Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mahasiswa Batam Lakukan Judicial Review UU TNI ke MK

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Batam, IDN Times - Sejumlah mahasiswa hukum dari berbagai perguruan tinggi di Kota Batam mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai sejumlah pasal dalam UU tersebut membuka celah keterlibatan militer secara berlebihan dalam urusan sipil dan berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer.

Pengajuan judicial review ini diinisiasi oleh Aliansi Mahasiswa Hukum Kota Batam dan difasilitasi oleh organisasi Student for Judicial Review (SJR). Langkah ini dilakukan sebagai bentuk kekhawatiran atas semakin kaburnya batas antara otoritas sipil dan militer di Indonesia, terutama di daerah strategis seperti Batam.

"Kami sebagai mahasiswa hukum merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan revisi UU TNI, padahal Batam adalah wilayah perbatasan yang strategis. Kami khawatir UU ini justru membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan militer terhadap masyarakat sipil," kata Jamaludin Lobang, Mahasiswa Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) dan Wakil Ketua BEM UNRIKA, saat ditemui di Batam, Rabu (14/5/2025).

1. Sorotan terhadap pasal-pasal kontroversial

Mahasiswa Batam usah melakukan sidang pertama di Mahkamah Konstitusi (Dokumentasi narasumber)
Mahasiswa Batam usah melakukan sidang pertama di Mahkamah Konstitusi (Dokumentasi narasumber)

Sementara itu, menurut Otniel Situmorang, Wakil Ketua II SJR dan Mahasiswa Universitas Internasional Batam, terdapat sejumlah pasal dalam UU TNI yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan prinsip negara hukum.

Salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 5 yang memberikan kewenangan kepada TNI untuk "mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis". Penjelasan pasal ini menyebut bahwa objek vital tersebut ditentukan berdasarkan keputusan pemerintah.

"Dengan definisi yang tidak jelas ini, pengamanan objek vital nasional dapat disalahgunakan. Contohnya dalam kasus Rempang Eco City, tentara bisa digunakan untuk menggusur warga atas nama kepentingan nasional. Ini jelas berpotensi melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang perlindungan dan kepastian hukum yang adil," kata Otniel.

Selain itu, mereka juga mengkritisi Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 yang menyebut bahwa TNI dapat dilibatkan untuk "membantu tugas pemerintahan di daerah" termasuk dalam penanganan pemogokan dan konflik komunal.

"Pemogokan adalah hak pekerja untuk menyuarakan aspirasi. Jika tentara mulai terlibat dalam urusan seperti ini, maka ruang demokrasi sipil akan terancam. Peran militer seharusnya dibatasi pada urusan pertahanan negara, bukan ikut menangani persoalan sosial ekonomi," lanjutnya.

Pasal lainnya yang dinilai bermasalah adalah Pasal 47 yang dianggap mengaburkan prinsip equality before the law. Menurut para pemohon, tidak adanya pengaturan mengenai sistem peradilan yang adil bagi militer ketika menduduki jabatan sipil bisa mengarah pada impunitas.

"Pasal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Semua warga negara harus tunduk pada hukum yang sama, tanpa pengecualian," tegasnya.

2. Kekhawatiran kembalinya dwifungsi ABRI

ABRI (Dok Menhan)
ABRI (Dok Menhan)

Hidayatuddin, Ketua Himpunan Mahasiswa Hukum Universitas Putera Batam (UPB) mengatakan, pengesahan UU TNI 2025 mencerminkan tren pelemahan supremasi sipil yang pernah menjadi akar masalah pada era Orde Baru.

"Reformasi telah membatasi keterlibatan militer dalam urusan sipil. Tapi UU ini justru membuka kembali kran dwifungsi ABRI. Ini langkah mundur. Kami menilai DPR RI telah mengabaikan aspirasi masyarakat dalam penyusunan UU ini," kata Hidayatuddin.

Ia menilai Kementerian Pertahanan yang seharusnya menjadi kontrol sipil terhadap militer kini tidak lagi efektif menjalankan fungsinya.

Ia pun mendesak MK agar mempertimbangkan petitum kedua yang mereka ajukan, termasuk permintaan ganti rugi anggaran penyusunan UU TNI sebagai bentuk kritik terhadap pembentukan regulasi yang tidak partisipatif.

"Kami tahu permintaan ini tidak lazim, tapi ini penting agar anggaran negara tidak dipakai untuk membentuk UU yang melanggar konstitusi," ujarnya.

Pengujian UU TNI oleh mahasiswa Batam ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi kekuasaan yang dinilai makin tak terkendali. Menurut Hidayatuddin, langkah mereka merupakan respons terhadap DPR yang dianggap tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.

"Para wakil rakyat tidak lagi mendengarkan suara publik. Kami hanya ingin mereka sadar bahwa kekuasaan ada batasnya. Kalau rakyat tidak dilibatkan, maka kami akan turun ke jalur konstitusional," tutupnya.

3. Mahasiswa Batam di garda terdepan

Mahasiswa-mahasiswa Kota Batam saat melakukan pembahasan UU TNI (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Mahasiswa-mahasiswa Kota Batam saat melakukan pembahasan UU TNI (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Terpisah, Albert Ola Masan, Mahasiswa Hukum Universitas Internasional Batam menyebut mahasiswa di Batam punya posisi strategis untuk mengawal kebijakan nasional, terutama terkait pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan.

"Batam bukan hanya kota industri, tapi juga titik penting bagi kedaulatan negara. Karena itu, regulasi yang menyangkut militer harus dikawal ketat agar tidak merugikan warga sipil," kata Albert.

Albert menilai, kehadiran pasal-pasal problematik dalam UU TNI sudah mulai menimbulkan dampak nyata. Ia menunjuk proyek Rempang sebagai contoh bagaimana militer bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan tanpa melibatkan warga secara adil.

"Pelibatan militer dalam urusan sipil membuka ruang pelanggaran HAM. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi daerah lain," katanya.

Ia berharap, MK tidak hanya menilai dari sisi formil dan materiil, tapi juga mempertimbangkan semangat reformasi dan perlindungan HAM dalam mengambil keputusan.

"Mungkin permohonan ini tak akan langsung mengubah semuanya. Tapi ini adalah langkah awal untuk mengingatkan bahwa demokrasi butuh partisipasi, bukan sekadar prosedur," tutupnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Putra Gema Pamungkas
Doni Hermawan
Putra Gema Pamungkas
EditorPutra Gema Pamungkas
Follow Us