Perempuan Penenun Ulos dari Desa Meat Kini Lebih Berdaya dan Mendunia
Toba, IDN Times - Pria berladang, perempuan memintal benang. Itulah sepintas yang terlihat di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara.
Pagi itu, sinar matahari terasa hangat dan menyinari hamparan sawah yang masih hijau di Desa Meat. Beberapa laki-laki terlihat membetulkan benteng penahan air irigasi. Ada juga yang sibuk membetulkan orang-orangan sawah yang roboh dihantam angin.
Di satu rumah, dekat tanjakan menuju sawah, terlihat pintu terbuka lebar. Dari luar bisa terlihat dengan jelas seorang perempuan lincah memainkan tangannya di alat penenun ulos tradisional. Elida Boru Siahaan namanya.
Ia adalah satu dari seratusan perempuan dari desa yang terletak kurang lebih 250 kilometer dari Kota Medan yang menggantungkan penghasilan dari Martonun Ulos. "Dari umur 13 tahun sudah diajari mamak menenun. Sekarang sudah sekitar 20 tahun berarti aku menenun," ujar Elida yang ditemui IDN Times beberapa waktu lalu.
Memang banyak penenun di Desa Meat. Namun Elida khusus menenun Ulos Ragi Hotang. Yang sedang ditenunnya saat itu adalah Ragi Hotang Hela. Yakni ulos untuk hantaran pria kepada keluarga perempuan.
Ia mengaku secara turun temurun menenun ulos sudah menjadi pekerjaan dan mata pencaharian kaum hawa Desa Meat. Namun, dulu tak bisa menjadi mata pencaharian tunggal, karena hasilnya pas-pasan. Sesekali mereka harus ikut ke ladang membantu suami atau orangtua.
Desa Meat kemudian ditetapkan sebagai Desa Wisata pada 2017. Sejak saat itu, Meat mendapat perhatian dari wisatawan mancanegara. Beberapa Perusahaan, salah satunya PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menyalurkan pProgram Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) untuk Desa Meat. Di antaranya pelatihan menenun, pelatihan pemasaran digital, dukungan modal dan lain sebagainya.
Kini kian banyak perempuan yang menekuni pembuatan selendang khas Batak yang biasa dipakai dalam sejumlah acara adat. Ketika penghasilan dari berladang tak bisa terlalu diharapkan, hasil menjual ulos tenunan bisa menopang perekonomian keluarga. Bahkan ada hasil tenunan ulos dari Desa Meat berhasil menembus pasar mancanegara.
"Sejak tiga tahun terakhir memang pendapatan keluarga kami jauh meningkat dari sebelumnya. Kalau dulu satu lembar kain ulos cuma dihargai Rp200 ribu sampai Rp300 ribu, sekarang sekitar Rp500 ribu sampai Rp600 ribu diambil sama tauke atau agen," kata Elida.
Bahkan, karena hasil dari bertani tak begitu menjanjikan lagi, suami Elida terpaksa bekerja bersama kontraktor di luar Desa Meat. Berkat pendapatan yang menjanjikan dari menenun ulos, kini dalam seminggu, Elida bisa memproduksi tiga helai kain ulos Ragi Hotang. Dengan penghasilan sekitar Rp1,8 juta sepekan.
Menurutnya modal bertenun juga gak terlalu besar, untuk beli benang membuat ulos sekitar Rp100-Rp200 ribu. Kalau berladang modalnya sangat besar, bahkan harus meminjam pada tauke.
Sekarang, setiap pekan Elida membuat ulos dari hari Senin hingga Jumat pagi. Lalu Jumat siang hasil tenunan akan dijemput oleh agen atau tauke. Pada hari Minggu ia berbelanja benang lagi ke pasar.
Selain itu, jika ada wisatawan yang datang pada akhir pekan ia akan diminta untuk mengajari para wisatawan Martonun Ulos. Memang jumlahnya gak menentu, kadang sebulan ada satu atau dua. Tapi itu jadi pembuka jalan bagi Elida untuk bertemua langsung denganpembeli.
“Ada wisatawan yang setelah kita ajari, langsung memesan satu kain atau dua kain. Kalau kita jual langsung ke pemesan kan harganya lebih mahal daripada ke agen,” terang ibu dua anak yang ditemui di rumahnya ini.
Ia mengaku, wisatawan atau tauke sangat menyukai ulos tenunannya karena berkualitas tinggi dan warnanya tidak mudah pudar. Motif tenunannya juga merupakan warisan keluarga secara turun temurun dan sulit disamai oleh pembuat ulos lain khususnya yang dari luar Desa Meat.
Soal kualitas tenunan, secara mandiri Elida punya standar kualitas yang dijaga secara turun temurun dan setiap penenun ulos punya cara sendiri mempertahankan kualitas tenunannya.
Menurutnya dulu pernah ada pelatihan dari Dinas Koperasi dan UKM serta Dekranasda, diajarkan membuat tenunan berkualitas, jenis-jenis ulos yang mahal di pasaran dan benang apa yang digunakan agar tahan lama.
