Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Banjir Bandang Batang Toru Jadi Alarm Serius Evaluasi Tata Ruang Sumut

-
Warga memindahkan barang dari rumah yang terdampak banjir di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Intinya sih...
  • Perubahan lansekap pascabencana picu ancaman baru bagi ekosistem
  • Pendekatan berbasis data dinilai jadi kunci menekan risiko berulang
  • POKJA Batang Toru dan revisi tata ruang dinilai mendesak
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Banjir bandang dan longsor yang melanda kawasan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, tak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga membuka risiko baru bagi keanekaragaman hayati dan keselamatan masyarakat.

Perubahan lansekap pascabencana ini menjadi peringatan bahwa pengelolaan Ekosistem Batang Toru membutuhkan respons kebijakan yang lebih cepat, terkoordinasi, dan berbasis data agar risiko ekologis dan sosial tidak terus berulang.

1. Perubahan lansekap pascabencana picu ancaman baru bagi ekosistem

WhatsApp Image 2025-12-22 at 6.44.30 PM (2).jpeg
Potret udara Desa Hutanobolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah pasca dihantam banjir bandang, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Konservasi Indonesia (KI) menilai, tekanan terhadap Ekosistem Batang Toru berpotensi meningkat apabila upaya pemulihan dilakukan secara terpisah-pisah. Menurut KI, pemulihan kawasan harus dijalankan secara terintegrasi melalui kajian ilmiah, evaluasi perizinan, penataan ruang yang adaptif, serta restorasi ekosistem yang saling terhubung.

Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, menegaskan bahwa bencana di Batang Toru memperlihatkan hubungan erat antara perlindungan lingkungan dan keselamatan manusia.

“Peristiwa bencana di Batang Toru mengingatkan kita bahwa kerja konservasi tidak bisa dipisahkan dari upaya keberlanjutan salah satunya untuk keselamatan manusia. Perlindungan ekosistem, penataan ruang yang adaptif, pencegahan dan pengelolaan risiko bencana harus berjalan bersama agar pembangunan benar-benar berkelanjutan,” kata Meizani, dalam keterangan resmi KI, Senin (22/12/2025).

Perubahan fisik kawasan pascabencana dinilai berpotensi meningkatkan fragmentasi habitat, mengubah alur sungai, hingga membuka akses aktivitas manusia ke wilayah yang semakin rentan.

2. Pendekatan berbasis data dinilai jadi kunci menekan risiko berulang

WhatsApp Image 2025-12-22 at 6.45.07 PM.jpeg
Kondisi rumah warga pasca banjir menghantam Desa Hutanobolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

KI menekankan bahwa perencanaan ruang dan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lagi mengandalkan asumsi. Pendekatan berbasis data dinilai krusial untuk memahami perubahan tutupan lahan dan risiko ekologis pascabencana.

Sumatra Policy Manager Konservasi Indonesia, Dedy Iskandar, menyebut isu-isu yang berkembang di masyarakat, termasuk temuan kayu di desa terdampak, perlu dijawab secara objektif.

“Isu yang berkembang di masyarakat tidak bisa dijawab dengan asumsi. Diperlukan analisis yang komprehensif agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam mengambil langkah perbaikan,” kata Dedy.

Ia menilai kajian spasial pascabencana menjadi fondasi penting, namun tidak cukup jika hanya berhenti pada peta. “Diperlukan kajian yang lebih menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang agar penataan ruang ke depan benar-benar menyesuaikan dengan kondisi ekologis terbaru,” ujarnya.

3. POKJA Batang Toru dan revisi tata ruang dinilai mendesak

WhatsApp Image 2025-12-22 at 6.44.30 PM.jpeg
Warga membawa hasil pertanian melintasi Desa Hutanobolon pasca banjir menghantam kawasan itu, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dalam konteks pemulihan, KI melihat Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (POKJA EBT) memiliki peran strategis untuk menyatukan langkah lintas sektor. Menurut Dedy, dinamika pascabencana menuntut kerja kolaboratif agar berbagai program berjalan searah.

“POKJA menjadi ruang penting untuk menyatukan langkah. Situasi pascabencana menunjukkan bahwa Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru perlu segera didorong sebagai rujukan bersama, agar berbagai upaya pemulihan, penataan ruang, dan perlindungan kawasan bergerak dalam satu arah,” imbuhnya.

Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia, Doni Latuparisa, menambahkan bahwa keberhasilan perlindungan ekosistem juga sangat bergantung pada kondisi desa-desa di sekitar kawasan.

“Pengelolaan ekosistem Batang Toru tidak bisa dilepaskan dari kondisi desa-desa di sekitarnya. Ketika wilayah pinggiran mengalami kerusakan dan tidak tertangani dengan baik, upaya pelestarian di tingkat ekosistem juga akan berjalan lebih lambat karena tekanan terhadap kawasan inti terus meningkat,” kata Doni.

Ia menekankan pentingnya pembaruan data ekologis, hidrologis, kebencanaan, dan sosial sebagai dasar penataan ruang pascabencana.

“Penataan ruang membutuhkan basis data yang lengkap dan diperbarui. Ketika data ekologis, hidrologis, kebencanaan, dan sosial dikumpulkan dan dibaca bersama, pemerintah akan memiliki pijakan yang lebih kuat untuk menyusun rencana tata ruang yang mumpuni,” jelas Doni.

Secara ekologis, KI menilai keutuhan kawasan Batang Toru dengan luas sekitar 240.000 hektare menjadi syarat minimum agar fungsi ekosistem tetap berjalan optimal. Analisis KI juga mencatat, dalam lima tahun terakhir terjadi pembukaan lahan sedikitnya 10.000 hektare, dengan lebih dari 73 persen berada di wilayah hulu di atas 700 mdpl.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Bapemperda dan Pansus DPRD Medan Sepakat Tunda Pengesahan Perda KTR

22 Des 2025, 19:20 WIBNews