Tumbangkan Juara Bertahan IPB, Unhas Melaju ke Final Liga Debat Mahasiswa 2025

- UNHAS mengalahkan IPB dalam debat mosi kecerdasan buatan dan perubahan iklim
- AI dianggap strategis untuk mitigasi perubahan iklim oleh UNHAS, sementara IPB menilai AI sebagai sumber emisi baru
- UNHAS memenangkan debat dengan selisih satu poin, akan melawan UNDIP di final Liga Debat Mahasiswa 2025
IDN Times – Sesi semifinal kedua Liga Debat Mahasiswa 2025 mempertemukan Universitas Hasanudin dan IPB University, Selasa (10/6/2025). Kedua tim beradu gagasan dalam mosi kecerdasan buatan atau AI, menjadi teknologi strategis dalam upaya memitigasi perubahan iklim global. Menariknya, berstatus debutan Unhas mampu menumbangkan juara bertahan IPB University.
Debat berlangsung ketat. Dari Universitas Hasanuddin menghadirkan tiga punggawanya, Abdul Salam Syahputra selaku ketua tim dan dua anggota tim; Nazal Amim Firdaus serta Muhammad Hafizh Hawari. Kali ini Unhas menjadi tim proposisi.
Sementara itu, IPB sebagai tim kontra menghadirkan perwakilan terbaiknya. Mereka yakni I Made Manikrama Cahyadi selaku ketua Tim, Amrul Haq dan Revandra Athaya.
Debat yang sengit ini dipandu oleh jurnalis IDN Times Yuko Utami. Liga debat juga menghadirkan para panelis andal. Mereka yakni Arie Rostika Utami, dari Yayasan Indonesia Cerah, Prigi Arisandi sebagai pendiri ECOTON, dan Enda Grimonia selaku Policy Analyst Manager New Energy Nexus.
Berjuang untuk masuk ke final, kedua tim saling sanggah argumen. Bagaimana sengitnya perdebatan UNHAS dan IPB, simak ulasannya.
1. Kecerdasan buatan jadi teknologi strategis upaya mitigasi perubahan iklim

Pada sesi pertama, Unhas langsung menyampaikan mosi proposisinya terkait kecerdasan buatan. Ketua Tim Abdul Salam langsung menggeber argumen terkait kecerdasan buatan atau Ai sebagai teknologi yang strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Dia memberikan contoh bagaimana sektor energi menyumbang 73 persen emisi global. Pada kasus ini, kecerdasan buatan bisa mengambil porsi dalam melakukan monitoring dan prediksi secara realtime melakukan mitigasi.
Proses transisi energi yang saat ini sedang menjadi tren juga sangat mengandalkan kecerdasan buatan. “Hanya dengan AI, energi hijau bisa menjadi stabil, efisien dan bisa diandalkan setiap saat sehingga masyarakat juga akan punya insentif yang lebih besar untuk melakukan transisi,” katanya.
Dia juga menyontohkan bagaimana ai bisa menjadi alat prediksi bencana karena perubahan iklim. Salah satu kecerdasan buatan misalnya, bisa memrediksi akan terjadi banjir tujuh hari sebelumnya di 80 negara.
“Keadilan iklim adalah fondasi keberhasilan mitigasi global secara holistik. Tetapi, negara berkembang seringkali tertinggal dalam akses data terhadap ahli dan alat mitigasi. AI di sini bisa meningkatkan daya saing dari negara-negara berkembang ini,” katanya.
Menyambung Abdul Salam, Nazal anggota tim Unhas menegaskan bahwa Ai memiliki peranan penting. Ai dinilai bisa membantu teknologi hijau. Dia memberikan sejumlah contoh bagaimana
“Kebergantungan dengan AI bukan berarti kita mengesampingkan ambisi untuk melakukan transisi energi, reforestasi, atau pembaruan kebijakan iklim. Justru kehadiran AI mendorong kita mencapai ambisi-ambisi tersebut melalui upaya percepatan, pengoptimalan, dan peningkatan skala penetrasinya,” tukasnya.
2. Pengembangan Ai dinilai menjadi penghasil emisi baru

Sebagai tim kontra, Unhas langsung membantah argumen dari IPB. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan justru menghasilkan dampak emisi karbon. Rama Cahyadi dari IPB mengatakan, iengembangan Ai seperti GPT dan prediktor iklim butuh daya komputasi besar dan daya listrik yang tinggi. Sehingga menghasilkan emisi karbon yang besar juga. Apalagi saat ini, penggunaan bahan bakar fosil masih masif untuk pengembangan energi.
“Meskipun menurut tim Pro, AI bisa menekan emisi puluhan hingga ratusan ton karbon, penghematan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan jejak karbon itu sendiri,” katanya.
Harusnya, kata dia mitigasi perubahan iklim bisa dilakukan dengan aksi nyata. Konservasi hutan salah satunya.
“Ai malah memperburuk krisis iklim lewat konsumsi energi fosil yang tinggi dan efektivitasnya yang rendah,” ungkapnya.
Saat ini, ai juga masih dalam tahapan pilot project. Sehingga belum bisa digunakan sebagai arus utama mitigasi perubahan iklim.
Amrul Haq menguatkan pernyataan Rama. Kata Amrul, penggunaan teknologi justru membuat kesadaran masyarakat akan lingkungan yang sehat kian menurun.
“Mitigasi perubahan iklim hanya terjadi jika masyarakat ikut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Jika mereka percaya bahwa, oh teknologi akan menyelesaikan semuanya secara cepat, maka perubahan gaya hidup keberlanjutan tidak lagi dianggap penting oleh masyarakat,” ungkapnya.
Begitu juga dengan Revandra. Dia mengatakan, Ai justru menjadi sumber kerusakan iklim. Karena upaya menurunkan emisi yang dilakukan oleh AI, justru tidak terbukti lewat data.
“AI tidak terbukti berhasil untuk menekan emisi yang justru dia keluarkan sendiri. Google justru melaporkan, sejak adanya AI, mereka mengalami peningkatan emisi 48 persen sejak tahun 2019, padahal Google sudah banyak berupaya menekan dengan banyak metode, salah satunya Carbon-Aware Computing,” ungkapnya.
3. IPB tumbang di tangan UNHAS, Cuma selisih satu poin

Perdebatan terus terjadi di setiap sesi. Aksi saling sanggah argumen terjadi sepanjang debat.
Perdebatan sengit itu pun dimenangkan Unhas. Mereka mendapat 240 poin dari Dewan Juri. Sementara itu, IPB harus tumbang hanya berselisih satu poin yakni 239. Unhas akan menghadapi Undip pada partai final nanti.
Program Liga Debat ini dipersembahkan oleh Telkom Indonesia, Elevating Your Future. Selain itu, didukung pula oleh PT Vale Indonesia.
Pada babak final Liga Debat Mahasiswa 2024 yang didukung Vale Indonesia dan Telkom Indonesia ini, pemenang mendapatkan hadiah uang tunai, plakat dan sertifikat bagi pemenang. Juara pertama mendapatkan Rp10 juta, juara kedua Rp8 juta, juara ketiga Rp6 juta dan juara keempat Rp4 juta.