Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Perdagangan Orangutan, Hukuman Berat Bisa Menjadi Efek Jera

-
Direktur Konservasi YOSL-OIC Muhammad Indra Kurnia. (Dok: VoF)
Intinya sih...
  • Rantai perdagangan orangutan berlapis, dari perburuan hingga pasar internasional
  • Hukuman ringan tidak memberi efek jera, pengendali jaringan sulit ditindak
  • Medan sebagai simpul transit utama, indikasi perdagangan hingga ke Thailand
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Perdagangan orangutan sumatra (Pongo abelii) masih menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa yang hanya hidup di Sumatera ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Tamiang tercatat sebagai kantong perburuan, sementara Kota Medan kerap muncul sebagai simpul transit sekaligus pasar gelap satwa terancam punah ini.

Meski vonis terhadap pelaku sudah dijatuhkan, hukuman yang ringan dinilai tidak cukup memberi efek jera.

“Perdagangan orangutan ini bukan sekadar soal satwa, tapi soal keberlanjutan ekosistem Leuser. Setiap satu individu orangutan hilang, maka ekosistem yang lebih luas ikut terancam,” kata Muhammad Indra Kurnia, Direktur Konservasi Yayasan Orangutan Sumatera Lestari- Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Sabtu (23/8/2025).

1. Mengurai rantai perdagangan yang berlapis

Para pelaku perdagangan orangutan sumatra yang berhasil ditangkap oleh Polda Sumut, Kamis (29/4/2022). (Dok.Istimewa)
Para pelaku perdagangan orangutan sumatra yang berhasil ditangkap oleh Polda Sumut, Kamis (29/4/2022). (Dok.Istimewa)

Perburuan anak orangutan di Aceh kerap terjadi ketika konflik manusia-satwa liar pecah di perkebunan atau ladang masyarakat. Selain perburuan yang juga masif. Anak yang dipisahkan dari induknya biasanya dibawa melalui jalur darat menuju Medan. Dari sini, sebagian ditawarkan melalui jejaring perantara, bahkan ada indikasi diselundupkan ke luar negeri, khususnya Thailand.

Rantai perdagangan ini tidak sederhana. Ada pemburu lokal, pengumpul, kurir, perantara, hingga pengendali yang mengatur distribusi. Kasus yang disidangkan di PN Medan (Januari 2024) memperlihatkan pola itu: dua bayi orangutan dari Aceh dibawa ke Medan, dengan terdakwa utama dituntut 3 tahun penjara, sementara kurir 2 tahun penjara.

2. Hukuman ringan tidak membuat efek jera bagi pelaku

Orangutan Sumatra betina berbagi makanan dengan anaknya. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Orangutan Sumatra betina berbagi makanan dengan anaknya. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sejumlah kasus di Medan dan Deli Serdang memperlihatkan vonis yang cenderung ringan. Misalnya, PN Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli (2022) hanya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara, sementara kasus lain di kawasan sama bahkan berujung 8 bulan penjara.

Vonis rendah ini bertolak belakang dengan ancaman pidana dalam UU No. 5/1990 yang mencapai 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun peluang hukuman yang tinggi ada sejak berlakunya Undang-undang nomor 32 Tahun 2024 pada Agustus 2024 lalu. Penegak hukum bisa menuntut para pelaku dengan hukuman penjara hingga belasan tahun dan denda miliaran rupiah. Termasuk pidana tambahan seperti pencabutan izin usaha, pembekuan rekening, dan biaya rehabilitasi satwa.

“Hukuman ringan membuat pelaku merasa masih bisa bermain. Padahal, yang paling diuntungkan dalam jaringan ini adalah aktor pengendali, bukan kurir di lapangan. Itu yang seharusnya diprioritaskan untuk ditindak,” ungkap Indra.

Banyak kasus hanya menjerat pemburu atau kurir, sementara pengendali jaringan atau pembeli besar jarang tersentuh. Perlu adanya peningkatan upaya penyidikan berlapis menggunakan controlled delivery untuk mengidentifikasi dan menangkap pengendali. Koordinasi antara otoritas kehutanan dan konservasi perlu diperkuat. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Kehutanan penting membangun sinergi dengan aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman, bahkan instansi terkait lainnya seperti Bea Cukai dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membangun profil jaringan dari hulu hingga hilir.

3. Jaringan Lintas Daerah hingga Indikasi ke Thailand

Sapto, Orangutan Sumatera berusia 2 tahun yang disita dari tangan oknum pejabat di Aceh pada Januari 2019 lalu.  (IDN Times/Prayugo Utomo)
Sapto, Orangutan Sumatera berusia 2 tahun yang disita dari tangan oknum pejabat di Aceh pada Januari 2019 lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Medan bukan hanya pasar, tapi juga simpul transit utama. Dari kota ini, bayi orangutan bisa berpindah tangan hingga ke pasar internasional. Ada indikasi kuat bahwa beberapa bayi orangutan yang disita di Aceh Tamiang berakhir di Thailand.

YOSL-OIC mencatat, antara 2022-2024, ada puluhan kasus perdagangan satwa liar di Aceh-Sumut dengan puluhan tersangka. Fakta ini menegaskan bahwa pasar orangutan aktif, bukan insidental. Karena itu, kerja sama lintas negara dengan Interpol, ASEAN-WEN, hingga otoritas Thailand sangat penting untuk memutus rantai perdagangan.

“Kalau hanya menghentikan pemburu, masalah ini tidak akan selesai. Kita harus berani masuk ke jaringan besar dan menyentuh pasar tujuan,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us