Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Geng Motor Marak, Pendampingan Bersama Terhadap Anak Mendesak

Sosiolog Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh Yuva Ayuning Anjar. (Dok: Pribadi)
Sosiolog Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh Yuva Ayuning Anjar. (Dok: Pribadi)

Medan, IDN Times – Fenomena geng motor marak terjadi belakangan di Sumatra Utara. Tidak jarang, aksi geng motor ini berujung pada kriminalitas. Geng motor masif diisi usia remaja. Mulai dari pelajar SMP hingga SMA. Mereka masih tergolong pada usia anak.

Di Ibukota Sumatra Utara, Kota Medan, geng motor kerap bikin onar. Mereka acap kali menggelar konvoi dengan sepeda motor. Membawa senjata tajam hingga petasan dan berkeliling ke sejumlah ruas jalan padat lalu lintas. Tidak jarang juga mereka melakukan aksi tawuran dengan sesama geng motor.

‘Virus’ geng motor juga merebak, jauh dari ibukota provinsi. Teranyar, geng motor berulah di Kabupaten Asahan. Salah satu kabupaten yang berjarak 180 Km dari Kota Medan.

Di sana, sejumlah geng motor tumbuh cukup masif. Belum lama ini, salah satu geng motor merusak kantor salah satu dinas di Asahan. Geng motor juga melakukan pembacokan terhadap seorang pengamen. Mereka juga melakukan tawuran.

Lantas, apa yang membuat ‘virus’ geng motor ini merebak hingga ke kabupaten/kota? Dan bagaimana solusi untuk menekan angka penyebarannya?

1. Ada peran media sosial dalam sebaran geng motor

ilustrasi media sosial (pexels.com/pixabay)
ilustrasi media sosial (pexels.com/pixabay)

Sosiolog dari Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh Yuva Ayuning Anjar menilai, merebaknya fenomena geng motor hingga ke kabupaten seperti asahan, merupakan fenomena yang unik. Karena terjadi pada wilayah yang jauh dari ibukota provinsi.

“Fenomena urban yang terjadi di Asahan perlu diwaspadai,” kata Koordinator Program Studi Sosiologi USK ini, Jumat (10/1/2025).

Salah satu faktor yang mendorong fenomena ini, kata Yuning –sapaan karibnya--, adalah tidak adanya penyaringan pada konten di dalam media sosial. Sehingga aksi kekerasan dengan gampang diduplikasi.

Dalam kasus tawuran geng motor di Asahan, kata Yuning, media sosial menjadi sarana komunikasi antar kelompok. Sampai akhirnya, mereka sepakat melakukan tawuran.

“Tentu ada proses-proses komunikasi baik secara langsung atau tidak. Seperti flexing, saling sindir di media sosial yang memicu perselisihan. Selain pola komunikasi yang terjalin antara kedua kelompok secara langsung di sosmed, fenomena ini juga membuktikan bahwa di negara kita tidak ada sistem filtrasi yang mumpuni dalam penyebaran informasi di sosmed. Indonesia yang hanya dikenal sebagai bangsa penerima sampai saat ini belum mampu menegakkan sistem yang demikian,” kata perempuan lulusan strata satu di FISIP USU ini. 

2. Kehilangan kepercayaan diri di kalangan remaja menjadi persoalan penting

Ilustrasi penganiayaan (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi penganiayaan (IDN Times/Aditya Pratama)

Fenomena geng motor memang menjadi persoalan yang kompleks. Faktor pemicu lainnya, individu yang masuk ke dalam pusaran geng motor dikarenakan kehilangan rasa percaya diri. Mereka merasa kehilangan identitas jika tidak beradad I dalam kelompok.

“Mereka merasa bukanlah apa-apa ketika tidak berada dalam kelompok, namun merasa menjadi ‘sesuatu’ ketika mereka bergabung di dalamnya. Artinya tindakan-tindakan destruktif yang mereka perbuat secara berkelompok seperti pembacokan (salah sasaran) dan lainnya tidak akan mereka lakukan apabila mereka sedang sendirian. Dalam kerusuhan yang mereka lakukan, mereka menjadi anonim sehingga punya kecenderungan berbuat kerusakan lebih besar lagi ketika bersama, tidak ada tanggung jawab pribadi di dalam diri mereka,” kata Yuning.

3. Upaya pencegahan harus dilakukan lintas institusi

Ilustrasi remaja kebingungan (Unsplash.com/Yosi Prihantoro)
Ilustrasi remaja kebingungan (Unsplash.com/Yosi Prihantoro)

Kata Yuning, fenomena geng motor bisa dicegah dan diminimalisir. Caranya bisa dilakukan dengan lintas institusi. Paling kecil dimulai dari institusi keluarga.

Keluarga, harus terus melakukan upaya pengawasan. Membangun kepercayaan diri terhadap anak.

“Bangun kepercayaan diri anak-anak muda ini sebagai pribadi yang mandiri, sebagai suatu individu yang bertanggung jawab tidak kepada orang lain tapi kepada dirinya sendiri. Harus ditanamkan bahwa ketika mereka- mereka ini melakukan tindakan melanggar hukum, maka yang rugi ya mereka sendiri, bukan orang lain,” katanya.

Selain itu, institusi pendidikan juga berperan tidak kalah penting memberikan edukasi kepada peserta didiknya.

“Pemerintah juga harus berperan. Penyediaan fasilitas-fasilitas publik sebagai wadah kreasi anak muda perlu disediakan lebih banyak sehingga kepercayaan diri anak muda bisa terbentuk,” imbuh lulusan magister Sosiologi UGM ini. 

Lantas, bagaimana membangun kepercayaan diri terhadap anak yang sudah terlibat atau bahkan harus menghadapi proses hukum. Peran masyarakat begitu penting. Begitu remaja yang terlibat geng motor selesai menjalani proses hukum, maka masyarakat harus bisa menerima dengan baik.

“Masyarakat harus bisa menghilangkan stigma ‘anak nakal’ pada anak-anak ini agar mereka bisa kembali normal menjalani kehidupan sesuai norma masyarakat. Dalam pembinaan yang dilakukan di lapas, yang ditekankan bukan menjalani hukuman, namun rehabilitasi. Setiap sekolah juga harus diwajibkan mau menerima anak-anak ini kembali bersekolah, agar ia bisa kembali berbaur dengan masyarakat. Apabila ini tidak dilakukan, bukan lagi kekerasan oleh kelompok, tapi ini hanya akan menjadi kekerasan baru yang terstruktur bagi anak-anak pelaku geng motor ini,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Prayugo Utomo
EditorPrayugo Utomo
Follow Us