Rempang Menjawab dengan Menanam, Dua Tahun Setelah Luka 2023

- Menanam sebagai perlawanan: KPA menilai menanam di Pulau Rempang melambangkan semangat reforma agraria, menjadi protes politik dan budaya, serta pengikat solidaritas.
- Narasi yang direbut kembali: Pasar rakyat menjadi cara warga merebut narasi pembangunan, membangun solidaritas publik, dan membongkar stigma protes warga.
- Polisi janjikan pendekatan humanis: Kepolisian belajar dari peristiwa 2023, menghormati hak warga menyampaikan pendapat, dan mengedepankan pelayanan dan pendekatan humanis.
Batam, IDN Times - Dua tahun sudah masyarakat Rempang bertahan menghadapi proyek Rempang Eco City. Sejak bentrokan dengan aparat kepolisian pada 7 September 2023, penolakan warga tak pernah surut. Setiap tahun, mereka memilih cara berbeda untuk memperingati peristiwa itu sekaligus menegaskan sikap mereka.
Jika pada tahun pertama warga Pulau Rempang menabur bunga di jembatan penghubung Pulau Rempang dan Setokok, tahun ini 7 September 2025, warga mengemas perlawanan dalam bentuk lainnya: pasar rakyat bertajuk Pekan Ruang Hidup.
Kegiatan ini dilaksanakan di Simpang Sungai Raya, mereka membuka lapak sederhana berisi hasil bumi, ikan, hingga buah-buahan. Semua ludes dibeli pengunjung. "Rempang bukan untuk dijual. Rempang adalah ruang hidup kami semua," kata Roziana, Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Rempang-Galang Bersatu (AMAR-GB), saat membacakan deklarasi penolakan proyek.
Selain membangun suasana pasar, spanduk-spanduk penolakan terbentang di antara lapak: Tolak Proyek Rempang Eco City, Menanam Bukan Kriminal, hingga Rempang Menolak Tumbang. Selain berdagang, warga menggelar doa bersama dan pentas seni, cara mereka merawat ingatan sekaligus menyatakan bahwa penolakan tetap hidup.
1. Menanam sebagai perlawanan

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, pasar rakyat di Pulau Rempang lebih dari sekadar aktivitas ekonomi. Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA, Roni Septian Maulana mengatakan, kegiatan ini melambangkan semangat reforma agraria yang sesungguhnya—warga mempertahankan tanah dengan cara merawatnya.
"Menanam bukan hanya urusan ekonomi. Itu pernyataan bahwa tanah adalah identitas dan keberlanjutan hidup," kata Roni. Setiap sayur yang dipanen, setiap bibit yang ditanam, adalah tanda bahwa warga menolak tunduk pada ancaman penggusuran.
Menurut Roni, ada kekuatan simbolik dalam pemandangan ibu-ibu tua yang masih tekun mencangkul, menabur benih, dan merawat tanaman meski lahan mereka terancam.
"Itu pesan moral yang sangat kuat: perjuangan agraria tidak berhenti di satu generasi. Ia diwariskan, dari nenek ke anak, dari anak ke cucu,” ujarnya.
Bagi warga Rempang, menanam bukan sekadar bertahan hidup, melainkan juga cara menjaga martabat. Di tengah tekanan proyek dan aparat, aktivitas sederhana itu menjadi bahasa politik yang tak bisa dibungkam.
"Menanam dalam konteks konflik agraria adalah protes politik sekaligus budaya. Ia menyampaikan, tanpa perlu berteriak, bahwa ruang hidup dimiliki oleh mereka yang merawatnya, bukan oleh pihak yang mengklaimnya atas nama modal atau proyek,” tutur Roni.
KPA menilai praktik ini juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas. Setiap kali masyarakat luas melihat foto atau video warga menanam di lahan konflik, muncul empati sekaligus kesadaran bahwa perjuangan agraria menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Inilah mengapa gerakan menanam di Rempang berpotensi menjadi inspirasi bagi konflik agraria lain di Indonesia,” kata Roni.
2. Narasi yang direbut kembali