Selain itu, soal kualitas tenun agen juga memeriksa. Jika tenunannya rapi dihargai mahal oleh agen, sebaliknya jika kualitas tenunannya kurang bagus, gak rapi, dan pakai benang murah, tentu harganya murah.
“Jadi agen juga mantau kualitas dan menentukan harganya. Tapi sekarang sama-sama makan lah, gak (murah) seperti dulu dihargai murah,” ujar perempuan 33 tahun ini.
Ia tahu bahwa Ulos Ragi Hotang buatan tangannya dijual ke berbagai tempat, bahkan agen bilang ada yang sampai ke luar negeri. Namun ia tak tahu menahu kepada siapa dan kemana saja ulosnya dieskpor. “Kita kan beli putus,” ungkapnya.
Menurutnya dari Dinas Pariwisata dan UMKM di kabupaten Toba ada juga yang mempromosikan Ulos Ragi Hotang. Namun Elida hanya menjual kepada pihak agen saja, gak tahu kemana pengiriman ulos tersebut. Kedepan, Elida berniat akan mengajari putri tunggalnya untuk Martonun Ulos agar menjaga tradisi Ulos Ragi Hotang Desa Meat.
Evi Boru Simanjuntak, menjadi salah satu penenun di Desa Meat yang sudah menurunkan keahlian Martonun Ulos pada dua generasi: anak dan cucunya. Sejak zaman neneknya masih hidup, Evi sudah belajar menenun ulos. Namun bukan ulos ragi hotang, yang diproduksi oleh keluarga Evi adalah ulos untuk sarung dan selempang.
Sekarang cucunya yang paling sulung sudah berusia 20 tahun sudah bisa mengulos dan menjual hasil tenunannya sendiri.
“Saya diajarkan bertenun sama nenek dan itu yang ku ajarkan ke anak dan cucuku juga,” jelasnya nenek 76 tahun ini saat ditemui di rumahnya.
Menurutnya dalam satu pekan, ia bersama anak dan cucunya bisa membuat tiga pasang sarung dan selendang. Dengan harga jual pada agen mencapai Rp850 ribu per pasang. Harga seperti ini baru dua tahun terakhir saja terjadi.
Evi mengaku dulu harganya gak setinggi, namun dari informasi yang didapatnya, ulos Desa Wisata Meat memiliki kualitas bagus dan bisa mendongkrak untuk kesejahteraan warga Meat sehingga harganya merangkat naik di pasaran.
“Awalnya kami takut gak ada lagi yang beli, tapi ternyata permintaan dari agen jalan terus, ya kami senang,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, agen juga mulai sering memberikan permintaan khusus soal motif dan warna benang ulos. Bahkan terkadang ada agen yang datang langsung membawakan benang dan meminta motif khusus untuk ditenun.
Dari peningkatan hasil pendapatan ini, Evi dan anaknya kini lebih menggantungkan hidup dari menenun ulos. “Dari ladang sekarang gak gitu kali banyak hasilnya, paling berasnya untuk makan kami aja dan sebagian dijual,” jelas E boru Simbolon, menantu Evi.
Kini secara rutin anak beranak ini sibuk menenun di halaman rumah mereka. Sesekali meladeni wisatawan yang belajar Martonun Ulos. Bahkan putri sulungnya, seorang mahasiswi, kini sudah mahir menenun sejak kuliah online dari rumah.
“Kalau ada wisatawan yang belajar mengulos lumayan juga dapatnya, ada juga wisatawan yang langsung memesan dua ulos sarung dan selendang setelah belajar menenun,” jelasnya.
Peningkatan pendapatan para perempuan penenun ulos di Desa Meat saat ini memang sangat dirasakan Evi dan menantunya itu. Namun ia tetap berharap pemerintah memperbaiki dan meningkatkan fasilitas umum di sekitar Desa Wisata Meat. Seperti memperlebar jalan, memperbanyak penginapan dan kamar mandi untuk wisatawan serta fasilitas lain di pinggir Danau Toba.
Harapannya, semakin banyak wisatawan yang datang, pamor ulos Desa Meat makin naik pula.
Rendy Utomo, seorang wisatawan di Desa Meat mengaku sangat tertarik dengan kebudayaan Martonun Ulos di Desa Meat ini. Menurutnya yang masyarakat Meat lakukan menjadi pembeda dari desa-desa wisata lain di seputar Danau Toba.
Ia mengaku sempat terkejut saat pertama kali masuk Desa Meat melihat perempuan-perempuan menenun ulos di depan rumah. Ia jadi penasaran dan mampir untuk melihat. Iapun membeli ulos sarung untuk hadiah.
“Kalau di pasar Balige atau Tarutung harganya bisa lebih dari Rp1 jutaan, di sini kita bisa beli Rp800 ribu sarung dengan selendangnya,” jelas Rendy yang ditemui saat berkunjung ke Desa Meat.
Pria asal Kota Medan ini mengaku sudah beberapa kali mampir ke Desa Meat dan kerap merekomendasikan tempat ini kepada kolega-koleganya.
Ia pertama kali ke Meat pada tahun 2019 mengikut kegiatan 1000 Tenda. Karena dulu fasilitias penginapan di Desa Meat hanya bertenda saja.
