Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kemenag: Negara Tak Punya Hak Menilai Agama Benar atau Salah

Keragaman sosial-budaya masyarakat Indonesia (homecare24.id)

Banda Aceh, IDN Times - Moderasi beragama masih jadi isu penting di Indonesia, terutama buat menjaga keberagaman, toleransi, dan perdamaian di tengah masyarakat multikultural. Di era Menteri Agama, Nasaruddin Umar, istilah moderasi beragama diganti jadi beragama maslahat.

Hal ini disampaikan langsung oleh Muhammad Syafaat dari Subdirektorat Bina Paham Keagamaan Islam Kemenag dalam acara Webinar Media Gathering, Jumat (25/4/2025).

“Beragama maslahat ini jadi jilid kedua dari moderasi beragama. Fokusnya bukan cuma pada relasi antarumat beragama atau dengan pemerintah, tapi juga ke isu-isu seperti agama dan lingkungan serta agama dan kemanusiaan,” kata Syafaat.

1. Kemenag: Gak Punya Hak Tentukan Mana Agama yang Benar atau Salah

Keragaman Bangsa Indonesia Bineka Tunggal Ika (IDN Times/Agustiar)

Syafaat menegaskan bahwa Kemenag tidak punya standar untuk menilai hingga menafsirkan agama tertentu benar sedangkan yang lain salah.

"Agama lain dianggap sejalan dengan negara, agama yang lain tidak, itu negara tidak memiliki hak itu," ujarnya.

Makanya, ia mengimbau media supaya gak gampang pakai istilah seperti “sesat” atau “menyimpang” dalam pemberitaan tentang keyakinan masyarakat.

Syafaat menyontohkan kejadian di Pandeglang, Banten, di mana 15 warga viral karena praktik mandi bareng yang langsung dicap sesat.

“Padahal mereka tetap salat lima waktu, puasa, hanya ada perbedaan dalam cara bersuci. Media harus cek fakta dulu sebelum menstempel ajaran,” katanya.

Ia juga menyarankan media untuk berpatokan pada KMA Nomor 332 Tahun 2023 tentang sistem deteksi dini konflik sosial keagamaan.

2. Media Punya Peran Besar dalam Meredam Konflik

Ilustrasi pemerintah melakukan siaran dan klarifikasi (pexels.com\Yunus Erdogdu)

Alvin Nur Choironi, salah satu penyusun Panduan Peliputan Media Toleransi, menekankan pentingnya peran media dalam menjaga kerukunan dan mencegah konflik makin besar.

“Media jangan asal ambil info dari akun medsos gak jelas. Justru harus gali langsung ke lapangan, konfirmasi ke korban, pelaku, dan saksi,” katanya.

Alvin juga mengingatkan wartawan untuk hindari 6 kesalahan umum, seperti bikin judul provokatif, melibatkan stereotip, atau nyampurin tafsir agama pribadi dalam berita.

3. Aktivis: Masih Ada Jarak antara Kebijakan dan Realita

Ilustrasi keberagaman by IMR 2022

Aktivis inklusi sosial Abi Setio Nugroho bilang bahwa meski sudah ada Perpres No. 58 Tahun 2023 tentang Moderasi Beragama, kenyataannya masih banyak pelanggaran kebebasan beragama.

“Kasus GKI Yasmin, Ahmadiyah di Kuningan, Lombok, dan lainnya nunjukin negara belum maksimal dalam melindungi hak beragama,” ujarnya.

Abi menyoroti pentingnya peran media dan masyarakat sipil dalam memproduksi narasi tandingan yang penuh toleransi. Ia juga mengajak media untuk memperkuat kapasitas jurnalis lewat pelatihan peliputan sensitif berbasis HAM dan keberagaman.

4. Harapan ke Depan: Media, Yuk Kolaborasi!

Ilustrasi keberagamaan beragama (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Menurut Abi, sudah saatnya media dan masyarakat sipil bikin koalisi dan platform kolaboratif untuk membangun narasi inklusif yang mencakup semua golongan.

“Bikin panduan liputan sensitif, revisi kebijakan penyiaran, dan dorong pemda supaya punya SOP menangani intoleransi,” jelasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
Muhammad Saifullah
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us