Akademisi: Pembiaran APH Terkait Kekerasan di Rempang Langgar HAM

Batam, IDN Times - Dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Pulau Rempang kembali mencuat setelah insiden intimidasi dan kekerasan yang dihadapi masyarakat versus PT Makmur Elok Graha (MEG), Rabu (18/12/2024) dini hari lalu.
Hal ini menarik perhatian para akademisi, salah satunya Zainul Akmal, dosen Fakultas Hukum Universitas Riau. Ia menyoroti pembiaran oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap tindakan tersebut secara berulang.
"Kejadian ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat di Pulau Rempang, terutama terkait konflik yang berakar pada Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City," kata Zainul, Sabtu (21/12/2024).
Insiden serupa juga pernah terjadi pada September 2023, ketika aparat gabungan TNI, Kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL-PP) hingga pengamanan BP Batam memaksa masuk ke perkampungan di Pulau Rempang untuk pemasangan patok.
1. Tragedi kekerasan dan dampaknya pada masyarakat

Zainul mengatakan, pemasangan patok pada 2023 berlangsung di atas tanah yang diklaim sebagai milik adat, memicu penolakan keras dari masyarakat setempat.
Insiden tersebut berujung pada kekerasan, termasuk penggunaan gas air mata dan penembakan peluru karet. Selain itu penggunaan gas air mata juga menyasar ke wilayah sekolah dasar.
Diungkapkannya, saat itu anak-anak menjadi korban, sementara fasilitas publik seperti puskesmas turut terdampak dengan adanya upaya pengosongan dan pembebasan tugas tenaga kesehatan di Pulau Rempang.
"Pemaksaan relokasi terhadap masyarakat meninggalkan luka mendalam, baik secara fisik maupun psikologis. Negara seharusnya hadir melindungi, bukan justru membiarkan kekerasan ini berulang," ujarnya.
2. Dasar hukum dan dugaan pelanggaran HAM berat

Masih kata Zainul, Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara. Namun, pembiaran oleh APH terhadap tindakan kekerasan dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur lebih lanjut tentang kewajiban negara dalam melindungi hak asasi warganya. Dalam konteks relokasi masyarakat, dugaan pelanggaran HAM berat pun mengemuka.
"Relokasi yang dilakukan secara paksa terhadap masyarakat di Rempang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini karena pemindahan tersebut terjadi dalam situasi yang sistematis, tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan," tegasnya.
Menurutnya, peristiwa yang dikenal sebagai 'September Berdarah' pada 2023 menunjukkan indikasi penyiksaan fisik dan mental terhadap masyarakat di Pulau Rempang. Suasana mencekam di Pulau Rempang dan Galang saat itu mencerminkan ketegangan yang tidak kunjung reda.
3. Solusi dan langkah penyelesaian

Tragedi yang terjadi di Pulau Rempang tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diharapkan segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM berat di wilayah tersebut.
Terakhir, Zainul menegaskan bahwa penyelidikan ini perlu ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Republik Indonesia demi penegakan hukum yang adil.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan PSN Rempang Eco-City didesak untuk meninjau ulang kebijakan relokasi.
"Sebagai negara demokrasi, kita harus mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap kebijakan. Rakyat adalah aset utama yang harus dilindungi," lanjutnya.
Di sisi lain, masyarakat juga diimbau untuk aktif memperjuangkan keadilan, baik melalui jalur hukum maupun non-hukum. Koordinasi dengan Komnas HAM dan anggota legislatif harus terus dilakukan.
"Keterlibatan masyarakat dan pengawasan ketat terhadap kebijakan pemerintah menjadi kunci agar pelanggaran hukum di Rempang tidak terulang," tutupnya.