“Sekarang udah ada home stay yang berbentuk rumah adat, fasilitas pendopo di pinggir danau juga sudah ada, jadi makin keren,” ungkapnya.
Teranyar, Ulos dari Desa Meat berhasil dipasarkan hingga ke Jamaika. Karya dari kelompok disabilitas Li-Uli Craft, yang berkolaborasi dengan Rumah BUMN Toba dan didukung oleh Inalum dipamerkan di Jamaika, Amerika Tengah pada 26-31 Mei 2024.
Senior Vice President TJSL/CSR Inalum, Daniel Hutauruk, menyatakan bahwa keberhasilan ini adalah bukti komitmen perusahaan dalam mendukung perkembangan produk budaya lokal untuk manfaat berkelanjutan bagi masyarakat. Inalum berupaya memperkenalkan produk dari Kawasan Danau Toba, mulai dari lokal hingga internasional, dengan melibatkan berbagai pihak dan pemangku kepentingan.
"Inalum terus berkomitmen untuk memperkenalkan wastra dari Toba hingga ke dunia internasional. Kami melakukan pendampingan dari awal kepada para penenun di Desa Meat, memberdayakan penyandang disabilitas yang tergabung dalam Yayasan Cahaya Bersama Rakyat di Rumah BUMN Inalum Toba. Serta mempromosikan Wastra Tenun Toba ke mancanegara melalui UMKM Mitra Binaan Li-Uli Craft," ujar Daniel beberapa waktu lalu.
Sebenarnya bukan kali ini saja Inalum menyalurkan TJSL untuk penenun ulos. Beberapa tahun silam Inalum juga pernah menyalurkan program TJSL pada penenun ulos di Desa Hutaraja, Kabupaten Samosir. Puluhan penenun digaet menjadi UKM Mitra Binaan Inalum.
Kini berbagai BUMN dan Kementerian sudah menyalurkan TJSL ke desa tersebut dan mengubahnya menjadi lebih maju. Kini desa tersebut dikenal menjadi Kampung Ulos Hutaraja Samosir.
Filosofi dan Makna Ulos Ragi Hotang
Ketua Desa Adat Meat, Guntur Sianipar bercerita Ulos Ragi Hotang khas buatan tangan perempuan Desa Meat sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sejak Raja Batak ada di Tanah Toba dan mengajarkan cara bertenun secara turun temurun hingga saat ini.
Ulos Ragi Hotang ini, kata Guntur, fungsinya dulu menjadi perantara untuk berdoa.
Guntur yang ditemui di halaman rumahnya bercerita Ragi Hotang asal usul artinya adalah hutan, hotang itu artinya rotan juga. Alat pemintal benangnya juga terbuat dari rotan. Bagi orang Batak ulos fungsinya sangat penting, biasanya untuk acara perkawinan.
Motif Ragi Hotang di ulos tergambar seperti ruas-ruas rotan. “Rotan ini kan fungsinya mengikat, itu lah simbolnya. Rotan ini kan ada airnya, sumber kehidupan,” jelasnya.
Ragi Hotang ini biasanya diberikan pihak laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan calon ibu mertuanya, sebagai tanda pengikat, penyatuan dua keluarga. Filosofinya sebagai pengikat.
Makna lain adalah tentang keteguhan dan kekuatan menjadi satu. Harus teguh dalam berumah tangga dan selalu bersama. Jadi dari filosofi dan maknanya inilah ulos Ragi Hotang selalu dianggap sakral dan penting untuk upacara adat pernikahan.
Itu juga sebabnya hingga saat ini Ulos Ragi Hotang selalu laku di pasaran meski sudah banyak pabrik tekstil yang memproduksi ulos dengan motif Ragi Hotang. Bahkan orang-orang Batak yang ada di luar Sumatera tetap mencari Ragi Hotang untuk pernikahan dan memesan dari Desa Meat.
“Yang paling banyak pesan berasal dari Kepri, Palembang, Jakarta, dan Jawa Barat. Langsung pesan dari sini,” tambah Guntur.
Selain Ulos Ragi Hotang, kata Guntur, yang lagi popular saat ini adalah ulos sarung dan selendang dari Desa Meat. Tak heran banyak juga perempuan Desa Meat yang menenun ulos sarung dan selendang.
Dari total 200 KK yang ada di Desa Wisata Meat saat ini, ada sekitar 60-70 persen atau 120-140 KK di antaranya memeroleh penghasilan dari bertenun ulos.
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba, pada tahun 2016 atau sebelum ditetapkan sebagai Desa Wisata, jumlah penenun ulos hanya 87 KK saja dan tahun 2020 sudah bertambah menjadi sekitar 120-140 KK.
Menurut ayah dua anak ini, sejak dijadikan Desa Wisata, harga ulos dari Desa Meat meningkat dan mendorong perekonomian warga di sini makin baik lagi. Selain itu banyak pihak yang membantu mempromosikan ulos buatan tangan perempuan Desa Meat, termasuk salah satunya adalah Dekranasda Kabupaten Toba.