Tangkas Jemari Perempuan, Menyulam Hutan Mangrove Desa Berakit

Ombak berdebur dari kejauhan pesisir pantai, suaranya seperti nyanyian lama yang menutur dongeng tentang lautan Desa Berakit—yang dahulu ramah.
12 Maret 2025, di tepian pantai yang telah lama berubah, sekelompok perempuan berjalan pelan, mulai beranikan diri untuk jejakkan kakinya di lumpur lautan surut—menanam harapan pada bibit-bibit bakau kecil. Mereka bukan aktivis lingkungan—hanyalah ibu-ibu desa yang memahami satu hal, rumah yang rusak tidak bisa lagi dihuni.
“Kami menyadari bahwa mangrove dan alam itu saling berkaitan. Dan kami juga menyadari bahwa jika ini berjalan, maka yang menikmati juga kami,” kata Romana Rebo (46)—perempuan yang kini berdiri di garis depan perjuangan lingkungan Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Tiga bulan terakhir, ia dan perempuan-perempuan Desa Berakit lainnya, yang tergabung di dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi, mulai menanam bakau di zona penyangga kawasan konservasi laut.
Mereka tidak sekadar menanam, tetapi juga menjaga, memastikan setiap batang yang disemai bisa tumbuh, dan kelak menjadi benteng bagi kehidupan pesisir—namun, kesadaran ini datang dari luka yang dalam.
Ketika pesisir laut Desa Berakit mulai berubah

Sebelum tahun 2000, laut di Desa Berakit masih seperti sang ibu yang penuh kasih. Airnya jernih, rimbun hutan mangrovenya, serta karang melindungi garis pantai—nelayan bisa pulang dengan perahu penuh hasil tangkapan.
Tapi semua itu berubah ketika tungku-tungku arang bakau mulai berdiri di Kampung Panglong, salah satu kampung di Desa Berakit. Tegakan pohon bakau di dalam hutan mangrove yang selama ini menjadi penjaga garis pantai mulai ditebang, dijejal ke dalam tungku-tungku bata berukuran raksaksa—lalu, perlahan berubah menjadi kepulan asap hitam kelam.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan asing datang dengan investasi besar di pesisir desa ini. Sanggraloka mewah dibangun, lagi-lagi menggusur hutan mangrove, menyulapnya menjadi pasir putih dengan bentangan bibir pantai yang menarik bagi wisatawan.
Kehancuran ekologi ini masih berlanjut hingga tahun 2020—lima tahun lalu, mereka yang bekerja di garis klandestin membawa racun di genggaman. Pohon-pohon bakau di pesisir Desa Berakit diracun, satu per satu tumbang, terbaring kering seperti tubuh yang kehilangan nyawa—menyebabkan tepian pantai mulai terkikis, air laut merangsek masuk, mengubah hamparan pohon kelapa menjadi tanah asin—mengusir ikan dan kepiting bangkang yang dulu melimpah di Desa Berakit.
“Sengaja mereka racun biar bisa ditimbun, tapi cepat kami ketahui dan dihentikan langsung oleh pak Bupati Bintan,” ungkap Sekretaris Desa Berakit, Masrullah. Perempuan-perempuan desa Berakit melihat itu semua—mereka tidak bisa tinggal diam.
Bertaruh di Hutan Adat untuk dapatkan bibit bakau

Di bawah matahari yang terik, tangan-tangan kelompok perempuan di Desa Berakit terus bekerja. Dengan dukungan Yayasan Ecology, perpanjangan tangan Yayasan CARE Peduli Indonesia—mereka mulai menyemai kembali harapan.
Seribu bibit bakau telah tertanam, akar-akar kecilnya mulai mencari pegangan di tanah berpasir. Sementara itu, 46.000 bibit lainnya kini dalam tahap penyemaian—menunggu waktu untuk tumbuh, menyemai benteng hijau yang baru.
“Kalau bukan kita, siapa lagi?” tanya Romando—suaranya lirih, bercampur dengan uap asin air laut di siang itu.
Bahkan, Romando tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kembali kawasan pesisir di Desa Berakit ini. Namun, dengan bantuan berbagai tangan, hal ini ia rasa akan terselesaikan, jika dijalankan secara bersama-sama.
“Ya bisa disebut di sini ada namanya seperti hutan adat. Di bagian kiri milik warga Kampung Panglong dan kanan milik warga Kampung Pulau Sumpat,” tegas Monica (64), istri dari Sekretaris Kelompok Kepiting, nama sebutan bagi kelompok masyarakat di Kampung Panglong—yang dibentuk Yayasan Ecology, dan diberdayakan untuk mencari bibit bakau.
Monica mengungkapkan, sehari ia dan suaminya bisa mendapatkan sekitar 500 hingga 1.000 bibit bakau—kesemua itu adalah bibit bakau yang hanyut di perairan hutan adat Kampung Panglong. Namun, ia dan suaminya tidak lagi berani mengambil bibit hanyut di wilayah perairan hutan adat Desa Sumpat—182 meter di seberang Kampung Panglong.
“Kami pernah ambil bibit hanyut di hutan mangrove Desa Sumpat, bisa dibilang itu di kawasan hutan adat mereka. Kan kami pikir itu aman karena tidak kami petik, rupanya warga desa sebelah itu tidak terima, mereka berang,” beber Monica sambil tertawa.
“Tidak lama habis itu, dapat kabar dari orang sini (Warga Kampung Panglong) kalau kami akan didatangi warga desa sebelah (Desa Sumpat),” lanjut Monica dengan serius, raut wajahnya berubah seketika, seakan tengah memahami permasalahan yang akan mendatangi keluarganya—dikemudian hari.
Menurutnya, mencari bibit bakau adalah pendapatan baru yang bisa didapati keluarga kecilnya, untuk sang buah hati. Kelompok ini diberikan upah Rp300. Sementara untuk bibit yang sudah disemai akan diberikan upah sebesar Rp700 oleh Yayasan Ecology.
“Kemarin udah terkumpul 4.000 bibit, sekarang lagi kami semai. Nanti bibit yang sudah disemai akan di bawa ke pesisir pantai RT 2 Desa Berakit—ditanam disana,” lanjutnya.
Menanam kembali harapan di 64 hektare tanah pesisir

