Hari Harimau Internasional, Nasib Raja Rimba Terancam Bahaya

Medan, IDN Times - Setiap tanggal 29 Juli, dunia memperingati International Tiger Day atau Hari Harimau Internasional. Momentum ini bukan sekadar selebrasi terhadap keindahan salah satu predator terkuat di muka bumi, tetapi juga menjadi pengingat akan nasib harimau yang semakin terancam punah.
Dengan populasi yang terus menurun akibat perburuan dan hilangnya habitat, hari ini mengajak kita untuk kembali peduli dan beraksi demi kelangsungan hidup sang raja rimba.
1. Sejarah Hari Harimau Internasional, bermula dari hilangnya populasi harimau

Hari Harimau Internasional pertama kali dicanangkan pada Konferensi Tingkat Tinggi Harimau Dunia (International Tiger Forum) yang digelar di St. Petersburg, Rusia, pada tahun 2010. Dalam pertemuan tersebut, 13 negara yang menjadi habitat alami harimau sepakat untuk melindungi populasi spesies ini yang kala itu hanya tersisa sekitar 3.200 ekor di alam liar.
Konferensi tersebut menghasilkan Global Tiger Recovery Program—sebuah inisiatif ambisius untuk melipatgandakan jumlah harimau liar pada tahun 2022, yang kemudian dikenal dengan target “Tx2”. Hari Harimau Internasional pun dipilih sebagai tonggak kesadaran global terhadap krisis populasi harimau.
2. Raja rimba masih terancam bahaya

Meski beberapa negara menunjukkan kemajuan, secara umum harimau masih berada dalam daftar spesies yang terancam punah menurut IUCN Red List. Ada enam subspesies harimau yang masih hidup: harimau Bengal, harimau Indochina, harimau Malaya, harimau Siberia, harimau Sumatra, dan harimau Cina Selatan—meskipun yang terakhir kemungkinan sudah punah di alam liar.
Menurut data WWF dan Global Tiger Forum, pada tahun 2023 diperkirakan terdapat sekitar 5.574 harimau liar di dunia. Namun, sebagian besar populasi ini terkonsentrasi di India dan Nepal. Di Indonesia sendiri, hanya tersisa harimau Sumatra yang statusnya sangat kritis, dengan jumlah kurang dari 600 ekor di alam liar.
3. Upaya konservasi masih dihadapkan dengan berbagai tantangan

Berbagai program konservasi telah dilakukan, mulai dari patroli hutan, pemasangan kamera jebak, restorasi habitat, hingga edukasi masyarakat sekitar hutan.
Di India dan Nepal, strategi konservasi berbasis kawasan konservasi dan partisipasi masyarakat berhasil menaikkan jumlah harimau.
Namun, tantangan masih besar. Perburuan liar demi perdagangan ilegal bagian tubuh harimau, seperti kulit dan tulangnya, masih terjadi. Hilangnya hutan akibat ekspansi lahan, kebakaran, dan pertambangan memperparah situasi.
Di Indonesia, konflik harimau dengan manusia juga semakin sering terjadi akibat menyempitnya ruang gerak satwa ini. Berbagai kasus perdagangan bagian tubuh harimau juga masih masif terjadi di Indonesia.