‘Tidak Ada’ Natal di Hutanobolon

- Banjir bandang menghancurkan gereja di Hutanobolon, Sumatra Utara
- Warga kehilangan rumah dan tradisi meriah Natal
- Gereja HKBP Tukka akan gelar perayaan Natal sederhana
Natal biasanya meriah
Anak-anak memakai baju baru
Rumah – rumah warga pun berhias
Namun semuanya habis sudah
Dimakan lumpur dan kayu yang menghantam hari itu
Hutanobolon, Tapanuli tengah, 19 Desember 2025
Lumpur setebal hingga 150 cm mengendap di dalam Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Hutanobolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Di dalam ruang utama gereja, bangku jemaat terdorong ke arah pintu utama. Menjadi bukti bagaimana air begitu derasnya saat banjir bandang menerjang perkampungan itu pada Selasa (25/12/2025).
Pintu – pintu gereja jebol. Begitu juga jendela gereja. Di pintu sisi kanan gereja, terdapat satu umbul-umbul berwarna merah. “Merry Christmas and Happy New Year,” begitu tulisan yang tersemat. Meski tidak ada keterangan yang menjelaskan tahun.
Umbul – umbul itu selamat dari banjir. Karena letaknya di bagian atas pintu masuk. Di sekeliling gereja, hanya kayu gelondongan yang tersisa. Pagar yang berada tepat di samping gereja juga hilang. Jalan yang tadinya ada di samping gereja, berubah menjadi aliran air.
Pemukiman di sekitar gereja pun habis sudah. Hanya menyisakan puing bahkan ada yang tinggal pondasi.
Sudah memasuki pekan keempat warga di Hutanobolon menjadi penyintas banjir. Mereka hidup di pengungsian. Berjuang hari ke hari untuk menyambung hidup dari logistik, bantuan dari para dermawan.
Asa Telaumbanua yang tengah menunggu bantuan, menunjuk ke arah gereja. Dia bilang, tidak ada lagi yang bisa merayakan natal. Dia sedih melihat kondisi gereja yang menjadi tempatnya beribadah setiap pekan, kondisinya rusak dihantam bahala.
“Di manalah nanti merayakan natal. Belum ada diumumkan di mana ibadahnya,” ujar laki-laki beretnis Nias itu sambil memegang bungkusan berisi logistik pangan, Jumat (19/12/2025).
Meriahnya Natal, baju baru hingga berbagi makanan

Asa pun mengenang, bagaimana kemeriahan Natal, pada tahun-tahun sebelum bencana. Biasanya, mereka sekeluarga sudah pergi ke gereja pada pagi hari saat Natal. Memanjatkan doa dan pujian kepada Sang Pencipta.
Kata dia acara di gereja selalu ditunggu anak-anak. Karena ada pembagian makanan ringan kepada anak-anak.
“Nanti untuk lansia, dikasih sembako dan uang. Untuk anak-anak dibagikan jajan – jajanan. Sekarang sudah tidak bisa. Sudah berlumpur,” kata Telaumbanua.

Dia pun mengatakan, sudah banyak warga yang pergi dari desa. Meninggalkan sementara perkampungan untuk menenangkan diri.
“Ada yang ke Medan, ke Batam. Ada yang ke Jakarta,” katanya.
Keponakan Telaumbanua, Hesty Damara Laoly pun merasakan kesedihan mendalam. Bagi perempuan 23 tahun ini, Natal merupakan hari yang istimewa.
“Biasa kami sudah beli baju baru. Ini tidak beli,” katanya.
Rindu makan bersama, tidak bisa bersilaturahmi ke tetangga

Keistimewaan Natal bagi Poltak Tambunan (65) juga hanya kenangan. Laki-laki empat anak ini biasanya punya kebiasaan berdoa bersama keluarganya di rumah. Anak-anaknya yang berada di perantauan akan pulang dan merayakan Natal bersama di Hutanobolon.
“Biasa tanggal 2 Desember sudah mulai rangkaian acara Natalan. Sudah ramai di sini,” katanya.
Laki-laki yang mengaku sebagai generasi ke delapan di kampung itu juga biasa merayakan natal dengan bersilaturahmi ke jiran tetangga.
Sebelum banjir, kata Poltak, perkumpulan marga Tambunan sudah mengumpulkan uang. Nantinya uang itu digunakan untuk merayakan natal. Mereka akan beribadah di gereja dan melanjutkannya dengan makan bersama perkumpulan marga.
“Tahun ini belum tahu bagaimana merayakan Natal. Mungkin hanya berdoa saja,” imbuhnya.

