Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Polemik Royalti Musik, Pengamat HAKI: Kurang Jelas Regulasi Pemerintah

ilustrasi bermain musik (pexels.com/Anna Pou)
ilustrasi bermain musik (pexels.com/Anna Pou)
Intinya sih...
  • Polemik royalti musik kerap berulang karena akar permasalahannya belum diselesaikan dengan tuntas, seperti ketidakjelasan regulasi, tarif yang tidak sesuai, dan lemahnya pengawasan hukum.
  • Perbedaan implementasi aturan di pusat dan daerah menyebabkan banyak daerah belum memiliki aturan turunan yang sesuai dengan keadaan lokal.
  • Solusi kebijakan pemerintah dapat melakukan revisi aturan teknis PP nomor 56/2021, melakukan sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat, serta membuat forum diskusi bagi semua stakeholder untuk membicarakan setiap permasalahan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Polemik royalti musik kembali mencuat setelah kasus Mie Gacoan di Bali digugat karena memutar lagu tanpa izin. Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan merek besar dan menimbulkan diskusi publik tentang batasan, kewajiban, serta kesadaran hukum di ruang komersial.

Di balik kasus tersebut, kafe, restoran, hingga penyelenggara resepsi di berbagai daerah sebenarnya menghadapi situasi serupa. Mereka sering kali memutar musik sebagai bagian dari pengalaman pelanggan. Namun, terbentur aturan royalti yang dianggap membebani. Di sisi lain, musisi merasa hak ekonomi mereka harus dihargai lewat sistem royalti yang jelas dan adil.

Lalu, sejauh mana aturan bisa berjalan efektif di daerah, dan apakah mekanisme distribusi royalti benar-benar sampai pada musisi yang berhak?

Di Kota Medan, Pengamat Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sekaligus dosen tetap Fakultas Hukum di UMSU, Dr. Ida Nadirah menjelaskan bahwa posisi hukum royalti di Indonesia sudah jelas memiliki kekuatan yang pasti karena merupakan hak ekonomi dari si pencipta diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 ayat 2 UU nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta dan pengaturan terkait pemungutan royalti lagu dan musik diatur dalam PP nomor 56 tahun 2021 dan Permenkumham nomor 20 Tahun 2021 tentang LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) sebagai lembaga dibentuk pemerintah untuk menetapkan tarif, menghimpun, dan menyalurkan royalti secara nasional.

Terkait regulasi saat ini, menurutnya bagi pencipta secara normatif sudah melindungi. Namun, dari pihak pengguna di lapangan masih kurang jelas terkait regulasi penentuan standar besarnya tarif yang harus dibayar, mekanisme penarikan tarif, pengelolaan LKMN yang belum transparan dan belum merata dalam pendistribusian.

"Bagi UMKM yang merasa tarif terlalu tinggi atau tidak proporsional dengan skala usaha," katanya pada IDN Times.

1. Polemik royalti musik dinilai kerap berulang karena akar permasalahannya belum selesai

ilustrasi orang mendengarkan musik (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi orang mendengarkan musik (pexels.com/cottonbro studio)

Dia menilai bahwa, polemik ini kerap berulang karena akar permasalahannya belum diselesaikan dengan tuntas.

"Apa masalahnya yaitu, ketidak jelasan atau perbedaan dalam penafsiran regulasi terkait penarikan dan pembagian royalti kepada pencipta. Kemudian, kurangnya audi independen terhadap LKMN terkait pengelolaan dana royalti yg dikumpul dan di distribusikan. Dan kurang kesadaran hukum masyarakat khususnya pelaku usaha bahwa setiap pengunaan lagu musik untuk komersil harus izin ke pencipta dengan membayar royalti," jelas Ida.

Selanjutnya, adalah tarif yang diterapkan tidak sesuai dengan kemampuan pelaku usaha, dan tumpang tindih antar LMK karena banyak serta pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah.

2. Perbedaan implementasi aturan di pusat dan daerah

potret Didi Kempot bersama pengiring musik (instagram.com/didikempot_official)
potret Didi Kempot bersama pengiring musik (instagram.com/didikempot_official)

Terkait perbedaan implementasi aturan di pusat dan daerah, dia menjelaskan bahwa, Pemerintah pusat mengatur regulasi, standardisasi tarif, dan distribusi royalti secara nasional.

"Sedangkan banyak daerah yang belum memiliki aturan turunan dari tatacara pembayaran royalti lagu atau musik yang sesuai dengan keadaan daerah atau kondisi lokal," tuturnya.

3. Pemerintah harus melakukan revisi aturan

ilustrasi nonton konser musik (pexels.com/Jonathan Borba)
ilustrasi nonton konser musik (pexels.com/Jonathan Borba)

Terkait solusi kebijakan yang harusnya diambil pemerintah, dia berpendapat bahwa pemerintah dapat melakukan revisi aturan teknis PP nomor 56/2021, terutama soal penetapan tarif dan mekanisme distribusi dengan melakukan transparansi dan akuntabilitas terhadap LKMN, klafikasikan penguna musik komersial skala besar, menengah, kecil atau non komersial sehingga adil.

"Sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat bahwa lagu maupun musik merupakan karya cipta yang masuk kedalam kekayaan intelektual yqng mempunyai hak ekonomi dilindungi Undang-undang dan terakhir ini yang terpenting menurut saya buat forum diskusi atau konsultasi bagi semua stakeholder (Pemerintah, LMKN, LMK, asosiasi pelaku usaha (PHRI, Asosiasi Kafe/Restoran, dan lain-lain) dan komunitas musik untuk membicarakan setiap permasalahan yang ada, dan apabila terjadi sengketa selesaikan secara mediasi tidak perlu dibawa ke ranah litigasi," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Jalan Terbuka Menuju Swasembada Aluminium Nasional

04 Sep 2025, 23:01 WIBNews