Ketua Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Rina Mardiana menambahkan bahwa pasar rakyat menjadi cara warga merebut narasi pembangunan. Selama ini, kata dia, kampung-kampung di Rempang kerap digambarkan pemerintah sebagai lahan kosong. "Padahal tanah dan laut Rempang sudah lama menopang ekonomi rakyat," kaya Rina, 8 September 2025.
Rina menekankan bahwa warga berusaha mengoreksi tafsir tunggal tentang pembangunan. "Apa yang dilakukan warga hari ini adalah pembangunan versi mereka: berbasis komunitas, berakar pada keberlanjutan, dan tidak menggusur siapa pun," ujarnya.
Menurut KIKA, aksi damai ini juga menjadi strategi efektif membangun solidaritas publik. Pasar hasil bumi yang dipadukan dengan seni budaya lokal melahirkan ruang perlawanan tanpa kekerasan.
"Ketika warga memilih jalur ini, mereka sekaligus membongkar stigma lama, bahwa protes warga hanyalah penghambat investasi," kata Rina.
Meski begitu, KIKA mengingatkan bahwa pendekatan keamanan yang berlebihan sejak 2023 masih menyisakan trauma. Banyak keluarga, terutama anak-anak, masih mengingat suara gas air mata dan bentrokan. Narasi resmi pemerintah yang menyebut warga telah sepakat relokasi, kata Rina, juga menjadi bentuk pembungkaman halus. "Pemerintah mengendalikan cerita, sementara fakta di lapangan menunjukkan mayoritas warga menolak," ujarnya.
Dua tahun berselang, ada perubahan. Status Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk Rempang Eco City dicabut awal 2025. Namun, bagi warga, pencabutan status PSN belum berarti ancaman hilang. "Kekerasan langsung aparat memang berkurang, tapi muncul pola baru, misalnya lewat aksi preman atau tekanan administratif. Itu membuat warga tetap hidup dalam ketidakpastian," ungkapnya.
KIKA mendesak pemerintah tidak hanya berhenti pada pencabutan status PSN, tapi juga memberi jaminan pemulihan hak asasi warga. "Perlu ada perlindungan hak atas tanah, jaminan partisipasi penuh masyarakat, serta penyelesaian konflik secara damai dan tuntas. Kalau tidak, konflik bisa berulang," tutupnya.
3. Polisi janjikan pendekatan humanis

Sementara itu, kepolisian mengaku belajar dari peristiwa 2023. Kapolresta Barelang, Kombes Pol Zaenal Arifin menegaskan pihaknya menghormati hak warga menyampaikan pendapat. "Selama kegiatan dilakukan dengan damai dan tidak provokatif, itu sah dilindungi undang-undang," kata Zaenal, 9 September 2025.
Zaenal mengatakan, pengamanan yang dilakukan polisi tidak dimaksudkan untuk membatasi gerak warga, melainkan memastikan semua pihak merasa aman. "Kewajiban kami menjaga keamanan tidak hanya untuk pengunjuk rasa, tapi juga untuk masyarakat luas yang punya aktivitas lain," katanya.
Menurut dia, langkah-langkah yang ditempuh Polresta Barelang bersifat persuasif. Polisi berusaha hadir dengan cara yang lebih dekat, bukan represif. "Kami tidak ingin lagi ada luka baru di masyarakat. Tugas kami adalah merawat kepercayaan publik," ujarnya.
Untuk itu, kata Zaenal, polisi memilih mengedepankan pelayanan dan pendekatan humanis ketimbang seremonial yang bersifat pencitraan.
"Kami tidak mau membuat kegiatan yang diset dengan drama. Cukup kerja ikhlas dan serius mengayomi masyarakat, kepercayaan itu akan datang sendiri," ujarnya. "Kalau polisi hadir membantu warga yang kesulitan, melindungi mereka tanpa pandang bulu, maka kepercayaan itu tumbuh dengan sendirinya."