Di tanah pesisir Desa Berakit, harapan bukan sekadar kata-kata, tapi benih yang ditanam dengan hati. Sejak Agustus 2024, Yayasan CARE Peduli Indonesia turun tangan, membangun kesadaran masyarakat, bersama Yayasan Ecology.
"Program ini bukan sekadar menanam pokok—kami membangun kesedaran. Dulu orang datang ke Berakit untuk merawat lingkungan kerana dibayar. Sekarang mereka buat itu kerana hati, bukan kerana upah," kata Abdul Wahib, CEO Yayasan CARE Peduli Indonesia, Selasa (25/3/2025).
Mereka datang ke Desa Berakit membawa tiga misi, melawan kemiskinan, memperjuangkan keadilan gender, dan mempertahankan lingkungan dari cengkraman krisis iklim.
"Sekarang masyarakat sudah melihat dengan perspektif yang lebih luas, mereka sudah ada rasa memiliki dan menjaga lingkungan serta meningkatkan perekonomian dari sektor-sektor baru," ungkapnya.
Lanjut Abdul, pihaknya kini juga tengah melakukan perancangan cara-cara menjual produk KUEP di Desa Berakit, seperti batik dan produk turunannya.
"Komitmen kami di Desa Berakit pasti akan dilanjutkan kedepannya karena membangun hal ini tidak akan bisa selesai dalam satu tahun," tutupnya.
Rahima Zakia dari Yayasan Ecology menjelaskan, di Desa Berakit, hingga saat ini mereka sedang menyemai 46.000 bibit bakau pasir, jenis pohon bakau yang dominan di daerah ini.
"Penanaman akan dilakukan akhir April atau awal Mei, menunggu bibit siap. Kami telah memetakan 64 hektare wilayah potensial yang akan ditambal, dan 46.000 bibit ini akan menutupi sekitar satu hektar. Jadi, bukan tidak mungkin kegiatan ini akan terus berlanjut," jelasnya.
Berdasarkan data dari Non-Governmental Organization Akar Bhumi Indonesia, dari total 67.417 hektare bentangan hutan mangrove di Kepulauan Riau, hingga tahun 2025 kerusakannya bisa mencapai 50 persen.
Kerusakan ini meliputi pembangunan-pembangunan bersekala besar di pesisir pantai Kepulauan Riau. "Seperti pembangunan yang masif di Batam dan Bintan, beberapa diantaranya sudah kami laporkan ke KLHK dan telah ditindaklanjuti," kata Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan.
Menurut Hendrik, Pulau Bintan yang menyumbang 14.000 hektare bentangan hutan mangrove menjadi salah satu kabupaten di Kepulauan Riau yang perlu dilakukan pelestarian hutan mangrovenya. Mengingat besarnya angka pembangunan di wilayah pesisir pulau tersebut.
"Kalau tidak dijaga, bentangan hutan mangrove itu bisa saja hilang karena pembangunan, dan hutan mangrove, hanya akan menjadi cerita bahagia bagi anak cucu— bagi warga di Pulau Bintan," tutupnya.
Senada, Kepala Bidang Kelautan, Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau, Raja Taufik Zulfikar turut mengapresiasi kegiatan konservasi ini.
Menurutnya, pesisir Desa Berakit menjadi salah satu kawasan di Kabupaten Bintan yang perlu dilakukan penyulaman kembali hutan mangrovenya—mengingat, aktivitas pembalakan pohon bakau kerap terjadi di kawasan ini sebelumnya.
"Kami jelas mengapresiasi kegiatan-kegiatan seperti ini. Kami juga terus melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat setempat, agar tidak menebang pohon-pohon di hutan mangrove," pungkas Zulfikar.
**Liputan ini merupakan Fellowship "Perempuan dan Mangrove Membangun Ketahanan Ekologi dan Ekonomi di Pulau Bintan" yang digelar Yayasan Care Peduli Indonesia bekerja sama dengan SIEJ**