Aktivis ’98: UU TNI Berpotensi Memantik Gerakan Ekstra-Parlementer

Medan, IDN Times – Gelombang penolakan terhadap Undang-undang TNI yang terkesan dikebut dalam pengesahannya masih terjadi. Penolakan elemen masyarakat begitu masif karena khawatir akan kembalinya dwifungsi ABRI kala itu.
Pada beberapa daerah, unjuk rasa berujung kericuhan. Korban luka berjatuhan.
Protes terhadap Undang-undang TNI juga datang dari kalangan aktivis reformasi 1998. Di Sumatra Utara, Dadang Darmawan Pasaribu aktivis reformasi 1998 memrotes keras undang-undang itu. Dia melihat, ada potensi besar dwifungsi TNI akan terjadi. Selain mengurusi militer, TNI juga akan masuk ke dalam ranah urusan sipil.
“Kalau hari ini ada upaya revisi undang-undang TNI dan itu mendorong kembalinya TNI, ya tentu kita menolak keras upaya-upaya yang memberikan peluang kembali bagi TNI untuk masuk ke sipil,” kata Dadang di Kota Medan, Senin (24/3/2025).
1. TNI tempatnya di barak, bukan mengurusi ranah sipil

Dadang juga mendesak Presiden Prabowo Subianto bisa memberikan jaminan, dwifungsi TNI tidak terjadi. Terlebih, gelombang protes yang kian masif dari berbagai elemen.
“TNI tempatnya di barat, bukan di pekerjaan-pekerjaan sipil,” katanya.
Dia mengungkapkan, Undang-undang ini menunjukkan TNI memaksakan diri masuk ke jabatan-jabatan sipil. Ini menjadi bukti TNI secara institusi tidak memberikan peluang kepada para pejabat-pejabat di dalam tubuh TNI.
“Menurut saya, kita sudah sepakat di dalam reformasi menghentikan dwifungsi ABRI dan sekarang kalau ada upaya seperti itu, ini mengkhianati reformasi. Kita tidak ingin ada reformasi-reformasi berikutnya. Cukuplah tahun 1998 dan kita berharap tahun-tahun ke depan ini kita tinggal melakukan pembangunan yang sekarang sebetulnya sudah ditunggu oleh masyarakat,” kata Dadang.
2. DPR yang abaikan kritik bisa memicu gerakan ekstra parlementer

Dalam pengesahan Undang-undang TNI, tidak ada satu pun partai yang menolak. Semua fraksi di DPR RI sepakat di tengah kritik masyarakat.
Menurut Dadang, cara-cara yang dilakukan DPR RI justru akan memancing kemarahan publik yang semakin membesar. DPR sendiri membuktikan bahwa mereka tidak mendengar aspirasi konstituennya.
“Saya kira itu akan berbahaya. Karena itu akan memantik gerakan ekstra parlementer, baik dari mahasiswa maupun koalisi masyarakat sipil untuk terlibat kembali. Karena praktis kita tidak punya parlemen formal, tentu parlemen jalanan kita harapkan nanti untuk membanding atau untuk membalancing kebijakan-kebijakan DPR yang tentu bertentangan dengan aspirasi masyarakat,” katanya.
3. Krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo akan terus meningkat

Undang-undang TNI, menurut Dadang, akan menjadi ganjalan bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Tidak bisa dinafikkan, dalam 100 hari pemerintahan Prabowo, justru lebih banyak memantik kemarahan publik karena kebijakan-kebijakannya.
“Mestinya kebijakan-kebijakan ini betul-betul memperhatikan aspirasi rakyat. Karena kalau ini terjadi terus-menerus, apalagi soal revisi ini, saya yakin ini tidak menguntungkan dalam proses perjalanan pemerintahan. Dan akan memantik gerakan mahasiswa untuk turun ke jalan yang lebih luas. Dan saya kira itu tetap tidak baik dan akan mengganggu semuanya. Apakah itu proses politik maupun ekonomi dan bisa saja juga soal hal-hal sosial yang ada di tengah-tengah kita hari ini,” ungkapnya.
Ketua Gerakan Pembumian Pancasila ini juga menyayangkan gestur Prabowo yang seakan mengabaikan kritik publik. Menurut Dadang, ini akan memantik gelombang anti-pati yang lebih luas.
“Kita menyayangkan itu terjadi pada Presiden yang justru sekarang diharapkan kan. Dulu harapannya ada 80 persen. Tapi sekarang saya kira itu akan menurun dan justru orang akan anti-pati,” pungkasnya.