Api di Tanah Bakau, Bara Perlawanan Perempuan di Desa Berakit

Jalanan panjang sejauh 49 kilometer terbentang—bagai garis takdir yang harus kami tempuh dari Kota Tanjung Pinang menuju Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Udara laut menyelinap di sela kaca mobil yang terbuka sedikit, membawa bau asin dan samar jejak kehidupan pesisir—perjalanan ini bukan sekadar perjalanan, melainkan ziarah (bukan arti harfiah) menuju ketabahan perempuan-perempuan yang bergulat dengan waktu dan alam, yang tergabung dalam beberapa Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) di Desa Berakit.
Di dalam mobil berkapasitas enam orang itu, musik indie rock mengalun, menghadirkan lagu dari Band Efek Rumah Kaca yang lirih namun lantang—judulnya “Bersemi Sekebun”.
“Pada yang perlahan padam—ada sejenis api dari kemustahilan—sejenis harapan yang datang dari pelan nyala sekam—sejenis badai lahir dari rajutan bukan kepalan,” lirik itu menyelinap ke udara, mengiringi kami saat mulai memasuki kawasan Desa Berakit.
Namun, sambutan pertama bukanlah suara manusia, melainkan pemandangan yang menggigit di seberang kanan jalan tepian pantai—barisan pohon bakau mati, katanya diracun. Pohon-pohon itu terkulai kaku di pesisir pantai, menyiratkan kisah yang harus diceritakan.
Ketika mobil berhenti dan kami melangkah turun, absurditas itu mencengkeram pikiran. Bagaimana mungkin hutan yang seharusnya menjadi benteng bagi laut kini terkulai tidak bernyawa?
“Iya itu bakaunya pada mati, saya dengar sih akarnya dilukai, terus dikasih racun—makanya mati,” kata Sudarni (29), Bendahara KUEP Tenggiri, bentukan Yayasan Ecology, perpanjangan tangan Yayasan CARE Peduli Indonesia, 14 Maret 2024.
Beban ekonomi yang jatuh di pundak perempuan

Setiap tahun, ketika lembaran kalender berganti ke bulan November, perempuan-perempuan Desa Berakit sudah bersiap. Bukan untuk merayakan pergantian tahun—melainkan untuk menanggung beban ekonomi yang lebih berat.
Angin utara yang bertiup hingga bulan Februari adalah takdir yang tidak bisa mereka elakkan—ia datang membawa gelombang besar, memaksa para suami untuk menambatkan perahu, meninggalkan lautan yang sedang tidak ramah.
Kerusakan ekologi di pesisir Desa Berakit semakin memperparah keadaan. Ikan yang dulu berlimpah mulai menjauh, kepiting bangkang semakin sulit ditemukan.
“Suami-suami kalau udah angin kuat macam gini, gak akan turun ke tengah laut, mereka nyari ikan dan kepiting di dekat hutan (mangrove) aja,” lanjut Sudarni. Keterbatasan itu menjadi salah satu tantangan yang akan dijawab oleh Yayasan Ecology dan Yayasan CARE Peduli Indonesia.
Mujiastutik (47), Ketua KUEP Melati di Desa Berakit tiba-tiba menarik napas panjang sebelum berbicara—seakan ingin mengumpulkan sisa-sisa harapannya.
“Sehari-hari saya jualan makanan, katering. Tapi kalau sudah akhir dan awal tahun, pusing juga nyari pelanggan. Semua orang sedang susah,” pungkas Mujiastutik.
Ia tidak lagi memiliki bahu untuk bersandar, suaminya telah tiada. Namun, di tengah keterbatasan, KUEP bentukan Yayasan Ecology dan Yayasan CARE Peduli Indonesia menjadi lentera yang mulai menerangi.
