Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Psikolog Forensik: Kasus Bocah SD Bunuh Ibu Bukan Karena Gangguan Mental

-
Psikolog Forensik, Dr. Irna Minauli, M.Si (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Intinya sih...
  • Pelaku tak alami skizofrenia dan tak dijumpai adanya Post Traumatic Stress Disorder
  • Gangguan Conduct Disorder juga tak ditemukan pada sang anak
  • Psikolog: peristiwa pembunuhan bukan karena gangguan kesehatan mental, tapi karena pengalaman kekerasan yang dialami
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Sejumlah tindakan telah diambil pihak berwajib dalam menangani kasus bocah SD berumur 12 tahun yang nekat membunuh ibunya sendiri di Medan Sunggal. Bukan hanya penetapan status ABH (Anak Berkonflik dengan Hukum) saja, namun pemeriksaan psikologis juga dilakukan.

Hasilnya, psikolog forensik menyatakan bahwa bocah SD berumur 12 tahun itu tidak terkena gangguan mental seperti skizofrenia, delusi, atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Alih-alih psikolog melihat adanya paparan kekerasan yang dialami dan disaksikan. Bukan hanya dari keluarga, namun kemungkinan dari tontonan yang dilihat.

1. Pelaku tak alami skizofrenia dan tak dijumpai adanya Post Traumatic Stress Disorder

-
rumah diberi garis polisi di Jalan Dwikora, Medan Sunggal (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Psikolog Forensik, Dr. Irna Minauli, M.Si. angkat bicara soal kasus pembunuhan di Medan Sunggal yang pelakunya adalah anak di bawah umur. Pihaknya mengaku telah melakukan pemeriksaan terhadap sang anak selama beberapa hari.

"Jadi dari hasil pemeriksaan psikologis, diketahui bahwa si anak memiliki kecerdasan yang tergolong superior, yaitu sangat cerdas, sehingga dengan kecerdasan yang dia miliki, tidak mengagetkan kalau dia sering mendapatkan prestasi yang tinggi. Dia juga mampu mempelajari musik, seni secara otodidak, yang itu menunjukkan bahwa dia juga seorang pribadi yang memiliki kecerdasan yang sangat tinggi," kata Irna, Senin (29/12/2025).

Pihaknya juga mencoba menganalisis apakah ada gangguan mental yang biasa terjadi pada kasus-kasus matricide ini. Disebut Irma umumnya kasus itu terjadi kepada mereka yang mengalami skizofrenia, depresi, atau PTSD.

"Tetapi dari hasil pemeriksaan tidak dijumpai adanya gangguan mental tersebut. Anak tidak mengalami skizofrenia, jadi tidak ada halusinasi, tidak ada delusi, dan tidak ada perilaku yang aneh, ya. Jadi, gugur gangguan skizofrenia pada anak. Kemudian juga tidak dijumpai adanya PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), apakah anak mengalami mimpi buruk, mengalami flashback, yang ditakutkan pada peristiwa tertentu," lanjutnya.

2. Gangguan Conduct Disorder juga tak ditemukan pada sang anak

-
Suasana rumah duka di Jalan Dwikora usai insiden meninggalnya ibu rumah tangga (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Tak sampai di situ, Irna dan pihaknya juga menganalisis dengan kemungkinan lain. Yakni terkait apakah ada conduct disorder.

"Conduct disorder ini gangguan perilaku pada anak yang kalau itu tidak ditangani, mungkin nanti jika dewasa berpotensi menjadi psikopat. Tetapi dalam konteks ini, gangguan perilaku atau conduct disorder juga tidak nampak kepada si anak (pelaku) ini. Karena tidak ditemukan dia yang sering melanggar aturan. Conduct disorder itu juga sering melukai binatang atau properti, ya, dan barang. Ini juga tidak dijumpai pada anak," beber Irna.

Meskipun begitu, diakui oleh Irna bahwa secara psikologis pelaku masih labil secara emosional. Jadi, tak menutup kemungkinan ada keinginan agresivitas yang cukup tinggi.

"Empati yang mungkin masih kurang berkembang, kemudian juga kurang berinteraksi secara sosial, ya, tetapi ini juga lazim terjadi pada anak-anak remaja. Anak remaja mana yang nggak keras kepala? Anak remaja mana yang nggak pemarah, misalnya? Jadi, ini overlap antara kecenderungan pada disorder-nya dengan fase perkembangan remaja yang dialami," rinci perempuan yang menyandang gelar psikolog forensik itu.

3. Psikolog: peristiwa pembunuhan bukan karena gangguan kesehatan mental, tapi karena pengalaman kekerasan yang dialami

-
Psikolog Forensik, Dr. Irna Minauli, M.Si (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Dari segala pemeriksaan yang dilakukan, Irna dan pihaknya berkesimpulan bahwa sang anak tidak mengalami gangguan mental. Namun aksi nekat yang ia lakukan kepada ibunya sampai meregang nyawa itu disebabkan karena adanya stimulus kekerasan.

"Jadi kalau dilihat, kemungkinan terjadinya peristiwa ini bukan karena adanya gangguan kesehatan mental, ya. Namun lebih ke arah pengalaman kekerasan yang dialami dan dia saksikan," sebutnya.

Bukan hanya itu, pemeriksaan psikolog forensik juga senada dengan temuan Polrestabes Medan. Sang anak yang masih berumur 12 tahun diketahui sering bermain game detektif. Bahkan aksinya yang menusuk ibunya pakai pisau sebanyak 26 kali terinspirasi dari Game Murder Mystery pada season Kills Others dan anime Detektif Conan.

"Paparan kekerasan itu bukan hanya dari keluarga, tapi juga mungkin dari tontonan yang dia lihat. Kemudian juga adanya emosi yang pasti meluap, ya, sehingga dia cenderung memendam kemarahannya, sehingga akhirnya meledak menjadi satu tindakan yang emosional dan tidak terkendali. Nah, kalau dilihat dari kompetensi anak ini sendiri, secara kognitif memang dia sangat cerdas, ya. Tetapi apakah anak ini kemudian otomatis memahami apa yang dia lakukan? Ternyata tidak ada korelasinya. Jadi, meskipun kecerdasannya superior, tetapi dia tidak memahami konsekuensi dari perbuatannya itu," pungkasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Kampung One One di Aceh Tengah Kembali Longsor usai Hujan Deras

29 Des 2025, 22:51 WIBNews