Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

3 Terdakwa Kasus Jual Vaksin Disidang, Sekali Suntik Patok Rp250 Ribu

Ilustrasi vaksin yang digunakan sebagai booster kedua bagi Tenaga Kesehatan. (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)
Ilustrasi vaksin yang digunakan sebagai booster kedua bagi Tenaga Kesehatan. (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Medan, IDN Times- Tiga terdakwa kasus penjualan vaksin COVID-19, menjalani sidang perdana secara virtual di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Rabu (8/9).

Ketiga terdakwa yakni dr Kristinus Saragih dokter ASN di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan dr Indra Wirawan dokter ASN di Rutan Kelas I Medan dan Selviwaty selaku pihak swasta. 

1. Kasus ini bermula pada Mei 2021

ilustrasi penyuntikan vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi penyuntikan vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Jaksa penuntut umum (JPU) Robertson dari Kejati Sumut, mengatakan kasus ini bermula pada Mei lalu, terdakwa Selviwaty menghubungi kedua dokter tersebut untuk keperluan vaksinasi.

"Awalnya terdakwa Kristinus menolak, kemudian karena disepakati ada pemberian uang sebesar Rp250 ribu per sekali vaksin untuk tiap orangnya, maka dokter Kristinus bersedia melakukan suntik vaksinasi jenis Sinovac," katanya

Namun, ternyata ketersediaan vaksin dr Kristinus di dinas kesehatan tidak mencukupi, sehingga menyarankan agar terdakwa Selviwaty menghubungi dr Indra Wirawan, dengan harga vaksin tetap Rp250 ribu.

"Disepakati tetap Rp250 ribu sekali vaksin. Dari Rp250 ribu rupiah itu Rp220 ribu untuk dokter Indra, sisanya untuk terdakwa Selviwaty," ungkapnya.

2. Vaksin tersebut diperoleh para terdakwa dari sisa rutan dan ada juga didapatkan dari Dinas Kesehatan Sumut

Seorang petugas kesehatan menunjukkan vaksin 'Covishield' setelah kedatangan batch pertama vaksin dari Serum Institute of India di Rumah Sakit Umum di Ahmedabad. Gambar digunakan untuk tujuan ilustrasi. (Foto: PTI)
Seorang petugas kesehatan menunjukkan vaksin 'Covishield' setelah kedatangan batch pertama vaksin dari Serum Institute of India di Rumah Sakit Umum di Ahmedabad. Gambar digunakan untuk tujuan ilustrasi. (Foto: PTI)

Vaksin tersebut, lanjut jaksa, diperoleh para terdakwa dari sisa rutan dan ada juga didapatkan dari Dines Kesehatan Sumut. Kemudian, dari hasil penjualan vaksin itu, ketiga terdakwa memperoleh keuntungan.

"Di antaranya dr Kristinus memperoleh Rp142.750.000 dari 570 orang dan terdakwa Selvi juga mendapat bagian Rp11 juta. Sedangkan dokter Indra memperoleh Rp134.130.000 dari 1.050 orang yang divaksin, dan terdakwa Selvi dapat bagian Rp25 juta," sebut jaksa.

Jaksa Robertson memaparkan, peran terdakwa Selviwaty sebagai orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan jabatannya. Ia diancam pidana Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.

3. Terdakwa dr Kristinus Saragih dan dr Indra Wirawan masing-masing dijerat pidana perbuatan berlanjut

ilustrasi vaksin rabies. (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi vaksin rabies. (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, terdakwa dr Kristinus Saragih dan dr Indra Wirawan masing-masing dijerat pidana perbuatan berlanjut, yaitu menerima hadiah atau janji yang bertentangan dengan kewajibannya.

Keduanya diancam pidana Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Atau kedua, Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Atau ketiga, Pasal 5 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Atau keempat, Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. "Masing-masing para terdakwa terancam hukuman 15 tahun penjara," ujar jaksa.

Usai mendengarkan dakwaan JPU, majelis hakim diketuai Saut Maruli Tua Pasaribu, menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda eksepsi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us