Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Aktivis Kamisan Medan Kritik Sistem Peradilan Militer

IMG_20250731_174909.jpg
Aksi Kamisan di Kota Medan kritik peradilan militer (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Intinya sih...
  • Aktivis Kamisan Medan kritik kekerasan militer di berbagai tempat di Sumut, mengecam sistem peradilan militer yang dianggap tidak memberikan keadilan.
  • Tuntutan 18 bulan penjara terhadap 2 anggota TNI pelaku pembunuhan remaja dinilai sangat rendah, keluarga korban meminta hukuman berat sesuai UU Perlindungan Anak.
  • Massa aksi juga kritik Pengadilan Militer Medan yang dianggap tidak objektif dan sulit diakses oleh masyarakat sipil, menuntut reformasi peradilan militer dan revisi UU Peradilan Militer.

Medan, IDN Times - Gelombang kritik terhadap sistem peradilan militer hari ini diangkat menjadi tajuk esensial Aksi Kamisan. Belasan aktivis dengan poster-poster dan payung hitam khasnya, khusyuk berdiri sembari menyampaikan sejumlah unek-unek mereka.

Salah satu yang menarik atensi adalah peristiwa penembakan anggota TNI terhadap seorang remaja di bawah umur. Bagi massa aksi, terdapat bias tuntutan hukuman yang dialamatkan kepada 2 pelaku anggota TNI tersebut. Mereka menilai tuntutan 18 bulan penjara sangat sedikit, mengingat kasus penembakan itu menyebabkan remaja berinisial MAF meninggal dunia.

1. Massa aksi kritik kekerasan yang dilakukan militer di Sibiru-biru, Serdang Bedagai, hingga Karo

IMG-20250731-WA0006.jpg
Peserta Aksi Kamisan bentangkan poster-poster protes (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Richad selaku aktivis Kamisan dari LBH Medan menyampaikan keresehan massa aksi. Mereka mengaku kecewa dengan sistem peradilan militer.

"Aksi hari ini tentang keresahan teman-teman dari berbagai kalangan dan organisasi yang tergabung dalam Aksi Kamisan. Kami menyuarakan tentang isu peradilan militer yang saat ini justru tak memberikan peradilan. Hanya istilah 'adilnya' saja di dalam kata 'peradilan militer'. Sementara dalam prosesnya justru hilang esensi adil itu," aku Richad kepada awak media, Kamis (31/7/2025) sore.

Banyak kasus yang dipersoalkan belasan aktivis ini. Salah satunya ialah kasus kekerasan di sejumlah tempat yang ada di Sumut.

"Hari ini kita angkat beberapa kasus juga, di antaranya kasus yang menimpa remaja berinisial MAF dari Adolina, kekerasan Sibiru-biru, ada juga kekerasan terhadap MAS, bahkan kekerasan terhadap Rico Sempurna Pasaribu selaku jurnalis yang dibunuh hanya karena dia bersuara," lanjutnya.

2. Tuntutan 18 bulan penjara terhadap 2 TNI yang bunuh remaja dinilai sangat rendah

IMG-20250731-WA0002.jpg
Peserta Aksi Kamisan saat melakukan orasi (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Terhadap kasus remaja yang ditembak 2 TNI, Richad mengatakan bahwa sampai saat ini keluarga korban tetap menyuarakan keadilan. Mereka meminta Pengadilan Militer I-02 Medan bisa memberikan hukuman berat pada sidang vonis nanti.

"Pada kasus MAF, mereka (terdakwa) dituntut 1 tahun 6 bulan penjara. Yang perlu digarisbawahi adalah pelaku ini melakukan pembunuhan dan korbannya merupakan seorang anak di bawah umur. Konteks di UU Perlindungan Anak, hukuman yang paling besar yang dikenakan pelaku seharusnya 15 tahun," beber aktivis dari LBH Medan itu.

Baginya, tuntutan 1 tahun 6 bulan penjara yang dialamatkan anggota TNI pelaku pembunuhan sangat jomplang. Terlebih tuntutan oditur justru tentang pasal kelalaian, bukan UU perlindungan anak.

"Sebagaimana dituangkan dalam UU perlindungan anak, itu sepatutnya adalah 15 tahun penjara juga. Karena ini pembunuhan sampai menghilangkan nyawa seseorang," ungkap Richad.

3. Massa aksi juga kritik Pengadilan Militer Medan

IMG_20250731_174909.jpg
Aksi Kamisan di Kota Medan kritik peradilan militer (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Selain itu, massa aksi juga menyoroti sistem peradilan militer dalam penerimaan tamu. Bagi mereka, peradilan militer yang terbuka untuk umum seharusnya bisa diakses secara bebas.

"Namun nyatanya kita tak dapat mengakses dalam peradilan itu. Sehingga ini yang jadi kerisauan kami. Bagaimana bisa objektif, hakimnya saja militer, oditur juga militer, kuasa hukum militer, dan terdakwanya militer. Bagaimana objektivitas dari peradilan itu? Tak ada pantauan dari masyarakat sipil. Ketika sipil memantau justru dilarang dan dibatasi. Padahal kan terbuka untuk umum," kritik Richad.

Fenomena itulah yang membuat Richad dan teman-teman aktivis menyampaikan sejumlah tuntutan. Terutama yang paling mereka soroti ialah reformasi peradilan militer.

"Kita minta revisi UU Peradilan Militer. Seharusnya itu militer dihukum dengan pelanggaran sipil agar diawasi masyarakat sipil. Namun nyatanya saat ini koneksitasnya di peradilan militer. Padahal pelanggaran yang dilakukannya adalah pelanggaran ranah sipil," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us