Kontroversi Miftah, Es Teh, dan Kesadaran Kritis Publik

Akhir 2024 ini, kontroversi menyeret nama Miftah Maulana Habiburrahman dan mengguncang ruang publik. Seorang yang selama ini dikenal sebagai tokoh agama dan baru sebulan menjabat sebagai utusan presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan dianggap menghina seorang penjual es teh bernama Sunhaji di sebuah acara salawatan di Magelang akhir November lalu.
Publik bereaksi keras. Berawal dari warganet atau netizen menanggapi viralnya potongan video dugaan penghinaan itu. Simpati untuk Sunhaji, dan gelombang kritik tertuju kepada komunikasi Miftah dalam ruang publik.
Ada dua faktor utama yang membuat ini jadi polemik. Pertama status Miftah sebagai tokoh agama. Seorang ustaz adalah simbol moralitas. Dia bertugas penjaga etika publik. Dan satu lagi, Miftah juga berstatus utusan presiden di kabinet Prabowo Subianto. Dengan demikian Miftah juga menjadi bagian dari kekuasaan.
Miftah selama ini dikenal sebagai orang yang erat kaitannya dengan keturunan kiai sehingga dilabeli dengan sebutan Gus. Meskipun belakangan, silsilah “Gus” yang disematkan ke Miftah juga jadi sorotan. Sejumlah media membongkar silsilah Miftah yang diragukan sebagai bagian dari keluarga Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, seorang ulama besar pendiri pesantren tertua Tegalsari dari Jawa Timur.
Yang kedua soal gaya komunikasi Miftah di ruang publik. Kemunculan video-video lama Miftah menunjukkan gaya ceramahnya yang kontroversial. Bahkan tidak hanya kepada pedagang kecil, beberapa isi ceramah Miftah yang beredar juga menyinggung kaum perempuan.
Bagi Miftah, gaya komunikasinya memang seperti itu. Dia terbiasa bercanda kepada siapapun. Kritik publik kemudian meluas dari sekadar ucapan kepada Sunhaji menjadi kritik terhadap sikap dan perilaku Miftah secara keseluruhan.
Menurut Jürgen Habermas dalam buku The Theory of Communicative Action (1981) komunikasi idealnya harus bebas dari dominasi dan kekuasaan. Dalam kasus ini, dominasi simbolik Miftah tampak nyata saat ia memegang otoritas sebagai tokoh agama dan utusan presiden.
Sementara Sunhaji disimbolkan sebagai pedagang kecil yang berjuang untuk keluarganya. Maka, sekalipun Miftah hanya bercanda dengan pernyataannya, menjadi hal yang kurang pas. Seorang ustaz menghina jemaahnya, dan seorang pejabat menghina rakyatnya. Apalagi ia mengatakannya di depan khalayak ramai dan diiringi dengan tawa.
Nada bercanda dari Miftah mencerminkan kekuasaan simbolik yang menciptakan ketidaksetaraan. Merunut pada konsep Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik terjadi saat otoritas menggunakan kata-kata atau tindakan yang dianggap sah, tetapi sebenarnya memperkuat ketidakadilan sosial.
Posisi Miftah di depan jemaah yang menghormatinya sebagai pemuka agama memperkuat kekuasaan tersebut. Dalam konteks ini, Sunhaji sebagai seorang pedagang kecil tidak memiliki ruang untuk melawan balik secara langsung. Karena dia memang tidak mendapat panggung untuk itu.
Jika yang dimaksud Miftah dan koleganya hanya sekadar candaan, justru mereka menempatkan Sunhaji sebagai objek penderita. Kalimat "Es Tehmu masih banyak? Ya dijual, gob***!" (dalam bahasa Jawa) di hadapan massa menggambarkan relasi kuasa yang penuh ketimpangan.
Itu menjadi sebuah candaan yang cenderung salah tempat karena dilontarkan di sebuah majelis keagamaan. Selain itu juga jadi bentuk intimidasi simbolik yang memperkuat stigma ketidakmampuan ekonomi dan intelektual seseorang.
