25 Tahun Reformasi, Kebebasan Berpendapat Makin Dikekang

Arah reformasi Indonesia harus ditata ulang

Medan, IDN Times – Tepat seperempat abad reformasi Indonesia terjadi pafa 1998 silam, perjuangan reformasi banyak memakan korban. Meskipun, upaya melengserkan Soeharto sebagai rezim otoriter saat itu berhasil.

Reformasi memuat enam tuntutan mahasiswa. Masing-masing; reformasi politik, reformasi ekonomi, pengunduran diri Soeharto, tuntutan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan, tuntutan perlindungan HAM, hingga tuntutan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

25 tahun reformasi sudah berlalu. Ragam pertanyaan masih muncul. Misalnya soal tuntutan soal kebebasan pers dan berpendapat. Apakah cita-cita mulia itu sudahh terealisasi?

Catatan Amnesty Internasional menunjukkan, kriminalisasi terhadap para pegiat masih terjadi. Pada 2021 misalnya, Amnesty Internasional mencatat setidaknya ada 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban. Kemudian Sejak Januari hingga November 2021, Amnesty International Indonesia mencatat terdapat 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan jumlah korban mencapai 98 orang. Begitu juga kriminalisasi yang terjadi pada jurnalis.

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Muhammad Amin Multazam memberikan sejumlah catatan penting capaian reformasi. Khususnya pada tuntutan kebebasan berpendapat.

1. Salah arah cita-cita reformasi

25 Tahun Reformasi, Kebebasan Berpendapat Makin DikekangDok: KontraS

Bagi Amin, reformasi memang sudah banyak mengubah wajah Indonesia. Namun hal itu masih sebatas prosedural saja. Sedangkan implementasinya, jauh panggang dari api.

“Reformasi ini berjalan di arah yang salah. Tidak benar-benar masuk ke dalam reformasi yang kita cita-citakan. Yang mengagungkan kebebasan demokrasi, kebebasan berpendapat menjadi pilar utama dalam sebuah negara. Semakin ke sini kita semakin bertanya, apakah reformasi ini sudah efektif sebagai sistem untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan menjamin kebebasan berpendapat?” ujar Amin Minggu (21/5/2023).

Amin mengatakan, reformasi harus dievaluasi total. Khsusnya terkait implementasi yang berjalan di lapangan.

2. Kebebasan berpendapat semakin dikekang dengan kebijakan sepihak

25 Tahun Reformasi, Kebebasan Berpendapat Makin DikekangIlustrasi penyiksaan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Amin membandingkan bagaimana pengekangan kebebasan berpendapat di era sebelum reformasi. Pemerintah melakukan pembatasan secara otoriter. Bagi yang dianggap melawan pemerintah langsung ditindak. Bahkan tanpa mendapat pengadilan.

Berbeda dengan saat ini, pemerintah membatasi kebebasan berpendapat dengan berbagai kebijakan sepihak. Sebut saja kasus yang menjerat Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Mereka dijerat dengan dugaan pencemaran nama baik Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka kini disidang.

“Itu salah satu contoh nyata. Dulu saat reformasi, pembatasan berpendapat dilakukan secara langsung. Di era sekarang, pembatasan dan ancaman itu dilegalkan melalui Undang-undang. Ada banyak kasus yang terjadi. Misalnya pasal karet UU ITE bisa menjerat siapapun yang berpendapat. Sehingga membuat demokrasi yang merupakan buah reformasi dipertanyakan. Boleh dibilang ini lebih soft caranya. Memenjarakan pendapat dari kebijakan yang sewenang-wenang,” ungkap Amin.

3. Parpol yang tidak demokratis, bagaimana mau bikin kesejahteraan rakyat?

25 Tahun Reformasi, Kebebasan Berpendapat Makin DikekangPegiat HAM M Amin Multazam Lubis. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Amin juga menyoroti soal kondisi partai politik pascareformasi. Partai politik sejatinya membawa kepentingan masyarakat. Namun yang terjadi, Parpol saat ini hanya berjuang untuk kepentingan segelintir pihak.

Dari sekian banyak parpol yang ada, kata Amin, belum ada yang tampak memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.

“Parpol kita adalah cermin paling buruk dari proses reformasi yang kita hasilkan. Tidak ada demokratisasi dalam Parpol. Kita sama sama tahu, begitu banyak parpol kita yang justru mencerminkan perilaku yang otoritarian. Karena semuanya tergantung ketum partai. Semua tergantung dari pusat. Ini juga yang melahirkan oligarki,” ungkapnya.

Amin juga memberikan kritik pada kondisi gerakan mahasiswa. Meski pun secara kuantitas jumlahnya bertambah, kondisi gerakan semakin jauh dari kualitas.

Kondisi gerakan mahasiswa saat ini masih bisa dipecah belah. Belum terkonsolidasi dengan satu isu bersama. Begitu juga dengan gerakan yang dibangun masyarakat sipil. Hanya sebagian kecil yang masih menjunjung independensinya. Itu pun terancam dengan potensi kriminalisasi.

“Di era reformasi ini banyak gerakan  mahasiswa yang justru ditunggangi oleh kepentingan tertentu,” tukasnya.

Pada banyak kasus, kondisi ini cukup nyata. Kekuasaan yang ada, memanfaatkan dan menyetir arah gerakan masyarakat sipil.

“Pada banyak kasus. Selalu ada pro dan kontra yang diciptakan sistem negara ini. Misalnya pada protes Undang-undang KPK. Sebagian masyarakat sipil menolak. Ada juga yang diorganisir untuk mendukung,” katanya.

Dia mendorong, gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil untuk menjaga independensinya. Di tengah carut marut kondisi negara yang kian menguat dengan oligarkinya.

“Kita harus memahami bahwa, siapapun penguasanya, kita harus bertugas menyuarakan kritik,” pungkas mantan Koordinator KontraS Sumut ini.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya