Catatan WALHI 2024: Kerusakan Hutan di Sumut Masih Masif Terjadi

Medan IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara mencatat kasus kerusakan hutan masif terjadi sepanjang 2024 di provinsi itu. Kerusakan hutan terjadi pada sejumlah kabupaten.
Amatan WALHI selama setahun terakhir, kerusakan hutan semakin meluas. Mereka mencatat sejumlah kabupaten yang mengalami kerusakan hutan. Antara lain; Kabupaten Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun, Labuhan Batu Utara, Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Tapanuli Tengah.
1. Maraknya ilegal logging dan ancaman terhadap satwa silindungi

WALHI mencatat, di Kabupaten Karo, kerusakan hutan mencakup kawasan arboretum. Kawasan ini seharusnya menjadi tempat pelestarian keanekaragaman hayati lokal. Tujuh hektar kawasan arboretum mengalami kerusakan. Hal ini berdampak langsung pada ekosistem flora dan fauna di kawasan tersebut.
Desa Bulumario di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, kawasan hutan menghadapi ancaman besar akibat pembukaan lahan.
“Kondisi ini membahayakan habitat Orangutan Tapanuli, spesies yang sudah terancam punah, sekaligus memicu konflik antara masyarakat lokal dan pihak pengembang,” ujar Direktur WALHI Sumut Rianda Purba dalam laporan catatan akhir tahunnya, Jumat (20/12/2024).
Kerusakan hutan juga disebabkan dari maraknya aktivitas penebangan liar. Illegal logging masih marak terjadi di Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Dairi, Labuhan Batu Utara, dan Mandailingnatal.
“Aktivitas ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor,” ungkap Rianda.
Hutan mangrove di Sumatra Utara juga tidak luput dari ancaman. WALHI Sumut mencatat bahwa sekitar 15 ribu hektar hutan mangrove telah mengalami kerusakan, yang berdampak pada keseimbangan ekosistem pesisir.
2. Penegakan hukum masih lemah

WALHI Sumut menyoroti lemahnya penegakan hukum dalam menangani kasus-kasus perusakan hutan. Kurangnya perhatian serius dari pemerintah terlihat dari intimidasi yang dialami Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumatera Utara saat bertugas di lapangan.
“Fenomena ini menunjukkan minimnya kekuatan negara dalam menghadapi mafia hutan, yang sering disebut sebagai “Para Ketua” oleh masyarakat lokal,” kata Rianda.
3. Menanti peran LP3H dan tanggungjawab presiden

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) telah mengatur pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H).
LP3H melibatkan Kementerian Kehutanan, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan unsur terkait lainnya, dengan tanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Namun WALHI Sumut menilai, implementasi lembaga ini dinilai belum maksimal.
Pada 4 November 2024, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bertemu dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memperbarui Nota Kesepahaman (MoU) terkait penanganan masalah kehutanan.
Meski terlihat positif, WALHI Sumut menilai keberadaan MoU ini menunjukkan bahwa LP3H belum menjalankan tugasnya secara optimal sesuai amanat UU P3H.
Dalam kasus kerusakan WALHI Sumut mendesak Presiden RI untuk; Menguatkan LP3H sebagai garda utama dalam penegakan hukum pidana dan administrasi terkait perusakan hutan, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja LP3H hingga meningkatkan komitmen politik dalam melindungi hutan Indonesia.
“Penguatan LP3H sangat penting mengingat pendekatan yang dilakukan harus terpadu, melibatkan langkah preventif dan represif. Tanpa komitmen penuh dari Presiden, upaya pelestarian hutan di Sumatra Utara dan seluruh Indonesia akan terus menghadapi tantangan besar,” pungkasnya.