Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Tawuran Masif di Medan, Sosiolog: Bentuk Kegagalan Sistemik

Sosiolog Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh Yuva Ayuning Anjar. (Dok: Pribadi)

Medan, IDN Times – Muhammad Syuhada (16) meninggal dunia setelah ditembus peluru Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Oloan Siahaan, Kapolres Belawan yang belakangan dicopot karena penembakan itu. Oloan disebut menembak Syuhada dan seorang lainnya yang terkena peluru di lengan, karena merasa diserang. Oloan hendak membubarkan tawuran yang meluas hingga ke jalan tol Medan – Belawan, Minggu (4/5/2025) dinihari.

Pasca penembakan itu, tawuran kembali pecah di Belawan. Sejumlah orang ditangkap. Kapolsek Medan Belawan, AKP Ponijo terluka karena kena lemparan batu.

Pada Agustus 2024 lalu, tawuran di kawasan Belawan juga menewaskan seorang pemuda. Korbannya masih berusia 17 tahun. Pemuda berinisial MR itu, meninggal setelah anak panah menembus dadanya.

Tidak hanya di Belawan, tawuran terjadi di sejumlah titik Kota Medan. Baik antar kelompok pemukiman, hingga yang mengatasnamakan diri sebagai geng motor, tidak terkecuali pelajar.

Sosiolog Universitas Syiah Kuala Aceh, Yuva Ayuning Anjar memberi catatan kritis terhadap fenomena yang terjadi.

1. Reaksi logis dari kondisi ketimpangan sosial

Ilustrasi Tawuran (Foto: IDN Times)

Kata Yuning –sapaan akrabnya--, aksi tawuran yang terjadi di Kota Medan, bukan lagi fenomena mikrososial. Terlebih dengan tingginya intensitas fenomana tawuran yang terjadi.

“Tapi ini sudah sistemik, produk kegagalan sistem. Mulai dari yang paling dasar dalam keluarga, lingkungan hingga pemangku kebijakan harusnya sadar bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan akumulasi dari kegagalan sistemik yang terjadi,” kata Yuning yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini, kepada IDN Times, Jumat (9/5/2025).

Tawuran juga tidak lagi disebut sebagai penyimpangan individu. Dari kaca mata sosiologi, ini merupakan reaksi logis dari kondisi ketimpangan sosial. Baik itu akses terhadap pendidikan, ekonomi dan lainnya.

“Terlebih ruang kreatif bagi para pemuda untuk menyalurkan emosinya kepada hal-hal yang lebig positif,” kata lulusan Magister Sosiologi Universitas Gajah Mada ini. 

2. Hilangnya figur otoritas, tindakan represif hanya memperburuk kondisi?

IDN Times/Arief Rahmat

Kegagalan sistem ini juga merujuk pada hilangnya figur otoritatif dalam menjaga stabilitas sosial. Pemerintah hingga aparat penegak hukum dianggap abai dalam proses pencegahan. Hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah hingga aparat menjadi salah satu faktor.

Tindakan represif dalam penanganan tawuran, belum dianggap sebagai solusi konkret. Upaya-upaya persuasif, justru minim dilakukan.

“Artinya ketika masyarakat tidak memiliki figur ini ataupun tidak mempercayai sosok ini, maka ikatan di antara warga menjadi buyar sehingga rentanlah terjadi kriminalitas. Kepolisian itu sebetulnya bisa bertindak menjadi salah satu figur otoritas legal. Maka yg diperdebatkan sebetulnya bukan soal berhasil atau tidak represifitas polisi. Melainkan, apakah mereka sudah menjalankan perannya sebagai figur otoritas legal sesuai amanat undang undang atau belum? Tidak sekedar memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum, namun juga memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Artinya selain penindakan, kepolisian juga harus menyiapkan upaya- upaya pencegahan agar kriminalitas tidak terjadi. Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati?” ujar perempuan yang meluluskan strata satunya di FISIP USU ini. 

3. Perbaikan sistem hingga peran keluarga menjadi sangat penting

ilustrasi pendidikan (unsplash.com/MD Duran)

Penanganan tawuran membutuhkan solusi konkret. Perbaikan sistem dalam pembinaan remaja menjadi sangaat penting. Termasuk, kata Yuva, peran keluarga sebagai institusi sosial.

Dalam jangka panjaang, solusi ini butuh peran aktif dari pemerintah. Para remaja harus diberikan ruang kreatif untuk berkarya. Pemerintah juga punya tanggung jawab untuk memberi jaminan pendidikan hingga lapangan pekerjaan untuk para pemuda.

“Permudah akses pendidikan baik formal atau informal, sediakan lapangan kerja. Lalu kepolisian juga harus berbenah. Sampai masyarakat percaya kembali bahwa kepolisian bisa menjadi figur pelindung warga seutuhnya. Rakyat ini cuma sedang krisis kepercayaan dengan aparat dan pemerintah. Supaya percaya lagi gimana? Ya berbenah,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Prayugo Utomo
Arifin Al Alamudi
Prayugo Utomo
EditorPrayugo Utomo
Follow Us