Melalui program CARE Indonesia, kelompok perempuan di Desa Berakit mulai belajar membatik, dengan pewarna alami dari kulit pohon bakau yang hampir mati—sebuah ironi, tetapi juga harapan. Kain putih polos yang mereka sentuh berubah menjadi karya seni bernilai tinggi, dihiasi motif yang bercerita tentang laut, hutan, dan kehidupan pesisir.
“Kami diajarkan membatik dengan teknik ecoprint. Selain itu juga ada teknik cap dan canting. Kalau pakai teknik ecoprint, kami bisa menghasilkan dua kain batik sekaligus,” ujar Mujiastutik dengan sekilas senyum yang tidak bisa ia sembunyikan.
Menurutnya, usaha membatik ini menjadi salah satu jalan keluar bagi dirinya dan kelompok perempuan di Desa Berakit lainnya. Batik yang telah siap produksi dapat dibandrol dengan harga Rp200-500 ribu setiap helainya—tidak sedikit pula pejabat yang sudah melirik karya berbahan alami milik KUEP Desa Berakit ini.
Masrullah (54) yang merupakan Sekretaris Desa Berakit turut mengungkapkan hal senada. “Kemarin karya batik dari KUEP Desa Berakit ini juga sudah dipesan oleh pak Kepala Desa Berakit. Banyak juga pegawai di lingkungan Pemerintahaan Kabupaten Bintan maupun Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang berminat,” papar Masrullah—ia melihat kegiatan ini sebagai titik balik perekonomian Desa Berakit menuju jalan yang lebih baik.
Selain semangat KUEP Desa Berakit, Masrullah turut mengapresiasi Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi yang turut membantu dalam melakukan konservasi hutan mangrove di pesisir Desa Berakit.
“Kesadaran masyarakat itu yang penting. Konservasi hutan mangrove di Desa Berakit ini juga atas kesadaran masyarakat, karena ada banyak titik hutan mangrove yang harus disulam kembali,” pungkasnya.
Laut yang berubah, pesisir yang terkikis

Dahulu—sebelum tahun 2000, laut maupun pesisir Desa Berakit adalah ibu yang penuh kasih. Ia menampung perahu-perahu nelayan, memberikan mereka hasil tangkapan yang melimpah—tapi semua itu berubah ketika tungku-tungku arang bakau mulai didirikan di Kampung Panglong.
Tegakan pohon bakau yang seharusnya menjadi penjaga pantai ditebang, dijejalkan ke dalam tungku-tungku bata raksasa—berubah menjadi asap hitam kelam.
Tidak lama setelahnya, perusahaan-perusahaan besar datang dengan janji investasi. Mereka membangun sanggraloka mewah, menggusur hutan mangrove, mengubahnya menjadi hamparan pasir putih yang indah bagi wisatawan—namun meninggalkan luka bagi penduduk setempat.
Kerusakan ini mencapai puncaknya lima tahun lalu. Mereka yang bekerja di garis klandestin membawa racun digenggaman, menyuntikkannya ke akar-akar bakau hingga satu per satu tumbang—terbaring kering seperti tubuh tanpa nyawa.
Sebagian besar tanah di sekitar pantai Desa Berakit yang dulu subur kini asin, ditinggalkan ikan dan kepiting yang pernah menjadi sumber penghidupan.
“Sengaja mereka racun biar bisa ditimbun, tapi cepat kami ketahui dan dihentikan langsung oleh pak Bupati Bintan,” tutup Masrullah.
Menanam kembali harapan di pesisir yang terkoyak

Di tengah kehancuran ini, harapan masih ada. Sejak Agustus 2024, Yayasan CARE Peduli Indonesia turun tangan, membangun kesadaran masyarakat, bersama Yayasan Ecology.
"Program ini bukan sekadar menanam pokok—kami membangun kesedaran. Dulu orang datang ke Berakit untuk merawat lingkungan kerana dibayar. Sekarang mereka buat itu kerana hati, bukan kerana upah," kata Abdul Wahib, CEO Yayasan CARE Peduli Indonesia, Selasa (25/3/2025).