Menurut Immanuel Kant dalam konsepnya yang dinamai “impreatif kategoris” kebebasan bukan kebebasan mutlak untuk melakukan apa pun, melainkan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan prinsip moral yang rasional. Dalam pandangan Kant, kebebasan yang tidak disertai dengan kewajiban moral hanya akan melahirkan perilaku sewenang-wenang. Ia juga menegaskan perlunya untuk menghargai martabat manusia dan menghindari memperlakukan manusia sebagai sarana semata.
Sebagai tokoh agama, Miftah memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar. Tindakannya seharusnya mencerminkan akhlak yang baik, bukan justru mempermalukan pihak yang lebih lemah di hadapan publik.
Respon warganet terhadap video tersebut menunjukkan adanya kontrol sosial yang efektif. Kemudian meluas ke ruang publik dengan keterlibatan media massa yang turut memberitakan kasus ini secara intens. Perhatian publik semakin menyorot kepada sosok Gus Miftah.
Sebagaimana dikatakan Max Horkheimer, kritik publik adalah bentuk kesadaran kritis yang dapat membongkar struktur kekuasaan. Reaksi ini tak sekadar ekspresi kemarahan, tapi juga jadi bagian dari emansipasi publik yang bertujuan menegakkan etika dan moral.
Selain mengkritik Miftah, mereka juga mengadvokasi nasib Sunhaji. Advokasi itu dalam waktu singkat menempatkan Sunhaji jadi orang yang perlu dibantu. Terutama secara materi.
Tokoh-tokoh publik dari pejabat, selebiritis hingga influencer menaruh perhatian terhadap kasus ini. Bantuan mengalir untuk Sunhaji dalam bentuk uang tunai dengan nilai fantastis hingga fasilitas mobil dan rumah hingga hadiah umrah. Meskipun banyak juga yang menilai itu menjadi sebuah hal yang berlebihan.
Ini menunjukkan bahwa kesadaran kritis publik dapat berperan dalam mendobrak adanya ketidakadilan sosial. Reaksi publik terhadap Miftah juga merupakan wujud dari proses kontrol sosial yang lebih luas di era digital.
Kritik yang disuarakan warganet bukan hanya terkait satu kasus, tetapi juga menyentuh berbagai aspek perilaku Miftah di masa lalu. Kontrol sosial bersifat retrospektif dengan munculnya video-video lama Miftah ke permukaan. Hal-hal yang terjadi di masa lalu turut membentuk pandangan publik tentang seperti apa sosok Miftah sebenarnya.
Meskipun ada juga pihak-pihak yang menganggap ini adalah suatu yang terlalu dibesar-besarkan. Mereka menarasikan Miftah yang sebenarnya suka memborong dagangan pedagang dan orang yang suka bercanda punya banyak kebaikan.
Namun pandangan publik terlanjur sudah tertutup untuk mengamini hal itu. Karena banyaknya video lama yang muncul ke permukaan memperkuat pandangan mereka soal perilaku Miftah sebagai tokoh agama dan publik.
Kasus ini juga menunjukkan kekuasaan simbolik bisa dilawan dengan kesadaran kritis publik. Publik tak hanya mengkritisi lewat komentar-komentar di medsos, tapi mereka juga menggiring terbentuknya petisi online yang mendesak Presiden Prabowo mencopot Miftah dari jabatannya.
Respon warganet membongkar dominasi kekuasaan sehingga Miftah minta maaf hingga berujung memutuskan mundur dari jabatan utusan presiden. Mengutip kata Rocky Gerung, Miftah sudah mengambil the highest public of ethic dengan keputusannya mundur.
Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi tokoh publik agar lebih berhati-hati dalam berbicara dan bertindak di ruang publik. Apalagi di era digital saat ini, di mana presiden sekalipun bisa mendapat ‘penghakiman’ di media sosial.
Kekuatan kontrol sosial masyarakat dapat menciptakan perubahan perilaku tokoh-tokoh yang memiliki kekuasaan simbolik. Setelah kejadian ini mungkin saja ada yang berubah dari cara berceramah Miftah atau perilakunya. Tapi bisa juga tidak.
Penulis adalah jurnalis IDN Times dan mahasiswa pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP USU