Poltak mengetahui betul sejarah kampung tempat dia lahir hingga menua. Bahkan dia tahu asal – usul nama kampung itu.
Hau na Bolon atau Kayu yang Besar. Ini awal mula kampung Hutanabolon ketika para pembuka kampung menempati kawasan itu.
Dulunya, lanjut Poltak, nenek moyang mereka tinggal di atas bukit – bukit yang ada di sekeliling kampung. Di dalam bukit itu ada sebuah pohon besar, tempat para warga beristirahat. Marga yang menjadi pembuka kampung saat itu adalah Tambunan.
“Dalam bahasa Batak, kayu itu Hau. Bolon itu artinya besar. Makanya itu Hau na Bolon. Kayu yang besar. Berubah lah menjadi Huta na Bolon (Hutanabolon) atau kampung yang besar,” katanya.
Dia tidak menyangka banjir akan sebesar kali ini. Rumahnya hancur diterjang banjir. Sejumlah anggota keluarganya juga meninggal dunia terseret arus.
Poltak mengenang, dulunya memang Hutanabolon direndam banjir. Namun hanya air dan tingginya sekitar sebetis orang dewasa.
Dia pun tidak menampik jika kerusakan alam menjadi penyebab banjir bandang dan longsor kali ini. Dia menduga, kerusakan lingkungan itu akibat ulah manusia. Ada orang yang menebangi kayu-kayu di hutan.
“Kayu – kayu ini dari hutan,” katanya.
Natal sederhana akan digelar bersama di HKBP

Lumpur yang tadinya mengendap, kini sudah mulai bersih. Tegel di dalam gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resor Tukka di Hutanobolon, sudah terlihat kembali. Sudah berhari-hari, pengurus bersama Pendeta Paten Sidabutar membersihkan gereja.
Bagian dalam gereja sudah tertata. Altar, bangku jemaat, sudah kembali ke tatanan semula. Meski di luar gereja lumpur masih mengendap. Ada aliran air dari sungai yang berubah bentuk alirannya.
Saat IDN Times mendatangi gereja, ada sekitar tujuh orang yang tengah membersihkan gereja. Mereka menyiapkan gereja untuk digunakan dalam perayaan Natal.
HKBP Tukka, tidak terlalu parah terdampak. Berbeda dengan empat gereja lainnya yang ada di sana. Belum bisa digunakan kembali untuk melakukan pelayanan.
Rencananya, perayaan Natal akan digelar secara umum di HKBP Tukka. Meski sebelum bencana, perkumpulan marga-marga di sana sudah melapor dan membuat jadwal untuk merayakan Natal.
“Jadi pelayanan Natalnya nanti bentuk sederhana tanpa warna-warni lampu-lampu seperti biasanya,” ujar Pendeta Sidabutar.

Merayakan Natal di tengah suasana bencana memang menjadi tantangan tersendiri. Namun, meski tanpa kemeriahan, kata Sidabutar, Natal itu bukan terletak pada kemeriahannya.
“Jadi sebenarnya Natal itu kan Bagaimana kita merasakan Tuhan datang kepada manusia. Jadi sukacita Natal yang sebenarnya kita bersama Tuhan. Tuhan ada bersama kita memberi kekuatan,” katanya.
Sidabutar mengajak masyarakat agar tetap dalam keadaan tabah menghadapi bencana. Jangan sampai, bencana alam membuat para jemaat justru jauh dari Tuhan.
“Di dalam segala penderitaan, di dalam semua kegalauan itu, Tuhan itu datang buat kita berpengharapan,” katanya.
Sidabutar juga mengingatkan pentingnya menjaga lingkungan. Berkaca dari bencana yang merenggut banyak nyawa.
“Kami harapkanlah jemaat ini sebenarnya mencintai ciptaan Tuhan. Jadi bagaimana tanggung jawab kita sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia. Kalau misalnya kita perlu memakai kayu itu Ya tanam lagi,” pungkasnya.
Sementara itu, selama banjir surut, Sidabutar tetap memberikan pelayanan kepada jemaat. Dia menggelar pelayanan ibadah di rumah - rumah warga yang tidak terdampak terlalu parah. Termasuk di pusat pengungsian. Informasi teranyar, para pengungsi juga sudah melaksanakan ibadah natal di gereja HKBP dengan nuansa sederhana.
Data teranyar menunjukkan, banjir dan longsor di Tapteng memakan 133 korban jiwa. Sebanyak 33 jiwa masih hilang dan dalam proses pencarian.
Sementara itu, di Sumatra Utara, total korban jiwa banjir dan longsor sebanyak 371 jiwa. Total korban yang masih hilang sebanyak 70 orang. Sebanyak 13.262 jiwa masih menjadi pengungsi.

