Mereka datang ke Desa Berakit membawa tiga misi, melawan kemiskinan, memperjuangkan keadilan gender, dan mempertahankan lingkungan dari cengkraman krisis iklim.
"Sekarang masyarakat sudah melihat dengan perspektif yang lebih luas, mereka sudah ada rasa memiliki dan menjaga lingkungan serta meningkatkan perekonomian dari sektor-sektor baru," ungkapnya.
Lanjut Abdul, pihaknya kini juga tengah melakukan perancangan cara-cara menjual produk KUEP di Desa Berakit, seperti batik dan produk turunannya.
"Komitmen kami di Desa Berakit pasti akan dilanjutkan kedepannya karena membangun hal ini tidak akan bisa selesai dalam satu tahun," tutupnya.
Rahima Zakia dari Yayasan Ecology menjelaskan, di Desa Berakit, hingga saat ini mereka sedang menyemai 46.000 bibit bakau pasir, jenis pohon bakau yang dominan di daerah ini.
"Penanaman akan dilakukan akhir April atau awal Mei, menunggu bibit siap. Kami telah memetakan 64 hektare wilayah potensial yang akan ditambal, dan 46.000 bibit ini akan menutupi sekitar satu hektar. Jadi, bukan tidak mungkin kegiatan ini akan terus berlanjut," jelasnya.
Berdasarkan data dari Non-Governmental Organization Akar Bhumi Indonesia, dari total 67.417 hektare bentangan hutan mangrove di Kepulauan Riau, hingga tahun 2025 kerusakannya bisa mencapai 50 persen.
Kerusakan ini meliputi pembangunan-pembangunan bersekala besar di pesisir pantai Kepulauan Riau. "Seperti pembangunan yang masif di Batam dan Bintan, beberapa diantaranya sudah kami laporkan ke KLHK dan telah ditindaklanjuti," kata Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan.
Menurut Hendrik, Pulau Bintan yang menyumbang 14.000 hektare bentangan hutan mangrove menjadi salah satu kabupaten di Kepulauan Riau yang perlu dilakukan pelestarian hutan mangrovenya. Mengingat besarnya angka pembangunan di wilayah pesisir pulau tersebut.
"Kalau tidak dijaga, bentangan hutan mangrove itu bisa saja hilang karena pembangunan, dan hutan mangrove, hanya akan menjadi cerita bahagia bagi anak cucu— bagi warga di Pulau Bintan," tutupnya.
Senada, Kepala Bidang Kelautan, Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau, Raja Taufik Zulfikar turut mengapresiasi kegiatan konservasi ini.
Menurutnya, pesisir Desa Berakit menjadi salah satu kawasan di Kabupaten Bintan yang perlu dilakukan penyulaman kembali hutan mangrovenya—mengingat, aktivitas pembalakan pohon bakau kerap terjadi di kawasan ini sebelumnya.
"Kami jelas mengapresiasi kegiatan-kegiatan seperti ini. Kami juga terus melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat setempat, agar tidak menebang pohon-pohon di hutan mangrove," pungkas Zulfikar.
Setelah melihat hal-hal baik yang menyentuh ke tangah kelompok-kelompok perempuan di Desa Berakit, sore itu kami kembali ke Kota Tanjung Pinang.
"Bertahanlah sedikit lebih lama—tumbuhlah liar serupa gulma," tutup lagu Efek Rumah Kaca dari dalam mobil yang kami tumpangi, dengan penuh harapan konservasi dan pemberdayaan kelompok perempuan yang dilakukan Yayasan Ecology, dan CARE Indonesia di Desa Berakit dapat bertahan—dan terus berkembang serupa gulma.
**Liputan ini merupakan Fellowship "Perempuan dan Mangrove Membangun Ketahanan Ekologi dan Ekonomi di Pulau Bintan" yang digelar Yayasan Care Peduli Indonesia bekerja sama dengan SIEJ**