Catatan Walhi: Penegakan Hukum Lingkungan Masih Memihak Mafia Ekologis

- Walhi Sumut mendesak pemerintah untuk melakukan audit terhadap perizinan deforestasi yang menyebabkan kehancuran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Harangan Tapanuli.
- Penegakan hukum lingkungan dinilai masih memihak mafia ekologis, dengan penegakan hukum yang hanya menyasar warga pekerja dan tidak pelaku utama.
- Walhi Sumut meminta Presiden segera menetapkan status bencana nasional agar proses penanganan darurat, pemulihan pasca bencana, dan mitigasi di masa depan dapat dilakukan melalui seluruh kekuatan finansial negara.
Medan, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menerbitkan catatan akhir tahun khusus menyoal bencana ekologis Sumatra. Mereka menilai bahwa banjir yang melanda daerah Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah, bukan semata karena curah hujan yang tinggi, alih-alih pembalakan liar yang masif terjadi.
Bukan hanya itu, Walhi turut mendesak agar pemerintah mengusut mafia-mafia ekologis yang berada di tubuh pemerintah. Melihat situasi terkini, Walhi juga meminta agar presiden RI, Prabowo Subianto, agar segera menetapkan status bencana nasional.
1. Walhi Sumut: sudah saatnya pemerintah melakukan audit terhadap perizinan deforestasi

Berdasarkan catatan Walhi, kehancuran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Harangan Tapanuli disebabkan mandulnya penegakan hukum terhadap aktivitas pengerusakan hutan. Pembiaran deforestasi baik secara legal maupun ilegal terjadi secara terang-terangan.
"Sudah saatnya pemerintah melakukan audit yang serius dan menyeluruh terhadap perizinan-perizinan yang mereka terbitkan. Evaluasi dan cabut perizinan yang sudah terbit tersebut, harus dilihat praktik pelanggaran dan deforestasi yang sudah dilakukan. Jadi secara administrasi dan pidana lingkungan hidup harus dilakukan secara menyeluruh dan terbuka. Masing-masing kementerian harus juga koordinasi. Misalnya, Kementerian ESDM, Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jangan kemudian, hari ini punya persepsi yang berbeda dan punya langkah masing-masing. Deforestasi ini adalah akibat perizinan dari kementerian ini," kata Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Selasa (23/12/2025).
Bagi mereka, apa yang terjadi adalah bencana ekologis yang direncanakan melalui kebijakan pemerintah yang salah. Ekosistem Batang Toru, Harangan Tapanuli, hingga Leuser, disebut Rianda adalah wilayah yang tidak bisa lagi dijadikan objek alih fungsi dan perluasan untuk perkebunan atau investasi lainnya.
"Karena ini merupakan wilayah hutan terakhir di Sumut yang menyangga. Ia punya fungsi tata guna air. Kemudian satwa liar dilindungi seperti orangutan, harimau Sumatera, itu juga hidup di situ. Jadi, tidak ada lagi ruang bagi hutan terakhir Sumatra Utara yang masuk dalam gugusan Bukit Barisan karena dieksploitasi. Ini harus dihentikan aktivitasnya. Karena, aktivitas deforestasi yang dilakukan secara terencana itu menyebabkan tutupan pohon hilang," lanjut Rianda.
2. Penegakan hukum lingkungan masih memihak mafia ekologis

Bagi Walhi Sumut, deforestasi yang menyebabkan tutupan pohon hilang, membuat air hujan langsung menyentuh permukaan tanah. Kemudian run off dan kayu-kayu sisa penebangan membentuk bendungan-bendungan alami. Lalu bendungan alami tersebut, ketika kapasitas airnya semakin tinggi diameternya dan kubiknya semakin banyak, terpecah dan terjadilah banjir hingga longsoran-longsoran di banyak tempat.
"Pembukaan lahan alih fungsi dan deforestasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir itu mempercepat run off dan mempercepat terjadinya bandang tersebut. Lahan yang dideforestasi itu sekitar 10.500 hektar di wilayah ekosistem Batang Toru saja. Belum lagi misalnya di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser yang sudah lama dialihfungsikan," ungkap Rianda.
Berdasarkan catatan mereka, ada 7 perusahaan terlibat praktik perluasan perizinan, eksploitasi tambang, dan praktik-praktik alih fungsi lahan menjadi tanaman-tanaman industri, seperti lahan untuk pembukaan kayu hingga praktik perkebunan kayu rakyat.
"Ada juga praktik investasi Pembangkit Listrik Tenaga Air yang langsung di badan sungai, seperti PLTA Batang Toru, ada geothermal yang juga berkontribusi besar terhadap beberapa banjir ini," sebut Rianda.
Mereka menilai penegakan hukum tidak tegas dilakukan. Lagi-lagi, penegakan hukum disebut Rianda hanya menyasar warga yang menjadi pekerja, tidak menyasar pelaku utama.
"Misalnya, pelaku logging baik yang legal ataupun yang ilegal. Yang ditangkap hanya untuk pekerja tambang saja. Tapi oknum pelaku utama, pemilik, pengusaha, dan jejaring dari praktik tersebut, tidak pernah diusut tuntas. Jadi penyegelan kemudian penghentian sementara itu hanya normatif dan formalitas belaka, tanpa ada praktik lanjutan yang jelas dan menyasar oknum pelaku utama," klaimnya.
3. Walhi Sumut minta Presiden segera menetapkan status bencana nasional

WALHI Sumut meminta Presiden segera menetapkan status bencana nasional. Agar proses penanganan darurat dalam respon bencana, pemulihan pasca bencana, dan mitigasi di masa depan, bisa dilakukan melalui seluruh kekuatan finansial negara.
"Ini penting bagi hak-hak penyintas banjir atau bencana ekologis dapat dipenuhi. Kemarin kita lihat di lapangan langsung bagaimana penyediaan fasilitas hunian sementara masih terbatas begitu juga dalam hal penyediaan air bersih," jelas Direktur Eksekutif WALHI Sumut.
Selain itu mereka meminta pemerintah terus memberikan bantuan logistik, obat-obatan serta kebutuhan pemukiman, pemenuhan hak anak, serta perbaikan seluruh infrastruktur akses jalan. Termasuk bagaimana sekolah darurat untuk anak-anak didirikan sementara.
"Kami menuntut Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri ATR/BPN, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara meminta maaf ke publik karena ketidakmampuannya mengatasi deforestasi dan segera mengeluarkan kebijakan konkret untuk mengatasi masalah ini," pungkasnya.


















