Pakar Hukum Tata Negara Pertanyakan Alur Proses Penyusunan Raperda KTR

Medan, IDN Times – Pakar hukum tata negara Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Mirza Nasution mempertanyakan alur penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) Kota Medan. Dalam pembuatan perubahan Raperda, Mirza menekankan pentingnya memastikan proses penyusunan sesuai alur dan mengedepankan transparansi.
Mirza Nasution memaparkan sebelum proses pembahasan pasal-pasal Raperda, DPRD Kota Medan harus memastikan terlebih dahulu penyusunan dimulai dengan rampungnya Naskah Akademik (NA).
“Tujuan keberadaan NA ini untuk melihat kelebihan, kekurangan, dan realita yang dibutuhkan untuk dituangkan dalam Perda nantinya. NA ini adalah alat agar regulasi atau kebijakan yang dilahirkan tidak bersifat wacana dan tidak berdasarkan keinginan sekelompok orang. Secara filosofis dan sosiologis, NA harus mampu menjawab apa yang menjadi problem. Selanjutnya, siapa yang terlibat dalam naskah akademik itu juga harus disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, perlu dipastikan juga kompeten dan bidangnya sesuai,” papar Mirza, saat dihubungi pekan lalu.
1. Penting keterlibatan atau partisipasi publik

Setelah NA rampung, sebut Mirza, disusunlah substansi pasal-pasal dalam Raperda. Dalam pembahasan substansi Raperda ini, Mirza menekankan pentingnya keterlibatan atau partisipasi publik.
“Selama ini dalam pembuatan Perda ataupun kebijakan, kesannya elitis, tidak melibatkan masyarakat. Begitu juga dengan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang partisipasi publiknya kurang. RDPU harus dilakukan dengan benar dan mewakili semua stakeholder. Namun, yang sering menjadi pertanyaan, apakah RDPU sudah dilakukan dengan benar? Ini yang sering menjadi polemik,” tegas Mirza.
2. Jika tidak dilibatkan, maka masyarakat yang menanggung risikonya

Sebagai wakil rakyat yang membuat kebijakan, Mirza meminta DPRD Kota Medan harus benar-benar dapat merepresentasikan rakyatnya. Jika tidak dapat melibatkan dan mengakomodir aspirasi berbagai unsur masyarakat dan stakeholder, akan timbul efek yang tidak baik ke depan.
“User-nya dari Perda KTR ini nantinya kan adalah masyarakat. Kalau tidak berdasarkan dari aspirasi dan masukan masyarakat, maka yang menanggung risiko kan masyarakat juga. Kemudian, hasil dari pembahasan (Raperda) setiap tahapan, sebaiknya dilempar ke publik sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik. Eksekutif dan legislatif perlu masukan. Kalau ada pro kontra itu wajar dan memang harus ada, harus ada diskursus,” ujar Direktur Eksekutif Akasa Law Studies ini.
3. Raperda KTR bukan hanya soal kesehatan

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN) Indonesia periode 2021-2025 ini menilai ketika tidak ada pro dan kontra, menandakan Raperda itu hanya mengakomodir kepentingan sekelompok atau segelintir orang saja.
“Yang perlu kita sadari, Raperda KTR ini bukan hanya soal kesehatan. Banyak ekosistem yang terkait di dalamnya dan semua stakeholder itu yang harus dilibatkan. Pelaku usaha, komunitas dan banyak lagi yang harus terlibat. Semakin banyak stakeholder yang dilibatkan makin baik, karena pada akhirnya Perda ini untuk kepentingan bersama. Ini langkah-langkah yang harus dipedomani. Sayangnya, kebanyakan pemerintah sekarang tidak melakukan tahapan ini. Sehingga masyarakat akhirnya sering terkejut atau syok mengetahui dampak ketika Perda itu lahir,” tambahnya.