5.000 Kasus Pelanggaran HAM di Aceh Diserahkan ke Mahfud MD
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al Haythar, serahkan data kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Aceh kepada Pemerintah Pusat, di Jakarta, pada Kamis (2/3/2023).
Kepala Bagian (Kabag) Hubungan Masyarakat (Humas) dan Kerja Sama Wali Nanggroe, M Nasir Syamaun mengatakan, data diserahkan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
“Ini merupakan pertemuan yang kedua Wali Nanggroe dengan Menkopolhukam pasca pengakuan presiden terhadap tiga kasus pelanggaran HAM berat yang diumumkan di Istana Negara, 11 Januari lalu,” Nasir dalam keterangan tertulis, pada Kamis (2/3/2023).
Pertemuan itu turut dihadiri Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri atau akrab disapa Pon Yahya; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Masthur Yahya; dan dan sejumlah pejabat lainnya.
1. Ada 5.000 kasus pelanggaran HAM yang diserahkan
Adapun jumlah pelanggaran HAM terjadi di Aceh yang diserahkan kepada pemerintah pusat, mencapai 5.000 kasus. Data itu bersumber dari rekapitulasi investigasi yang diambil pernyataan langsung oleh Tim KKR Aceh.
Malik Mahmud menyampaikan, angka tersebut bisa lebih mengingat beberapa kasus datanya sedang dikumpul. Selain itu, ada pula kasus pelanggaran HAM lain yang terjadi pascadamai. Salah satunya kasus pembantaian di Kecamatan Atu Lintang, Takengon.
“Kita minta segera ada tindak lanjut dari negara terhadap tiga kasus yang telah ada pengakuan dari presiden, dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh di masa lalu,” kata wali nanggroe.
Baca Juga: Kuota Haji untuk Aceh 4.378 Orang, Sudah Termasuk 219 Lansia
2. Malik Mahmud mengaku sempat turun langsung ke lokasi konflik pascadamai
Dalam pertemuan itu, Malik Mahmud bercerita kepada Mahfud MD bila dirinya pernah turun langsung ke lapangan untuk meredam suasana yang semakin memanas pascakasus di Atu Lintang.
Meski suasana di lapangan saat itu dikatakan Malik Mahmud, sangat panas dan rentan, akhirnya dia beserta beberapa tokoh lain bisa mempertahankan perdamaian Aceh dan mencegah terjadi konflik baru.
“Kita sangat komit dengan perdamaian ini, dan kita juga ingin Pemerintah Pusat komit dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki dan UUPA,” ujarnya.
3. Program penguatan perdamaian Aceh
Ketua DPRA juga menyerahkan surat tembusan dari pihaknya kepada presiden terkait program penguatan perdamaian Aceh, khususnya poin 3.2.5 MoU Helsinki atau nota kesepakatan damai.
“Di antaranya memuat alokasi tanah bagi para mantan kombatan GAM, dan alokasi tanah, pekerjaan serta jaminan sosial bagi tapol/napol GAM,” kata Pon Yahya.
Sementara itu, Abu Razak, mantan panglima Operasi GAM semasa konflik menyampaikan, pihaknya tetap komit dengan perdamaian. Selama ini, pihaknya terus berupaya menjaga stabilitas 50 ribu mantan kombatan GAM di lapangan.
“Dan itu -menjaga stabilitas mantan kombatan GAM- bukan perkara mudah,” kata Abu Razak.
4. Implementasi perjanjian damai Aceh terus didesak
Hingga saat ini, pihaknya dikatakan Abu Razak, terus mendapat desakan-desakan di lapangan terkait implementasi secara menyeluruh mengenai butir perjanjian damai Aceh dan pasal dalam UUPA.
Akibat banyak implementasi yang tidak tuntas meski perdamaian Aceh telah memasuki usia 17 tahun, banyak tuduhan dari mantan kombatan GAM diakui Abu Razak yang ditujukan kepada pihaknya.
“Kami minta agar poin poin MoU Helsinki harus segera diselesaikan. Kami terus mendapat tekanan dari lapangan,” ucapnya.
Selain itu, ada tanggung jawab lain harus dirawat, yaitu anak-anak korban konflik yang ingin menempuh atau sedang menempuh pendidikan. Mereka juga diakui mempertanyakan keberlanjutan perdamaian yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA.
Baca Juga: Peracun Harimau di Aceh Timur Ditangkap, Kesal Ternaknya Dimangsa