Suara Warga Pantai Melayu di Rempang, Khawatir Sejarahnya Akan Hilang

Batam, IDN Times- “Kalau di dalam dada sebenarnya ada rasa marah, ada rasa sedih. Nah, kata kami orang Melayu, Tembuni (tali pusar) kami sudah tertanam di sini,” ucap Husaimi dari Kepemudaan Pantai Melayu, Jumat (15/9/2023).
Suara Husaimi mewakili kekhawatiran dari warga di Desa Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Soal rencana relokasi 16 kampung di Rempang untuk Proyek Strategi Nasional (PSN) Eco-City.
Terdapat sekitar 30-an rumah, dengan 60-an Keluarga (KK) yang menggantungkan hidup di sana. Mereka rata-rata bermata pencarian menjadi nelayan dan berkebun. Di daerah ini adalah wilayah Pantai Melayu, salah satu destinasi wisata di Kota Batam.
Suasana kampung memang terlihat sepi. Pantauan IDN Times, mulai dari sepanjang Jalan Trans Barelang hanya ada para petugas keamanan yang berjaga. Selain itu ada spanduk-spanduk terpampang dengan tulisan “Tempat Pendaftaran Relokasi Warga Rempang”.
IDN Times berkomunikasi langsung dengan warga Pulau Rempang dan mendengar cerita mereka soal sejarah Pantai Melayu yang nanti dikhawatirkan hilang, karena adanya proyek Rempang Eco-City.
1. Warga sedih dan merasa seperti teroris di kampung sendiri

Husaimi resah. Dia mengatakan, seluruh warga berada di garis keras untuk menolak relokasi 16 kampung di Rempang untuk Proyek Strategi Nasional (PSN) Eco-City.
Apalagi menurutnya, tidak ada kejelasan dari pemerintah seperti apa nantinya ke depan mereka. Proyek relokasi yang dijanjikan masih samar di mata mereka.
Petugas keamanan, di mata masyarakat juga telah menjadi momok yang menakutkan. “Kita udah kayak (seperti) teroris. Saya pernah lihat, aparat bawa senjata laras panjang,” katanya.
2. Warga yang setuju dengan relokasi bukan merupakan warga asli Pulau Rempang

Dijelaskan Husaimi ada juga yang menerima atau setuju dengan relokasi tersebut. Namun, mereka bukan masyarakat asli, melainkan pendatang yang memikirkan keuntungan pribadi.
“Itu mereka yang dari orang-orang di luar kampung. Bukan seperti kami warga asli di sini. Yang menerima itu, orang yang beli lahan, atau orang pendatang bukan asli di sini,” ungkapnya.
Menurut Husaimi, para warga yang menerima relokasi tak punya sejarah apapun untuk diperjuangkan. Sereka masyarakat asli yang sudah turun temurun hidup di pulau ini.
“Tiba-tiba ada yang daftar untuk setuju relokasi itu, karena bagi dia tidak merugikan. Karena dia di sini tidak punya rumah bahkan tidak ada sejarahnya bagi dia,” tambahnya.
Selain itu ada juga warga yang setuju karena mereka merasa tidak dirugikan, hanya memiliki tanah dan rumah gubuk.
“Ada juga yang punya tanah, dia cuma bercocok tanam rumahnya gubuk. Ya mau gak mau harus tandatangan, kan cuma tanah doang,” terangnya.
3. Penolakan warga karena tidak ada kejelasan gambaran rencana relokasi tersebut

Penolakan warga juga memiliki alasan. Menurut mereka tidak ada kejelasan dalam rencana relokasi tersebut.
"Jadi, tanggapan saya begini. Rumahnya (yang dijanjikan) belum ada. Berarti ini sekedar janji-janji Pilkada. Sedangkan, proyek ini lama bahkan bisa sampai bertahun-tahun baru kelar rumah. Kalau hanya omongan, habis jabatan Pak Jokowi, habis jabatan Pak Rudi (Wali Kota Batam) kami mau menuntut ke siapa. Siapa yang mau tanggungjawab,” ucapnya.
Kemudian, dia juga mengatakan bahwa selama ini pemerintah banyak janji. Selain itu, Husaimi mengatakan bahwa selama ini pendaftaran relokasi ini seperti berjualan keliling.
“Kayak (seperti) berjualan keliling, teriak pakai toa (pengeras suara). Ini yang mau daftar silakan,” ucapnya sambil memperagakan.
4. Warga merasa kecewa sehingga tidak akan menerima apapun

Secara pribadi, Husaimi menyampaikan lebih baik tidak menerima sama sekali daripada harus menanggung malu. Hal ini menjadi bentuk kekecewaan warga.
“Di sini itu tanah para leluhur dan para pejuang kami. Kami gak pernah menolak pembangunan tersebut. Orang-orang berpikiran bodoh saja kalau mau menolak kampungnya maju. Kita minta itu ada suatu tempat yang memang bagi kami sangat sakral,” jelas Husmaini.
“Di mana itu tempat tembuni orangtua kami, tembuni kami, saudara kami dan lain-lain tertanam. Seperti yang dikatakan Pak Rudi (Wali Kota Batam), bisa diganti ratusan juta rupiah, tapi bagi kami tidak bisa dinilai dengan uang,” tambahnya.
Alasan inilah yang menguatkan tekad mereka untuk menolak adanya relokasi tersebut.
5. Warga juga sudah 2 bulan tidak bekerja

Diakui mereka, sudah 2 bulan lamanya mereka tidak bekerja. Hal itu akibat dampak dari rasa kekhawatiran akan penggusuran tersebut. "Ibaratnya, jaga kampung kita yang mau diambil maling. Kami siang malam begadang karena ini, tapi Insyallah ada saja rezeki itu,” katanya.
Mereka berharap besar kepada Pemerintah agar membatalkan relokasi di Pulau Rempang. Mereka ingin hidup seperti sedia kala. Sebelum ada rencana relokasi.
"Kami minta itu saja lah. Jangan sampai digusur. Jadi sebenarnya harus tahu akar budaya kami seperti apa. Meskipun kami tidak ada simbol lancang kuning di sini, tapi ada nyata di hati kami bahwa ini kenang-kenangan bagi banyak masyarakat di sini,” pungkasnya.
Sementara Rizal yang juga pemuda Pantai Melayu mengatakan, sepengetahuannya ada beberapa tahapan relokasi pada masyarakat Pulau Rempang. Namun fokusnya ada di Kelurahan Sembulang.
“Cuma kalau di sini tahap 4, difokuskan di Sembulang,” pungkasnya.