Vonis Bebas Terbit Rencana, KontraS: Negara Gagal Lindungi Korban TPPO

Medan, IDN Times – Vonis bebas yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Terbit Rencana Peranginangin 8 Juli 2024 lalu menjadi perbincangan publik. Kasus yang sudah berproses selama setahun terakhir ini, memantik kritik keras dari para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).
Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP HAM) menyebut vonis bebas ini memilukan bagi penegakan hak asasi manusia dan keadilan, karena perangkat negara melalui pengadilan telah gagal melindungi korban.
TAP HAM menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses peradilan kasus Terbit Rencana.
1. Kejanggalan pada penundaan persidangan yang berulang

Staf Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara Ady Yoga kemit yang tergabung dalam TAP HAM mengatakan, salah satu kejanggalan terlihat pada penundaan persidangan. Sidang dengan agenda penuntutan mantan Bupati Langkat itu ditunda hingga lima kali dari total penundaan sidang sebanyak 13 kali menurut catatan KontraS.
“Bahkan terdapat justifikasi untuk melakukan penundaan pembacaan surat tuntutan dengan alasan tuntutan belum siap sehingga tidak dapat dibacakan,” kata Ady dalam keterangannya, Kamis (18/7/2024).
Terbit juga dua kali mangkir pada saat tuntutan akan dibacakan. Perilaku JPU yang terus menunda-nunda persidangan, kata Ady, jelas mencerminkan sikap tidak profesional. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 50 KUHAP yang mengamanatkan agar seorang tersangka/terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera tanpa penundaan yang tak beralasan (undue delay).
“Dengan adanya undue delay, pengadilan seakan-akan tiak menganggap serius kasus TPPO,” katanya.
2. Vonis bebas membuat ketidakadilan kepada para korban

TAP HAM mengecam keras putusan bebas itu. Negara melalui lembaga peradilannya mengabaikan kondisi korban karena tidak dikabulkannya restitusi oleh hakim.
“Korban seharusnya mendapatkan restitusi jika TRP divonis bersalah, kebebasan TRP justru menimbulkan ketidakadilan bagi korban. Kondisi ini juga menambah catatan buruk terkait dengan penegakan hukum TPPO dan juga upaya pemulihan korban oleh negara,” kata Ady.
3. Persidangan berlarut – larut melanggar asas peradilan

Kejanggalan dalam proses persidangan terlihat pada periode yang sangat panjang. Dalam SIPP Pengadilan Negeri Stabat disebutkan total persidangan 321 hari. Padahal, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan, diatur bahwa penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama paling lambat dalam waktu lima bulan.
“Ini diduga melanggar asas yaitu contante justitie, atau peradilan seharusnya berlangsung cepat, sederhana dan dengan biaya ringan karena tidak kunjung memberikan kepastian hukum bagi korban,” kata Ady.
Ady melanjutkan, vonis bebas ini juga menyimpan banyak kejanggalan. Keterlibatan Terbit dalam kerangkeng Langkat sebenarnya nyata terjadi.
Apabila melihat putusan lain yang berhubungan yakni Perkara Nomor 467/Pid.B/2022/PN Stb yang melibatkan Dewa Perangin Angin dan Hendra Subakti alias Gubsar, yang dalam putusannya menyatakan keduanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "penganiayaan yang mengakibatkan orang lain mati yang dilakukan secara bersama-sama” dan oleh karena itu dijatuhkan pidana kepada dengan pidana penjara masing-masing selama 1 tahun dan 7 bulan, serta diterimanya permohonan restitusi untuk seluruhnya.
“Melihat dari lokasi kejadiannya, sangat tidak mungkin apabila TRP tidak mengetahui adanya tindakan penganiayaan tersebut. Kami menilai bahwa sangatlah ganjil apabila aktor intelektual dari perkara TPPO ini justru diputus bebas,” pungkasnya.
Kasus ini pada awalnya diketahui saat operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap TRP Bupati Langkat non-aktif pada 18 Januari 2022, dimana telah membuka tabir kejahatan.
Dari hasil penggeledahan KPK ditemukan adanya beberapa orang yang berada dalam bangunan berjeruji besi dengan dalih bahwa bangunan yang mirip kerangkeng tersebut merupakan tempat rehabilitasi. Korban yang telah dimasukkan dalam jeruji besi yang terletak di belakang rumah TRP. Diduga kuat TRP merupakan inisiator dari kerangkeng manusia tersebut, untuk kemudian dieksploitasi dengan dipekerjakan di perkebunan sawit miliknya secara paksa dan tidak dibayar.
TRP dituntut dengan Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, Pengadilan Negeri Stabat pada Senin, 8 Juli 2024 memutus bebas TRP. Selain itu, TRP juga dibebaskan dari kewajiban untuk membayar biaya restitusi. Putusan ini sangat mengejutkan, mengingat tuntutan Penuntut umum dalam sidang sebelumnya terhadap TRP yakni adalah 14 tahun pidana penjara, denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), serta biaya restitusi sebesar Rp 2.377.805.493yang diberikan kepada 12 korban atau ahli warisnya.
TAP HAM mendesak JPU mlakukan upaya hukum kasasi Mahkamah Agung dengan tetap memasukkan substansi mengenai permohonan restitusi korban sebagai salah satu memori pokok dalam memori kasasi. Mereka juga mendesak Komnas HAM untuk memberikan pendapat mengenai proses peradilan.
"Karena dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Kami juga mendesak Komisi Kejaksaan memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa yang melakukan undue delay serta melakukan pemeriksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kejaksaan," imbuhnya.
"Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung harus melakukan pemeriksaan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara, serta menyelidiki adanya dugaan pelanggaran etik," pungkasnya.