masa depan, termasuk digitalisasi dan perubahan iklim, agar sistem pangan lebih inovatif dan adaptif.
Keenam, penguatan kelembagaan pangan dan perlindungan produksi pangan lokal sebagai fondasi utama dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Ketujuh, peningkatan tata kelola cadangan pangan, terutama dari segi transparansi, efisiensi, dan ketepatan sasaran sangat penting. Hal ini krusial dalam menghadapi kondisi darurat seperti bencana alam dan krisis pangan.
Apalagi, kata Romauli, UU Pangan lama belum memiliki bab khusus mengenai kerawanan pangan. Tidak ada definisi operasional maupun sistem peringatan dini untuk menghadapi krisis pangan di daerah-daerah rawan. Aspek pendanaan sistem pangan pun belum ada secara terstruktur, termasuk dukungan fiskal melalui APBN/APBD maupun insentif bagi petani kecil.
UU Pangan saat ini, katanya, juga tidak mengakui sistem pangan masyarakat adat, serta belum memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah kelola adat, pengetahuan tradisional, dan benih lokal.
Pelaku kecil seperti petani, nelayan, UMKM, dan koperasi pangan pun belum memperoleh insentif maupun perlindungan pasar yang adil.
Kedelapan, menyangkut norma dan pasal dalam UU No. 18/2012 yang dinilai terlalu teknokratis dan cenderung bias pasar. UU ini belum tegas mengusung paradigma kedaulatan pangan, hak asasi atas pangan, keanekaragaman hayati, serta keadilan ekologis.
3. Koordinasi kelembagaan hingga penanganan kekurangan gizi

Kesembilan, menyoroti perlu penguatan koordinasi dan kelembagaan pangan dari tingkat pusat hingga daerah agar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan dapat berjalan secara terpadu dan efektif.
Saat ini, sistem informasi pangan belum terintegrasi, dan UU belum menetapkan clearing house nasional sebagai pusat integrasi data, anggaran, dan kewenangan.
Kesepuluh, harus atur jelas dan terintegrasi pendanaan sistem pangan berkelanjutan. Pendanaan ini, katanya, mencakup anggaran publik, bantuan internasional, serta investasi dari sektor swasta dalam kerangka kebijakan yang harmonis.
Kesebelas, penanganan kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan mikronutrien (triple burden of malnutrition) melalui kebijakan pangan nasional yang lebih komprehensif dan inklusif.
Pendekatan sentralistik dalam UU Pangan selama ini mengabaikan keragaman geografis dan budaya pangan di tiap daerah hingga kebijakan seragam dan tak kontekstual.
Keduabelas, penanganan potensi kehilangan dan sisa pangan (food loss and waste) diperkirakan mencapai 50 juta ton per tahun harus secara sistematis. Selain penting bagi kedaulatan pangan, katanya, juga berdampak besar terhadap lingkungan dan efisiensi sumber daya.
“UU Pangan ini juga tidak mengatur secara spesifik soal susut, kehilangan, dan sisa pangan. Tanpa strategi nasional dan kelembagaan yang bertanggung jawab, kerugian di sepanjang rantai pasok pangan terus terjadi tanpa mitigasi yang memadai,” pungkasnya